30.10.07

Busway kurang efektif?


Menguji Keefektifan Busway
Transjakarta Masih Kalah
Oleh Albertus Tjatur Wiharyo

Keberadaan busway sebagai solusi kemacetan Jakarta, agaknya harus dipertanyakan kembali. Sebab, secara kasat mata, bus-bus kota lainnya, seperti metromini, atau mikrobis, seperti mikrolet, yang beroperasi lebih dulu, terbukti lebih lincah dibanding transjakarta, yang memiliki jalan khusus.

Contohnya, pantauan sejak pukul 09.00-09.30 WIB di Halte Busway Gelanggang Remaja, Jakarta, Jumat (26/10) pekan lalu menunjukkan, transjakarta belum mampu menggantikan peran angkutan umum. Kemacetan pun bisa menghambat laju bus khusus tersebut.

Pada saat itu, dari arah Dewi Sartika-Kampung Melayu, hanya tujuh bus transjakarta melintas. Pada dua bus terlihat sejumlah penumpang berdiri, namun tidak sampai berjejal, sementara pada lima bus lainnya tidak tampak penumpang berdiri.
Pada kurun waktu yang sama, lalu lintas di jalur reguler, di luar jalur busway, mencatat sekitar 120 mikrolet, rata-rata berisi lima penumpang, 80 metromini masing-masing 15 penumpang, 150 mobil pribadi rata-rata dua penumpang, dan 500 sepeda motor rata-rata satu pengemudi.

Jika misalnya bus transjakarta rata-rata bermuatan 40 orang, dalam setengah jam hanya mampu mengangkut 280 penumpang. Sementara kendaraan regular mampu mengangkut 2.450 penumpang.

Selain itu, lalu lintas di jalur busway tampak kontras dengan kepadatan kendaraan di jalur regular, meskipun lajur reguler menggunakan tiga jalur kendaraan. Namun, setiap jalur bisa menampung 815 kendaraan reguler yang bergerak.
Bandingkan dengan lintasan busway, yang hanya dilewati tujuh bus. Jalur busway yang mengambil alih jalur umum, belum mengurangi kemacetan.

Kemacetan juga terjadi akibat ketidakdisplinan angkutan umum dalam menaikan dan menurunkan penumpang. Pembangunan jalur dan penambahan armada busway tetap tidak bisa menyelesaikan kemacetan Jakarta, bila tidak diimbangi dengan penertiban kendaraan umum dan pengaturan penggunaan pribadi.

Pantauan juga dilakukan di Jalur Busway Rasuna Said-Buncit Raya. Dalam 10 menit, tercatat 330 mobil pribadi dengan total penumpang 660 orang. Sementara itu, armada transjakarta melintas setiap 10 menit, dengan rata-rata penumpang mencapai 80 orang.
Berarti, satu bus transjakarta hanya bisa mengangkut 80 penumpang, sementara mobil pribadi, 330 penumpang dalam 10 menit. Dalam hal ini masih dipertanyakan keefektifan jalur khusus tersebut.

Nilai Lebih

Memang, meski banyak yang menggerutu atas kehadiran busway, tak sedikit warga yang justru mensyukurinya. "Yang jelas, bebas macet dan polusi," kata Sri, yang rutin naik transjakarta dari Jalan Otto Iskandar Dinata ke Pasar Senen.
Hal senada juga diungkapkan Ridwan. "Naik kendaraan umum lain, pasti macet. Kalau transjakarta ada jalur khusus. Pendingin udaranya juga bikin nyaman," katanya.

Berbeda dengan dua orang tadi, Nirwan lebih memilih naik mikrolet dari rumahnya di Cijantung ke Kampung Melayu. "Naik mikrolet juga hanya sekali naik. Lagi pula, rumah saya agak jauh dari halte busway. Kalau naik angkutan lain, saya bisa menghentikannya di mana saja, dan kapan saja. Kalau transjakarta kadang-kadang telat datang," katanya.
Ketika ditanya soal kemacetan, ia hanya mengatakan, "Kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya. Jadi, nikmati saja kemacetan itu."

Kehadiran busway sudah pasti mempersempit jalur untuk kendaraan lain. Sejak diluncurkan pertama kali pada 15 Januari 2004 lalu, busway terus mengundang kontroversi.
Sebetulnya, busway bertujuan supaya pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum. Dengan demikian, kepadatan kendaraan di jalan bisa ditekan. Namun yang terjadi, pemilik kendaraan tetap memilih menggunakan kendaraannya sendiri daripada naik transjakarta.

"Saya beli mobil untuk kerja. Kalau naik transjakarta, mobil saya bagaimana? Kalau jarang dipakai, nanti malah rusak. " kata Veri, pengguna kendaraan pribadi, Senin (29/10), di Jakarta. Warga Cempaka Putih ini mengaku sehari-hari menggunakan mobil ke tempat kerjanya di Pulo Gadung.
Senada dengan Veri, Syarif warga Ciledug, juga memilih menggunakan sepeda motornya daripada naik trasnajakarta. "Naik motor juga cepat dan murah. Saya setiap hari dari rumah ke Pulomas hanya butuh waktu satu jam lima belas menit. Itu sudah termasuk macet. Kalau naik transjakarta, setidaknya saya harus ke Blok M dulu. Selain itu, masih harus menunggu bus. Sudah berapa menit waktu saya terbuang?" ungkapnya.

Menurut Robert, warga Depok, kalau pengelola transjakarta tidak mau menyediakan kendaraan pengumpan (feeder) hingga ke permukiman warga, penumpang yang berlokasi jauh dari halte busway, akan memilih naik kendaraan pribadi atau angkutan terdekat, misalnya mikrolet. "Kecuali pengelola transjakarta menyediakan tempat parkir kendaraan di halte seperti di stasiun kereta. Setiap hari, dari rumah, saya mengendarai sepeda motor sampai Stasiun Depok Lama. Motor saya titipkan, lalu saya naik kereta sampai Stasiun Juanda. Dari Stasiun Juanda ke kantor, saya berjalan kaki," jelasnya.

Empat pengguna busway yang diwawancarai Sabtu (27/10), rata-rata tidak memiliki kendaraan pribadi. Misalnya Sri, warga Kebon Nanas, mengaku tidak memiliki kendaraan pribadi. Rute yang biasa ditempuhnya, Otto Iskandar Dinata-Pasar Senen, hanya sekali tempuh dengan transjakarta.
"Saya biasa naik dari Halte Busway Gelanggang Remaja. Dari Halte Busway Pasar Senen ke kantor, saya berjalan kaki," katanya. Bagi pengguna, busway pasti menguntungkan. Sayangnya, masih lebih banyak orang tidak bisa mencicipinya.

Bikin Macet

Jalur busway memakan lebar jalan sehingga jatah kendaraan reguler berkurang. Padahal, penyempitan jalan tidak diimbangi dengan berkurangnya kendaraan reguler yang melintas. Ketika jalur busway tampak lengang, jalur kendaraan reguler justru penuh sesak.

"Tanpa busway saja, jalan sudah macet. Seharusnya, jalur reguler diperlebar sebelum membangun jalur busway. Warga Jakarta sudah biasa dengan macet. Jadi kemacetan tidak bisa memaksa orang naik trsnajakarta," kata Sugianto, warga Depok, Jumat (26/10). Ia mengaku setiap hari menggunakan mobil menuju tempat kerjanya di Kemayoran melalui Jalan Otista.

Menanggapi kontroversi busway, Ketua Forum warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, Selasa (30/10), meminta gubernur menghentikan proyek jalur baru busway. "Sebelum membangun yang baru, perbaiki dulu jalur layanan di jalur yang sudah ada. Armada untuk tujuh koridor saja tidak ada, malah mau menambah koridor baru," katanya.

Ia juga mengatakan, busway sebetulnya merupakan sistem transportasi massal yang bertujuan membuat pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Untuk itu, selain trayek, fasilitas pendukung, misalnya feeder, harus disediakan. Selain itu, jalur busway juga harus tepat sasaran.
"Sebaiknya, pembangunan jalur baru Cililitan-Tanjung Priuk dialihkan menjadi Cililitan-Kelapa Gading, karena pengguna kendaraan pribadi lebih tinggi. Kalau pembangunan dilakukan sampai Tanjung Priuk, malah akan menyusahkan sopir kendaraan umum lain, karena tingkat penggunaan kendaraan umum cukup tinggi," kata pengusaha metromini ini.

Menurutnya, busway di Jakarta hanya merupakan proyek. "Yang dipikirkan hanya pembangunan jalur baru yang ada uangnya, tetapi peningkatan layanan dan penuntasan masalah selalu ditunda-tunda. Lihat saja, pembangunan trayek selalu dilakukan pada akhir tahun untuk menghabiskan sisa APBD," ungkapnya.

Azas menyarankan supaya gubernur baru mengevaluasi manajemen trsnajakarta dan mendesak kepala dinas perhubungan untuk segera melengkapi sistem busway dengan feeder. "Kalau busway dijadikan sistem, dan bukan sekedar proyek dan trayek, kemacetan di Jakarta akan tuntas. Busway memang dirancang untuk mengatasi kemacetan. Namun perlu keseriusan dan tanggung jawab pelaksananya. Jangan salahkan busway, tapi manajemen pengelolanya," tegasnya. [teks & gambar: Suara Pembaruan]

No comments: