29.3.07

Lagi, Busway Tabrak Penyeberang Jalan

Kecelakaan terjadi di Jl Daan Mogot kilometer 14.

Republika Online: JAKARTA-- Lagi, armada busway menabrak penyeberang jalan di Jl Daan Mogot, Jakarta Barat. Peristiwa ini menimpa Nung (18 tahun), Selasa (28/3). Akibatnya, Nung mengalami cidera kaki dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit (RS) Tarakan, Jakarta Pusat.

Kasatlantas Polres Jakarta Barat, Kompol Soenarko, mengatakan kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 07.40 WIB. "Nung menyeberang bersama dua kawannya. Temannya sudah sampai ke seberang, Nung tertinggal di jalur busway. Kaki kanannya tertabrak busway," ujar Soenarko.

Busway yang menabrak Nung dikemudikan oleh Elvira Sari Rahnadi (36). Perempuan yang pernah pula menjadi sopir angkutan kota rute Jombang-Ciledug ini, tampak gusar seusai kecelakaan itu. Saat dijumpai di Samsat (Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap) Polres Jakarta Barat di Jl Daan Mogot, Elvira mengatakan korban tak mengindahkan klakson yang telah dibunyikannya.

Kecelakaan terjadi di Jl Daan Mogot kilometer 14. "Di depan Masjid An Nur, Rawa Buaya Cengkareng," ujar Soenarko. Nung tertabrak di lajur busway arah Cengkareng menuju Grogol atau lajur busway di sisi Barat.

Nung, warga Jl Jaya II Menceng, Cengkareng Barat, merupakan korban keempat dari tiga kecelakaan di Jl Daan Mogot, dalam empat puluh hari terakhir. Kecelakaan sebelumnya terjadi pada 24 Februari dan 15 Maret lalu.

Humas PT Transjakarta selaku operator busway, Ajar Aedi, mengatakan pihaknya akan membantu biaya pengobatan korban. Dia mengatakan bahwa busway berjalan di jalurnya. Dia menambahkan, selain mengakui bahwa ruas jalan itu rawan kecelakaan, Transjakarta selalu mengingatkan pramudi untuk membunyikan klakson dan meningkatkan kehati-hatian di daerah rawan kecelakaan. Antisipasi lain adalah dengan memasang spanduk sosialiasi yang mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan jembatan penyeberangan orang (JPO).

Dalam pantauan Republika, jalur busway koridor III yang melintasi Jl Daan Mogot, Jakarta Barat, memang rawan kecelakaan. Jarak antara satu JPO dengan JPO lainnya terlalu jauh. Demikian pula celah untuk perputaran jalan alias U turn. Akibatnya, banyak penyeberang jalan tak menyeberang di JPO yang ada. Mereka memilih menyeberang di sembarang tempat dengan meningkatkan resiko terjadi kecelakaan.

Penambahan JPO seiring beroperasinya busway hanya ada di lokasi halte busway. Itupun, di halte Rawa Buaya, tak tersedia JPO. Seorang warga setempat, Agus, mengatakan "Sekalian saja dipasang pagar, biar orang tidak menyeberang sembarangan. Jembatan penyeberangan terlalu jauh, sehingga orang malas ke sana."

Ketua Umum Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI), Bambang Susantono, mengatakan ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan busway, kesalahan tak bisa ditimpakan pada busway. Sebagai bus rapid transit (BRT) alias angkutan massal yang berbasis jalan, busway sudah seharusnya mendapat prioritas.

Bambang menyoroti, permasalahannya terletak pada saat busway dioperasikan, seharusnya terintegrasi dengan moda transportasi yang lain. "Harusnya planning busway terintegrasi dengan moda transportasi lain," ujarnya.

Menurutnya, khusus lajur Jl Daan Mogot, harus diakui kurangnya fasilitas pendukung operasional busway - termasuk minimnya JPO. Permasalahan busway dan fasilitasnya, ujar Bambang, harus dikatakan Pemprov DKI Jakarta cukup kedodoran. Dia mencontohkan pembangunan Harmony Central Busway (HCB) yang tak kunjung usai sebagai salah satu bentuk kedodoran itu.

Mengenai usulan pemasangan pagar, Bambang menilai itu tak efektif selama jumlah JPO tak ditambah. "Ada maximal distance yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan JPO.

Fakta Angka
4 orang
Korban kecelakaan ditabrak busway
more

Usul dari Menteri Desain


Menteri Desain Indonesia mengajukan usulan yang menarik. Kunjungi situsnya untuk informasi lebih jauh.
more

21.3.07

Ketika Tarif Busway Dinaikkan

Busway is my way, begitulah kira-kira "ideologi" Gubernur Sutiyoso saat pertama kali meluncurkan busway. Kritik keras dari sebagian warga Jakarta, bahkan termasuk ketidaksetujuan Departemen Perhubungan, relatif tidak dihiraukan. Menurut para pengkritik, busway tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menjadi biang kemacetan baru. Kini tampaknya opini mayoritas warga Jakarta mulai berubah: mafhum dengan bus berwarna oranye berlogo elang bondol dan salak condet ini. Gubernur Sutiyoso pun sepertinya tidak "main-main", tujuh koridor busway telah diluncurkan, dan delapan koridor lagi akan dibereskan sebelum Gubernur Sutiyoso lengser keprabon sebagai "Raja" Jakarta.

Namun, ketika konsumen dan opini publik mulai familiar dengan busway, Gubernur Sutiyoso justru memproduksi wacana kebijakan yang sifatnya antiklimaks untuk keberlanjutan busway, yakni menaikkan tarif busway menjadi Rp 5.000 per penumpang, dari semula Rp 3.500 per penumpang. Sistem penarifan juga akan diubah berdasarkan zona (zoning tariff). Saat ini, sang "konsultan transportasi" Dewan Transportasi Kota Pemerintah Provinsi Jakarta sedang menggodok rencana tersebut.

Selain telah menimbulkan pro-kontra, rencana menaikkan tarif ini layak "dibenturkan" dengan beberapa pertanyaan mendasar, misalnya, bagaimanakah tingkat kemampuan membayar (ability to pay) dan juga kemauan membayar (willingness to pay) konsumen/penumpang? Bahkan apakah rencana menaikkan tarif merupakan solusi jika diteropong dari perspektif manajemen transportasi publik? Hasil jajak pendapat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia terhadap 1.055 konsumen busway pada awal Januari 2007 mungkin layak dijadikan "pisau" analisis.

Pertama, soal kemampuan membayar, ternyata income konsumen busway tidaklah bagus-bagus amat. Terbukti, 356 responden (33,7 persen) hanya berpenghasilan Rp 1-2 juta per bulan. Bahkan penghasilan konsumen yang kurang dari Rp 1 juta per bulan juga cukup signifikan, yaitu 273 responden (25,9 persen). Kedua golongan penghasilan ini secara ekonomis merupakan kelompok rentan terkait dengan kenaikan tarif. Adapun penghasilan konsumen yang relatif manageable hanya 18,7 persen (197 responden), yakni Rp 3-4 juta dan di atas Rp 4 juta per bulan.

Kedua, bagaimana pula dengan kemauan membayarnya? Poin ini sangat terkait dengan tingkat layanan (level of service) operator busway. Hingga detik ini, layanan busway terbukti belum memuaskan konsumen, baik petugas loket, satuan tugas, pengemudi Transjakarta, kondisi bus, hingga kondisi halte. Pasalnya, mayoritas konsumen (598 responden/62,36 persen) mempunyai pengalaman buruk saat menggunakan bus Transjakarta, misalnya padatnya penumpang, terutama pada jam sibuk, dan 23,15 persen (222 responden) mengeluh sering terlambat. Kendati tidak terlalu banyak, penumpang pun mengaku merasa tidak aman dan tidak nyaman saat menggunakan busway (46 responden/4,80 persen) serta yang pernah kecopetan bahkan mengalami tindakan kriminal lain sebanyak 24 responden (2,50 persen). Jika sudah begini, apa bedanya busway dengan bus metromini atau kereta rel listrik Jabodetabek?

Bagaimana dengan kondisi halte? Keluhan konsumen sama dan sebangun. Hanya 376 responden (38,84 persen) yang menjawab kondisi halte nyaman, bersih, dan rapi, sedangkan 399 responden (41,22 persen) menyatakan kondisi halte tidak nyaman, karena halte sudah mulai rusak, tidak terawat, dan kotor serta jembatan untuk menuju halte terlalu panjang dan berputar-putar.

Yang lebih menjengkelkan adalah perilaku pengemudi. Terbukti, 311 responden (33,15 persen) mengatakan bahwa pengemudi sering mengerem secara mendadak dan 270 responden (28,78 persen) mengatakan bahwa pengemudi sering tidak pas dalam memberhentikan bus. Ketidaktepatan pemberhentian ini sangat membahayakan, karena penumpang bisa terperosok. Selain itu, pengemudi sering ugal-ugalan/ngebut (55 responden/5,90 persen), mengalami kecelakaan lalu lintas (20 responden/2,13 persen), serta melanggar rambu-rambu lalu lintas (70 responden/7,04 persen). Nah, lagi-lagi apa bedanya pengemudi busway dengan sopir mikrolet?

Jadi, secara gamblang bisa disimpulkan bahwa kualitas layanan busway masih jauh panggang dari api. Konsumen masih diposisikan layaknya penumpang bus umum/KRL Jabodetabek. Kendati mereka mengaku tarif busway "sedang-sedang saja" (723 responden/68,52 persen), bahkan mengaku "murah" (214 responden/20,3 persen), mayoritas konsumen (632 responden/59,9 persen) tetap menolak jika tarif dinaikkan. Hanya 17 persen responden yang "setuju" dengan kenaikan tarif. Karena itu, baik dari sisi ability to pay maupun willingness to pay, saat ini tidaklah tepat bagi pemerintah Jakarta menaikkan tarif busway. Kemampuan membayar konsumen masih sangat minimal, begitu pun kemauan membayarnya, masih sangat rendah.

Rencana menaikkan tarif, dari sisi manajemen transportasi publik, secara paradigmatis merupakan blunder yang sangat fatal. Hal ini menandakan pemerintah DKI belum paham benar dengan politik pengelolaan transportasi publik yang sesungguhnya. Sarana angkutan umum massal (SAUM), di mana pun tempatnya di dunia, entah berupa busway, entah monorel atau bahkan subway, harus diposisikan sebagai infrastruktur. Artinya, tetap harus ada keterlibatan pemerintah dalam program tersebut, yaitu berupa public service obligation (PSO). SAUM di Jepang, New York, London, Hong Kong, dan kota-kota lain yang kampiun dengan SAUM-nya terbukti masih memperoleh PSO dari pemerintah. Sebab, jika mengandalkan fulus dari konsumen, sampai kapan pun tidak akan mampu menutup biaya operasional. Busway, monorel, dan subway adalah infrastruktur transportasi yang padat modal dan padat teknologi.

Jika pemerintah Jakarta tetap ngotot menaikkan tarif busway, implikasinya cukup serius, baik bagi konsumen maupun bagi keberlanjutan busway. Pertama, income konsumen akan tergerus untuk ongkos transportasi, yang saat ini rata-rata mencapai 30 persen dari total pendapatan. Kedua, merupakan bentuk ketidakadilan, karena konsumen diposisikan tidak ada pilihan lagi. Jalur bus umum yang serute dengan busway telah dilikuidasi, sedangkan tarif busway dinaikkan. Ini sama saja pemerintah DKI melakukan eutanasia finansial terhadap warga Jakarta. Ketiga, busway akan ditinggalkan konsumen, terutama konsumen yang berasal dari pengguna kendaraan pribadi. Padahal migrasi pengguna kendaraan pribadi ke busway cukup signifikan (21 persen). Ngapain ber-busway ria, toh belum senyaman kendaraan pribadi, mahal pula tarifnya? Target untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway akan sia-sia.

Pemerintah DKI jangan hanya melihat besaran subsidi yang dikucurkan kepada proyek busway, yang konon mencapai Rp 200 miliar (2006). Pemerintah Jakarta juga harus melihat secara komprehensif nilai benefit yang diperoleh, seperti hemat energi, mempercepat mobilitas penduduk, dan mengurangi kemacetan. Tentunya Gubernur Sutiyoso tidak ingin memelihara kerugian ekonomi dan sosial dari dahsyatnya kemacetan lalu lintas di Jakarta yang, menurut dia, mencapai Rp 27 triliun per tahun.

Terlalu mahal ongkos sosial ekonominya jika tingkat kepercayaan publik terhadap bus Transjakarta justru direduksi oleh kekeliruan paradigma bahwa busway diposisikan sebagai infrastruktur ekonomi, bukan infrastruktur transportasi. Sangat salah jika tarif SAUM seperti busway harus full cost recovery, apalagi dijadikan sarana profit center. Jangan biarkan Jakarta terus berlumur kemacetan karena ketidakbecusan mengelola sarana angkutan umum massal.

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
more

20.3.07

Keliru konsep, Jakarta Terus Macet


Ada posting menarik di suaratransjakarta yang ditulis oleh David Chyn. Ini adalah suara salah seorang pengguna mobil yang beralih menggunakan bus TransJakarta :

Tergelitik oleh beberapa posting beberapa hari, saya tergerak untuk posting tulisan yang saya buat bulan lalu. Tulisan ini di ilhami oleh postingnya pak Deddy tentang Refleksi Busway.
Semoga bisa jadi bahan renungan kita semua.
Salam (dc)

Keliru konsep, Jakarta Terus Macet

Judul tulisan di atas (tertulis di dalam website Dewan Transportasi Kota Jakarta, yang tidak pernah diupdate sejak peluncurannya) menyadarkan saya akan situasi jalanan di Jakarta akhir-akhir ini.
Pada awalnya, para penggagas dan para pembuat keputusan dan masyarakat (termasuk saya), sangat optimis akan terselesaikannya sebagian besar keruwetan lalulintas di ibukota kita ini dengan, solusi ’busway’.

Ketika koridor I diluncurkan, saya masih mengendarai mobil sendiri ke tempat kerja. Saya menggunakan TiJe hanya untuk menghindari kemacetan di jalan Sudirman dan Thamrin, menghindari ’3 in 1’, juga kadang untuk menghindari kesulitan parkir di kantor-kantor di sepanjang jalan tersebut. Saat itu saya tidak yakin bahwa sistem ini akan mampu untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi seperti saya. Tidak memadainya bus ’feeder’ memaksa kita tetap menggunakan mobil pribadi untuk mencapai tempat kerja.

Kemudian koridor II dan III diluncurkan. Mulai saat itu saya bertekad mengurangi penggunaan mobil pribadi (Walau ’feeder’ belum dibenahi juga). Saya hanya menggunakan mobil pribadi bila kantor klien saya tidak terjangkau oleh TiJe atau jauh dan sulit mendapatkan taksi. Saat itu saya merasa penggunaan mobil-mobil pribadi agak berkurang. Ini mungkin karena faktor psikologis saya atau faktor ekonomi umum saat itu atau memang karena pendekatan pemilihan koridor yang benar. Koridor II dan koridor III ini banyak melalui area pemukiman yang banyak pengguna mobil pribadi untuk mencapai tempat aktifitasnya (kantor, pertokoan, sekolah/perguruan tinggi etc.). Ketiga jalur ini juga saling terhubung dengan baik.

Akhir Januari lalu, diluncurkan koridor IV sampai koridor VII. Terlepas dari masih kurangnya jumlah armada untuk koridor-koridor tersebut, menurut saya hanya koridor VI (Kuningan/Rasuna Said) yang efektif mengurangi penggunaan mobil pribadi. Disusul dengan koridor IV (Dukuatas-Halimun –Manggarai- Matraman) yang lebih berfungsi sebagai penghubung antar koridor (dan penghubung antar moda).

Pengamatan lain, sebagian (besar?) pengguna koridor-koridor baru ini adalah pengguna angkutan umum reguler yang kemudian berpindah menjadi pengguna TiJe. Jadi pada jalur ini pengurangan kendaraan pribadi tidak terlalu efektif. Sebaliknya yang terjadi adalah kepadatan akibat berkurangnya jalur karena dipakai busway.
Efek lain dari semakin banyaknya koridor yang beroperasi saat ini, adalah kepadatan dan berkurangnya kenyamanan di dalam bus maupun di halte transfer (misalnya: halte Senen).

Bagi mereka yang sebelumnya adalah pengguna angkutan reguler, hal ini mungkin tidak akan terlalu bermasalah, karena tetap lebih nyaman dan lebih murah. Tapi yang cukup menguatirkan adalah kembalinya pengguna yang dahulunya bermobil, yang cenderung untuk memakai kembali mobil-mobil mereka. Bagi mereka, tarif bukan merupakan alasan utama untuk menggunakan TiJe. Mereka lebih mementingkan kenyamanan, kecepatan dan kepraktisan moda angkutan ini. Jadi bisa dibayangkan bila dayatarik tersebut akhirnya memudar; Jakarta akan macet kembali.

