12.7.07

Keadilan suatu relatifitas

david chyn dari suaratransjakarta:

Hari-hari ini adalah hari libur untuk sebagian besar anak sekolah. Bagi mereka yang beruntung ada yang menikmati liburannya di Singapura atau ikut tur ke negara-negara lain. Sedangkan bagi mereka yang orangtuanya kurang beruntung karena tidak mempunyai waktu atau tidak mempunyai ¢waktu¢ ( baca: ¢waktu¢ = uang, ingat time is money), terpaksa ikut ¢ngantor¢. Maksudnya, pergi bersama ke kantor orangtuanya. Bermain di taman sekitar kantor atau pergi ke mall dekat kantor orangtuanya, menjadi alternatif untuk menghilangkan kejenuhan di rumah.

Siang ini saya melihat dua anak lelaki kakak-adik bersama ayahnya, sedang menunggu makanan, sate padang. Ketika piring dari daun pisang yang berisi sate tersebut datang, sempat terjadi keributan kecil. Si kecil yang menerima lima tusuk sate tampaknya protes ke ayah mereka. Ia ingin mendapatkan sepuluh tusuk sate, seperti kakaknya. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh ayah mereka. Seharusnya ia harus diberi sate yang sama seperti kakaknya. Keadilan ,menurutnya, adalah bila ia diberi hal yang sama.

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah melihat keadaan yang hampir bertolak belakang. Ini tentang dua anak laki-laki, kakak-adik juga. Mereka berdua berjalan beriringan. Mereka membawa koper yang sama, koper pakaian mereka masing-masing. Si adik juga tampak bersungut-sungut, karena menurutnya koper yang dibawanya terlalu berat buat dia. Menurutnya, supaya terasa adil, seharusnya sebagian bawaannya diangkat oleh kakaknya. Atau setidaknya, ia membawa koper yang lebih kecil dari pada koper yang dibawa kakaknya. Menurutnya, keadilan adalah bila yang kuat membantu yang lemah.

Di dalam poligamipun disyaratkan bahwa seorang suami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Masalahnya, bagaimana yang disebut adil? Apakah adil bila setiap istri mendapatkan satu rumah dan satu sepeda motor, sedangkan yang seorang mempunyai lima anak, sedangkan yang seorang tanpa anak? Keadilan itu relatif.

Beberapa saat lalu dalam diskusi tentang tarif, sempat ada wacana untuk penyesuaian tarif TiJe dengan argumentasi masing-masing. Detik.com kemarin menurunkan berita tentang kemungkinan bangkrutnya TB, bila terus diadakan pembatasan bus yang beroperasi oleh BLUTJ untuk menekan besarnya subsidi. Yang kemungkinan berujung pada kenaikan tarif TiJe.

Tapi posting ini tidak bermaksud sama sekali untuk semata-mata menjadi alasan untuk menaikan tarif. Kenaikan tarif tidak boleh juga menjadi alasan untuk meningkatkan kenyamanan transportasi umum. Kenyamanan dan keamanan pengguna adalah hal yang utama yang harus tetap diusahakan. Kalau kemudian kemampuan besarnya subsidi dari pemda untuk TiJe terbatas dan harus ada penyesuaian tarif. Maka hendaknya penyesuaiaan tersebut harus tetap memperhatikan rasa keadilan. Mengapa ¢rasa¢? Karena sekali lagi, keadilan adalah relatif.

Anggaran transportasi keluarga sebesar 30% bahkan 20% dari UMR untuk sebagian orang terasa sangat berat, sedangkan nilai absolutnya bagi sebagian orang yang lain terasa tidak ada artinya. Jadi subsidi yang diberikan oleh pemda untuk TiJe seharusnya diterima oleh orang yang tepat, yang layak mendapat subsidi.

Pengguna mobil akan beralih menjadi pengguna TiJe, bila faktor kenyamanan (temasuk di dalamnya faktor ketepatan) dan keamanan dapat dijaga. Sedangkan tarif sampai Rp 4500 (harga 1 liter premium) setiap 10 kilometer, menurut saya masih dapat diterima, bila faktor setara dengan kendaraan pribadi dapat diperolehnya.

Sedangkan pengguna tertentu seperti pelajar berseragam dan lansia tetap diberikan subsidi yang lebih. (Alasan mengapa hanya kedua golongan ini yang perlu mendapat subsidi, pernah saya kemukakan pada posting yang lalu, yaitu: lebih sederhana mengontrolnya dan juga untuk mendorong pengurangan penggunaan mobil pribadi untuk mengantar kedua golongan tersebut).

Semoga subsidi untuk masyarakat transpotasi dapat diterima dengan adil.
Salam (071107 dc)

Looking Destiny:

Perlakuan BLU Tije dan Dishub terhadap operator sangat tidak adil. Tadinya operator disuruh menambah armada secepatnya. Namun, sekarang setelah operator dengan bersusah payah (ngutang sana sini) telah berhasil memenuhi kewajibannya untuk memenuhi target jumlah armada dengan modal yang sangat besar, malah armada mereka tidak boleh beroperasi. Para investorpun yang telah menanamkan modalnya di para operator dan kosorsium tentunya cemas. Inilah salah satu contoh kecil tidak adanya kepastian dan keamanan dalam menanamkan modal di negeri ini. Maka tak heran jika para investor enggan untuk menanamkan modalnya di negeri ini.

Sangat tidak adil juga bagi kita-kita para pengguna Tije. Di satu sisi kita dipaksa untuk berlama-lama menunggu Tije, berdesak-desakan (sampai ada yang pingsan), dorong-dorongan, akibat langkanya armada, karena dikandangkan oleh BLU Tije dengan alasan menghemat subsidi. Sementara, di lain pihak, anggaran alokasi APBD sebagian besar malah dianggarkan untuk baju dinas gubernur (mencapain milliaran rupiah/tahunnya), DPRD beli mobil dinas dan jalan-jalan studi banding yang ga jelas, dan masih banyak lagi pengeluaran yang ga penting. Bayangkan jika pengeluaran-pengeluaran yang ga penting itu bisa dialokasikan untuk subsidi Tije, pasti kita semua tidak sengsara seperti sekarang ini.

Yang sudah pasti bisa ditebak, keputusan Bang Yos nantinya adalah menaikkan tarif Tije, mungkin menjadi Rp. 5000,- hingga Rp. 7000,- dengan alasan untuk menutupi subsidi yang kurang demi menjaga kelancaran beroperasinya Tije. Mungkin solusi ini kurang populer, tapi jika diimbangi dengan pelayanan yang baik, misalnya menunggu bus di halte maksimal 3 menit, tidak berdesak-desakan, sarana dan prasana halte baik (tidak ada halte yang gelap, plat yang bolong, dll), pelan-pelan masyarakat bisa menerimanya, dan jika kenyamanan ini nantinya benar-benar terwujud, akan banyak pengguna mobil pribadi yang berpindah menggunakan Tije, sehingga kemacetan dan kesemrawutan di jalan pun akan berkurang. Amin....


No comments: