Busway, Whose Way?
Majalah Tempo Edisi. 45/XXXII/05 - 11 Januari 2004
Sebenarnya tidak ada argumen yang sungguh menolak busway secara mendasar. Orang hanya meragukan kemampuan pemerintah Jakarta membangun dan mengoperasikannya dengan baik, dan apakah kita memiliki konsep keseluruhan sistem transportasi Jakarta. Keraguan ini sangat beralasan, dilihat dari kinerjanya sejauh ini.
Dari bulan ke bulan, sebenarnya ada kemajuan penyampaian informasi kepada masyarakat. Namun secara sepotong-sepotong. Ini bukan sekadar perkara public relation yang buruk, melainkan memang tidak ada isi informasi yang dapat disampaikan secara lengkap. Sungguh tampak bahwa pemerintah tidak punya konsep komprehensif dari awal, dan semua dikembangkan serba sepotong-sepotong, sambil jalan. Awalnya diumumkan akan ada satu saja jalur busway. Lalu ada monorail. Lalu muncul kritik bahwa masalah transportasi Jakarta bukan hanya soal satu-dua jalur, melainkan masalah sistem intermoda yang terpadu. Tiba-tiba kini disampaikan bahwa busway dan monorail akan dipadukan. Bahkan monorail ternyata terdiri dari dua jalur. Belakangan ditambahkan bahwa semua itu akan menjadi embrio dari sebuah sistem menyeluruh. Tapi tidak tersedia keterangan tentang apa dan bagaimana "sistem yang menyeluruh" itu, karena memang belum ada konsepnya.
Jadi, kota ini memang "direncanakan" secara sepotong-sepotong. Ini sangat berbeda dengan "dibangun" sepotong-sepotong atau bertahap, yang di mana pun adalah wajar. Sistem transportasi Singapura sampai sekarang belum selesai. Jalur subway dari pusat kota ke Bandar Udara Changi baru beroperasi tahun 2002. Tapi perencanaannya sudah ada sejak tahun 1980-an. Sebaliknya, sampai sekarang tidak ada perencanaan jalur mass rapid transit dalam bentuk apa pun antara Jakarta dan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Kalau kita mau meniru Singapura, setidaknya jangan citra luarnya, tapi semboyannya: the best planning is the earliest planning.
Pastilah sekarang staf birokrasi Jakarta dan para konsultannya sedang bekerja kalang-kabut menyiapkan konsep tersebut. Setidaknya demikian warga Jakarta yang cerdas, meskipun telah telanjur waswas: bagaimana mungkin sebuah prasarana yang begitu penting dan mahal diluncurkan tanpa didasarkan terlebih dahulu pada sebuah konsep menyeluruh, yang ternyata dikembangkan sambil jalan saja—itu pun setelah dikritik terlebih dahulu? Bahkan anggaran ditingkatkan berkali-kali, bukan karena ekspansi yang direncanakan, tetapi karena ada hal-hal yang lalai direncanakan sebelumnya.
Busway adalah hasil lobi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka bahkan mendatangkan mantan Wali Kota Bogota, Dr. Penelosa, ke Jakarta, dan mengirim sejumlah pejabat, wartawan, dan wakil LSM ke Bogota, Kolombia, dengan biaya dari donor, untuk meyakinkan pemerintah. Sedangkan monorail adalah usulan investor, diwakili oleh Ruslan Diwiryo, tokoh yang pernah menjadi Direktur Jenderal Bina Marga di Departemen Pekerjaan Umum dan membidani privatisasi jalan tol di awal tahun 1990-an. Prakarsa pemerintah sendiri nol.
Penampilan fisik yang mulai tampak oleh kita selepas tahun baru ini jelas juga merisaukan. Balok-balok beton pemisah lajur tak lurus benar, tak mulus melengkung pada tikungan. Orang yang mengecat seenaknya jongkok di jalur cepat biasa, bukan melakukannya dari dalam jalur busway itu sendiri. Halte warna metalik kelihatan sophisticated, namun dari dekat tampak bentolan-bentolan las berdamping mur-baut. Pekerjaan yang kasar menjalari sekujur halte dan lerengan (ramp) yang menghubungkannya dengan jembatan pe- nyeberangan. Pekerjaan yang kasar tak dapat dilepaskan dari perancangan yang buruk. Sebelumnya ada sayembara perancangan halte, yang merupakan kerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jakarta, tapi hasilnya tak dipakai. Lalu muncul saja yang anonim seperti sekarang ini. Entah mengapa organisasi para arsitek itu diam saja. Ada sekitar 4.000 orang arsitek di ibu kota ini yang niscaya dapat menghasilkan yang lebih baik. Soalnya memang estetika adalah hal sah yang esensial untuk jalur ini, karena inilah poros identitas Jakarta yang merangkum 400 tahun sejarah perkembangannya, dan menguntai unsur-unsur yang mewakili setiap periodenya. Maka, apa saja pada poros ini tak boleh disamakan dengan "pekerjaan umum" biasa yang asal berdiri dan kuat.
Para difabel (ini adalah singkatan dari "different ability" yang sering digunakan dalam dunia arsitektur tata kota untuk desain bagi kaum cacat fisik) kabarnya juga dikecewakan. Protes para difabel hanya dijawab, "Kursi roda bisa naik, kok, kalau ada yang mendorong." Hasilnya, yang bukan difabel, selain diharapkan membantu yang difabel, juga harus berhati-hati karena semua lerengan tak berjenjang dan berlantai pelat baja, yang meskipun berbentol-bentol akan tetap licin bila terkena air dan lumpur.
Sejumlah ahli transportasi, terdiri dari seorang Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana dan seorang direktur pada kantor Menteri Koordinator Ekuin, dalam konferensi pers 24 Desember 2003 silam menyesalkan bahwa nasihat yang mereka berikan (antara lain atas undangan dari pemerintah Jakarta sendiri) tak digubris. Bahwa mereka tidak menggunakan kedudukannya sebagai pejabat pemerintah nasional, tapi mengambil posisi sebagai "ahli" dan "LSM", sungguh menunjukkan ada yang tak beres.
Jadi, sangat wajar masyarakat meragukan profesionalisme pemerintah metropolis Jakarta, yang lebih tua daripada New York ini. Kinerjanya di muka khalayak memang tak elok. Akhirnya, memang diperlukan cara yang lebih menekan untuk membuat busway sukses. Pembatasan penggunaan mobil (3-in-1) memang teknik biasa saja. Tetapi di negeri lain hal itu diberlakukan setelah ada alternatif angkutan umum yang baik, bukan sebelumnya.
Membangun busway sama dengan memperkenalkan perubahan mendasar yang besar. Sebuah sistem atau modus angkutan umum adalah sebuah institusi. Prasarana fisik hanyalah salah satu bagian saja. Lebih penting lagi adalah sejumlah pranata kelembagaan, teknologi, rezim aturan dan tata krama, manajemen operasi, dan perilaku yang harus dilembagakan. Ini penting untuk kondisi kepadatan volumetrik dan programatik perkotaan, yang belum senapas dengan suatu bangsa yang belum lama mengenal budaya berkota. Ini adalah suatu institusi yang menuntut orang desa berubah sungguh-sungguh menjadi warga kota. Meskipun kepadatan Jakarta sebenarnya belum seberapa bila dibandingkan dengan ibu kota lain di dunia.
Kepadatan mobil di Jakarta sebenarnya masih rendah sekali. Kepadatan mobil Jakarta adalah 150 per 1.000 penduduk. AS telah mencapai kepadatan 300 per 1.000 penduduk pada tahun 1950-an! Singapura sekarang mencapai angka itu, sementara AS kini sudah mencapai 700 per 1.000 penduduk. Ini cukup alasan untuk panik, segera berpikir strategis jangka panjang menyiapkan sistem angkutan umum komprehensif yang efektif mengurangi penggunaan mobil. Luas jalan dibanding luas lahan terbangun Jakarta relatif sudah sangat tinggi, sehingga tak masuk akal untuk menambah luas jalan secara berarti.
Memperkenalkan suatu sistem baru seharusnya dilakukan dengan kehendak menanamkan suatu institusi baru. Jelas perkaranya jauh lebih luas daripada "sosialisasi" yang sering disalahkaprahkan menjadi sekadar menjelaskan agar orang paham dan menyetujui. Menanamkan institusi adalah suatu manajemen perubahan keseluruhan yang sistemik, termasuk perubahan perilaku yang harus dikelola secara terukur dan bertahap sebagai kunci keberhasilan.
Untuk bersikap realistis terhadap pemerintah yang berpikir dan bekerja sepotong-sepotong, dapat disampaikan lagi satu permohonan perhatian kepada pemerintah Jakarta se- nyampang ia menyiapkan suatu konsep menyeluruh, yaitu mengenai integrasi antara jaringan angkutan umum dan tata guna lahan sepanjang jalurnya, sehubungan dengan proses pertambahan nilai yang akan terbangkitkan di situ.
Busway dan monorail akan melalui jalur "gemuk", bersifat demand-driven. Investasi yang besar (anggaran yang diajukan telah mencapai lebih dari 250 miliar untuk busway saja) sebaiknya memang berhasil. Kalau berhasil, bagaimana dampaknya terhadap tata ruang Jakarta?
Nilai ruang kota ditentukan mendasar oleh guna-lahan dan kepadatan prasarana yang tersambung kepadanya. Setiap suntikan prasarana mengubah nilai ruang secara dramatis, karena jumlah lahan yang menjadi dasar ruang perkotaan bersifat tetap dan terikat bumi (tempat). Karena tidak ada dua produk ruang yang 100 persen identik, tiap komodifikasi ruang senantiasa berarti potensi monopoli, karena hanya ada satu produsen untuk satu jenis produk ruang. Maka, kita tahu bahwa pengembang yang berhasil adalah yang tahu lebih dulu rencana prasarana publik (contoh: pengembang Pondok Indah dan Pantai Indah Kapuk); atau yang melalui lobi berhasil mengubah rencana tata ruang dan prasarana, ketika ia mencapai skala ekonomi yang amat besar (contoh: Bumi Serpong Damai). Intervensi publik dalam ruang harus diperlakukan sangat hati-hati, karena berdampak luas dalam hal persaingan ekonomi dan keadilan.
Tiap gelaran prasarana bersifat diskriminatif, karena akan meningkatkan nilai ruang tertentu. Secara positif, dapat dikatakan ia bersifat "mengarahkan". Itulah sebabnya penggelaran prasarana, bersama dengan tata ruang, adalah alat yang amat menentukan dalam mengarahkan struktur kota. Nilai ruang sama sekali tidak terjadi dalam pasar bebas. Perencanaan menentukannya. Yang benar adalah perencanaan harus dilakukan dengan sepenuhnya menyadari dinamika pasar atas ruang, sebagai hubungan timbal balik antara intervensi dan realitas pasar. Karena kondisi di atas, kedua alat ini juga sangat potensial sebagai lahan korupsi. Sebaliknya, kedua alat itu sangat konstruktif bila berada di tangan yang bijak, karena bisa digunakan untuk menata kembali demi kemaslahatan orang banyak dan kesehatan jangka panjang seluruh kota.
Jalur-jalur angkutan umum bagi sebuah kota metropolitan sangat menentukan, karena mobilitas menentukan produktivitas. Ungkapan bahwa dalam bisnis property yang penting adalah (1) lokasi, (2) lokasi, dan (3) lokasi sebenarnya berarti: (1) akses ke lokasi, (2) pelayanan dan prasana tersambung ke lokasi, dan (3) guna lahan yang direncanakan untuknya, beserta citra kelas lokasi tersebut.
Jalur busway akan melewati Blok M, Sudirman, Thamrin, GajahMada/HayamWuruk, dan Stasiun Kota. Jalur monorail pertama akan melintasi Kampung Melayu, Tebet, Casablanca, Karet, Kebon Kacang, Tanah Abang, Cideng, dan Roxi. Sedangkan jalur monorail kedua akan melingkari Dukuh Atas/Sudirman, Kuningan/Rasuna Said, Gatot Subroto, Senayan, Pejompongan, dan Karet.
Sekali jalur ini berhasil, akan ada tekanan perubahan guna-lahan (land-use). Lahan-lahan yang relatif "kosong" pada saat ini, misalnya Senayan, Karet, dan Pejompongan, akan mendapat tekanan untuk diisi. Fungsi-fungsi lahan yang dianggap "belum optimal", misalnya permukiman di Setiabudi, Dukuh Atas, Cideng, Tanah Abang, Kebon Kacang, Menteng Dalam, Tebet, dan Kampung Melayu, akan ter-ancam tergusur oleh guna-lahan yang memberi keuntungan lebih tinggi. Penggusuran akan terjadi lagi. Migrasi netto negatif akan makin besar, ketika Jakarta kehilangan stock perumahan itu.
Sikap, pilihan, dan cara pemerintah mengendalikan proses nilai tambah dan perubahan guna lahan, termasuk membiarkannya secara laissez faire, baik karena ketidaktahuan, ketidakmampuan, ataupun ketidakmauan, akan menentukan busway ini sebenarnya whose way.
Marco Kusumawijaya
Arsitek perencana kota, salah satu pemrakarsa Asosiasi Pengguna Angkutan Umum
No comments:
Post a Comment