Saya teringat akan moto Transjakarta ’Tradisi baru bertransportasi’.
Tradisi baru bukan karena busnya baru. Tradisi baru karena kita (masyarakat dan pengelola) belajar budaya baru, cara bertransportasi. Jangan sampai gerakan ini kehilangan momentumnya.

Salam. (022707 dc)
more

8.3.07

Seorang Ibu Tewas Dihantam Busway

TEMPO Interaktif, Jakarta:Busway kembali merenggut nyawa seorang wanita bernama Titin, 55 tahun, Kamis (8/3). Warga Kebon Nanas Selatan, Kecamatan Jatinegara RT 8 RW 8 Nomor 21, Jakarta Timur itu tewas tertabrak busway di Jalan Otto Iskandar Dinata, sekitar 100 meter dari terminal Busway Gelanggang Remaja.

Kejadian itu pukul 11.45, saat bus transjakarta bernomor B 7509 IX koridor 7 jurusan Kampung Melayu-Kampung Rambutan sedang melaju kencang dari arah Cawang. Si ibu hendak menyeberang jalan perlintasan buswai. Semula dia ragu. “Tapi dia memutuskan menyeberang persis ketika busway melaju," ujar Saman, saksi mata kejadian.

Titin baru saja membayar rekening listrik di BRI cabang pembantu di Ototo Iskandar Dinata. Siti, sopir bus tersebut berusaha mengerem, terlihat dari jejak karet ban sepanjang 10 meter. Tapi bus tak terkendali. Bemper bus menghantam tubuh Titin hingga luka parah
pada bagian kepala hingga meregang nyawa seketika. Si supir, Siti terkejut dan pingsan di dalam bis.

Tak lama, tiba petugas unit kecelakaan lalu lintas Polsek Jatinegara. Jenazah Titin dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kecelakaan itu menyebabkan jalan macet 30 menit.

Sofian
more

6.3.07

Sopir Busway Dikenakan Tindak Pidana Ringan

TEMPO Interaktif, Jakarta: Sopir bus Transjakarta, Jojo Sunaryo yang menabrak pohon dan mengakibatkan empat penumpangnya cedera dikenai tindak pidana ringan. Ancaman hukumannya maksimal tiga bulan penjara.

Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum, Ajun Komisaris Besar Polisi Tomex Kurniawan mengatakan Sopir busway itu dikenakan Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Meski demikian, baik sopir maupun bus dengan nomor polisi B 7449 ZX tidak ditahan. "Yang kami tahan hanya surat-surat kendaraan," kata Tomex.

Seperti diwartakan sebelumnya, bus Transjakarta yang dikemudikan Jojo menabrak pohon di Jalan Majapahit Jakarta Pusat, tepatnya di depan kantor Sekretariat Negara, pada Minggu (4/3) lalu, pukul 15.00 WIB. Ketika bus yang melaju dari Harmoni menuju Pulo Gadung, kondisi cuaca sedang turun hujan dan jalanan licin.

Indriani Dyah S
more

5.3.07

Penumpang Busway Meninggal Dunia

TEMPO Interaktif, Jakarta: Seorang penumpang bus Transjakarta meninggal dunia di tangga halte busway Terminal Blok M, Jakarta Selatan, siang tadi.

Dari Kartu Tanda Penduduknya diketahui pria yang mengenakan kaos berkerah abu-abu dan celana pendek itu bernama Asman, warga Jalan Citra 3 Blok B5/22 RT 09/11 Kelurahan Pengadungan, Kalideres, Jakarta Barat.

Asman semula diketahui jatuh pingsan pada pukul 11.45 WIB oleh tiga petugas kebersihan, Budyanto, Mulyon, dan Muntarto. Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke posko keamanan Mal Blok M.

Kepala Siaga Posko Keamanan Mal Blok M, Aji Susanto, menuturkan mereka langsung membawa korban ke kantor posko keamanan. Tapi setibanya di posko, Asman sudah meninggal dunia.

Di saku Asman, petugas menemukan buku telepon, uang tunai senilai Rp 49 ribu, dan sebotol minyak angin.

Aji lalu menghubungi beberapa nomor kontak di buku itu dan berhasil menghubungi seorang pria bernama Agus. Asman rupanya sudah berjanji bertemu dengan Agus di Pasaraya Grande. Agus pun menghubungi keluarga korban, sedangkan mayat Asman dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

MARLINA MARIANNA SIAHAAN
more