Busway is my way, begitulah kira-kira "ideologi" Gubernur Sutiyoso saat pertama kali meluncurkan busway. Kritik keras dari sebagian warga Jakarta, bahkan termasuk ketidaksetujuan Departemen Perhubungan, relatif tidak dihiraukan. Menurut para pengkritik, busway tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menjadi biang kemacetan baru. Kini tampaknya opini mayoritas warga Jakarta mulai berubah: mafhum dengan bus berwarna oranye berlogo elang bondol dan salak condet ini. Gubernur Sutiyoso pun sepertinya tidak "main-main", tujuh koridor busway telah diluncurkan, dan delapan koridor lagi akan dibereskan sebelum Gubernur Sutiyoso lengser keprabon sebagai "Raja" Jakarta.
Namun, ketika konsumen dan opini publik mulai familiar dengan busway, Gubernur Sutiyoso justru memproduksi wacana kebijakan yang sifatnya antiklimaks untuk keberlanjutan busway, yakni menaikkan tarif busway menjadi Rp 5.000 per penumpang, dari semula Rp 3.500 per penumpang. Sistem penarifan juga akan diubah berdasarkan zona (zoning tariff). Saat ini, sang "konsultan transportasi" Dewan Transportasi Kota Pemerintah Provinsi Jakarta sedang menggodok rencana tersebut.
Selain telah menimbulkan pro-kontra, rencana menaikkan tarif ini layak "dibenturkan" dengan beberapa pertanyaan mendasar, misalnya, bagaimanakah tingkat kemampuan membayar (ability to pay) dan juga kemauan membayar (willingness to pay) konsumen/penumpang? Bahkan apakah rencana menaikkan tarif merupakan solusi jika diteropong dari perspektif manajemen transportasi publik? Hasil jajak pendapat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia terhadap 1.055 konsumen busway pada awal Januari 2007 mungkin layak dijadikan "pisau" analisis.
Pertama, soal kemampuan membayar, ternyata income konsumen busway tidaklah bagus-bagus amat. Terbukti, 356 responden (33,7 persen) hanya berpenghasilan Rp 1-2 juta per bulan. Bahkan penghasilan konsumen yang kurang dari Rp 1 juta per bulan juga cukup signifikan, yaitu 273 responden (25,9 persen). Kedua golongan penghasilan ini secara ekonomis merupakan kelompok rentan terkait dengan kenaikan tarif. Adapun penghasilan konsumen yang relatif manageable hanya 18,7 persen (197 responden), yakni Rp 3-4 juta dan di atas Rp 4 juta per bulan.
Kedua, bagaimana pula dengan kemauan membayarnya? Poin ini sangat terkait dengan tingkat layanan (level of service) operator busway. Hingga detik ini, layanan busway terbukti belum memuaskan konsumen, baik petugas loket, satuan tugas, pengemudi Transjakarta, kondisi bus, hingga kondisi halte. Pasalnya, mayoritas konsumen (598 responden/62,36 persen) mempunyai pengalaman buruk saat menggunakan bus Transjakarta, misalnya padatnya penumpang, terutama pada jam sibuk, dan 23,15 persen (222 responden) mengeluh sering terlambat. Kendati tidak terlalu banyak, penumpang pun mengaku merasa tidak aman dan tidak nyaman saat menggunakan busway (46 responden/4,80 persen) serta yang pernah kecopetan bahkan mengalami tindakan kriminal lain sebanyak 24 responden (2,50 persen). Jika sudah begini, apa bedanya busway dengan bus metromini atau kereta rel listrik Jabodetabek?
Bagaimana dengan kondisi halte? Keluhan konsumen sama dan sebangun. Hanya 376 responden (38,84 persen) yang menjawab kondisi halte nyaman, bersih, dan rapi, sedangkan 399 responden (41,22 persen) menyatakan kondisi halte tidak nyaman, karena halte sudah mulai rusak, tidak terawat, dan kotor serta jembatan untuk menuju halte terlalu panjang dan berputar-putar.
Yang lebih menjengkelkan adalah perilaku pengemudi. Terbukti, 311 responden (33,15 persen) mengatakan bahwa pengemudi sering mengerem secara mendadak dan 270 responden (28,78 persen) mengatakan bahwa pengemudi sering tidak pas dalam memberhentikan bus. Ketidaktepatan pemberhentian ini sangat membahayakan, karena penumpang bisa terperosok. Selain itu, pengemudi sering ugal-ugalan/ngebut (55 responden/5,90 persen), mengalami kecelakaan lalu lintas (20 responden/2,13 persen), serta melanggar rambu-rambu lalu lintas (70 responden/7,04 persen). Nah, lagi-lagi apa bedanya pengemudi busway dengan sopir mikrolet?
Jadi, secara gamblang bisa disimpulkan bahwa kualitas layanan busway masih jauh panggang dari api. Konsumen masih diposisikan layaknya penumpang bus umum/KRL Jabodetabek. Kendati mereka mengaku tarif busway "sedang-sedang saja" (723 responden/68,52 persen), bahkan mengaku "murah" (214 responden/20,3 persen), mayoritas konsumen (632 responden/59,9 persen) tetap menolak jika tarif dinaikkan. Hanya 17 persen responden yang "setuju" dengan kenaikan tarif. Karena itu, baik dari sisi ability to pay maupun willingness to pay, saat ini tidaklah tepat bagi pemerintah Jakarta menaikkan tarif busway. Kemampuan membayar konsumen masih sangat minimal, begitu pun kemauan membayarnya, masih sangat rendah.
Rencana menaikkan tarif, dari sisi manajemen transportasi publik, secara paradigmatis merupakan blunder yang sangat fatal. Hal ini menandakan pemerintah DKI belum paham benar dengan politik pengelolaan transportasi publik yang sesungguhnya. Sarana angkutan umum massal (SAUM), di mana pun tempatnya di dunia, entah berupa busway, entah monorel atau bahkan subway, harus diposisikan sebagai infrastruktur. Artinya, tetap harus ada keterlibatan pemerintah dalam program tersebut, yaitu berupa public service obligation (PSO). SAUM di Jepang, New York, London, Hong Kong, dan kota-kota lain yang kampiun dengan SAUM-nya terbukti masih memperoleh PSO dari pemerintah. Sebab, jika mengandalkan fulus dari konsumen, sampai kapan pun tidak akan mampu menutup biaya operasional. Busway, monorel, dan subway adalah infrastruktur transportasi yang padat modal dan padat teknologi.
Jika pemerintah Jakarta tetap ngotot menaikkan tarif busway, implikasinya cukup serius, baik bagi konsumen maupun bagi keberlanjutan busway. Pertama, income konsumen akan tergerus untuk ongkos transportasi, yang saat ini rata-rata mencapai 30 persen dari total pendapatan. Kedua, merupakan bentuk ketidakadilan, karena konsumen diposisikan tidak ada pilihan lagi. Jalur bus umum yang serute dengan busway telah dilikuidasi, sedangkan tarif busway dinaikkan. Ini sama saja pemerintah DKI melakukan eutanasia finansial terhadap warga Jakarta. Ketiga, busway akan ditinggalkan konsumen, terutama konsumen yang berasal dari pengguna kendaraan pribadi. Padahal migrasi pengguna kendaraan pribadi ke busway cukup signifikan (21 persen). Ngapain ber-busway ria, toh belum senyaman kendaraan pribadi, mahal pula tarifnya? Target untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway akan sia-sia.
Pemerintah DKI jangan hanya melihat besaran subsidi yang dikucurkan kepada proyek busway, yang konon mencapai Rp 200 miliar (2006). Pemerintah Jakarta juga harus melihat secara komprehensif nilai benefit yang diperoleh, seperti hemat energi, mempercepat mobilitas penduduk, dan mengurangi kemacetan. Tentunya Gubernur Sutiyoso tidak ingin memelihara kerugian ekonomi dan sosial dari dahsyatnya kemacetan lalu lintas di Jakarta yang, menurut dia, mencapai Rp 27 triliun per tahun.
Terlalu mahal ongkos sosial ekonominya jika tingkat kepercayaan publik terhadap bus Transjakarta justru direduksi oleh kekeliruan paradigma bahwa busway diposisikan sebagai infrastruktur ekonomi, bukan infrastruktur transportasi. Sangat salah jika tarif SAUM seperti busway harus full cost recovery, apalagi dijadikan sarana profit center. Jangan biarkan Jakarta terus berlumur kemacetan karena ketidakbecusan mengelola sarana angkutan umum massal.
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
more