31.10.07

Karena banyak keluhan

Busway Harus Dievaluasi

Pemerintah DKI Jakarta diminta mengevaluasi pembangunan jalur khusus bus Transjakarta agar tidak menciptakan kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan parah mengakibatkan semua elemen masyarakat mengalami kerugian besar dan pertumbuhan ekonomi terhambat.

Permintaan itu disampaikan oleh juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DKI Jakarta Maria Ahdiati, dan Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua, hari Kamis (11/10) saat rapat paripurna DPRD.

Pembangunan jalur khusus bus Transjakarta yang tidak disertai dengan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, kata Maria, menyebabkan kemacetan terjadi tanpa terkendali. Kemacetan juga meluas ke berbagai kawasan di Jakarta dan menciptakan inefisiensi pembangunan.

Di Jakarta, lima jalur khusus masih akan dibangun lagi dalam waktu dua tahun mendatang. Berdasarkan pengalaman tiga tahun terakhir, pembangunan jalur khusus bus Transjakarta selalu menciptakan kemacetan parah.

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto mengatakan, konsep awal bus Transjakarta adalah melebarkan satu lajur jalan dan baru mengambil satu lajur lain untuk menjadi lajur khusus.

Konsep itu harus dipertahankan agar tidak tercipta kemacetan selama proses pembangunan jalur bus Transjakarta, seperti yang terjadi sekarang ini.

Sementara itu pengamat transportasi Universitas Trisakti, Trisbiantara, juga menyoroti perlunya evaluasi mengenai kinerja Badan Layanan Umum Transjakarta. Selama ini, banyak keluhan muncul dari masyarakat mengenai menurunnya kenyamanan bus tersebut. (ECA - Kompas)

Macet Sekarang atau Nanti

Busway Tak Kurangi Kemacetan

Penanggulangan kemacetan di Jakarta tidak sepenuhnya bergantung pada efektifnya pengoperasian bus jalur khusus (busway). Pasalnya, jumlah perjalanan busway dari koridor I-VII baru melayani 200.000 penumpang per hari. Padahal, jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 7,2 juta per hari.

Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Darmaningtyas mengatakan, dari 7,2 juta perjalanan di Ibukota setiap hari, sekitar lima juta dikuasai kendaraan pribadi dan dua juta lagi oleh angkutan umum, selain busway.

"Jadi sangat tidak logis kalau kita berharap busway dapat mengurangi kemacetan di Jakarta. Soalnya kalau sampai terbangun 15 koridor, perjalanan yang terlayani hanya sekitar 400.000 sampai 500.000 penumpang per hari. Sementara jutaan orang lainnya menggunakan kendaraan pribadi," kata Darmaningtyas, di sela-sela acara Diskusi Publik bertema "Macet Sekarang atau Nanti, Polemik Pembangunan Busway", di Jakarta Media Center, Selasa (30/10).

Terkait dengan itu, lanjutnya, pemerintah harus merealisasikan dan mengintegrasikan moda transportasi makro lainnya, yakni subway (kereta bawah tanah) dan monorel (kereta rel tunggal) yang kapasitas perjalanannya lebih besar dari busway.

Pengamat transportasi dari Universitas Gajah Mada, Prof Dr Danang Parikesit mengatakan, kemacetan yang cukup parah di Jakarta saat ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2010, karena jumlah kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan angkutan umum.

Sementara Andi Rahma dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengatakan kemacetan yang terjadi di Jakarta saat ini, tidak terlepas dari kontribusi pembangunan dan pengelolaan busway yang tidak efektif. Pelayanan busway yang cenderung menurun, membuat banyak pengguna kendaraan pribadi mengurungkan niat beralih kepada busway.

Menanggapi komentar para ahli, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Nurracman mengatakan, pihaknya terus berupaya meningkatkan pelayanan busway. Hingga Juni 2006, jumlah armada busway dari Koridor I-VII sudah sesuai target. [J-9 - Suara Pembaruan]

Warga Rasakan Manfaat Busway 2011

Warga ibukota mesti harus bersabar menghadapi kemacetan yang terjadi saat ini. Sebab, kemacetan yang cukup parah ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga tahun 2010 mendatang.
Pengamat transportasi dari Universitas Gajah Mada, Prof Dr Danang Parikesit, kemacetan yang terjadi ini merupakan konsekusensi logis dari dampak pembangunan jalur busway. Namun, apabila pembangunan itu sudah selesai, maka masyarakat akan menikmati hasilnya.

"Menurut prediksi kami dalam dua sampai tiga tahun ke depan kondisi jalan akan tetap seperti ini. Artinya, tetap pada kondisi macet. Tapi, pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 masyarakat akan merasakan penuh manfaat dari adanya busway," katanya, saat berbicara dalam Diskusi Publik bertajuk Macet Sekarang atau Nanti, Polemik Pembangunan Busway, di Jakarta Media Center, Selasa (30/10).

Oleh karena itu, kata Danang, kemacetan yang diakibatkan oleh adanya jalur busway tidak dapat dijadikan indikator bahwa pembangunan busway tidak berhasil mengatasi kemacetan. Sebab, semua koridor busway belum selesai di bangun termasuk sarana feeder-nya.

"Sistem angkutan umum itu akan efektif, jika semua jaringan transportasi itu sudah terbentuk. Nah, usulan saya semua koridor itu harus terbentuk dulu baru kita bisa menilai apakah pembangunan busway itu efektif atau tidak?" katanya.
"Jadi kalau sistem angkutan umum itu mampu meningkatkan jumlah pengguna jasa angkutan umum di kota tersebut berarti itu berhasil," imbuhnya.

Ia menuturkan, saat ini jumlah pengguna angkutan umum di DKI Jakarta sekitar 60 persen dari total gerak perjalanan masyarakat DKI Jakarta. "Minimal 60 persen itu terjaga jangan malah berkurang, kalau bisa malah bertambah itu akan dapat dikatakan berhasil," tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Nuracman mengatakan, pihaknya tengah berusaha meningkatkan pelayanan busway di koridor I-VII dan akan mempercepat pengoperasian busway koridor VIII, IX, dan X.
"Kita saat ini sudah melakukan upaya perbaikan pelayanan kepada di semua koridor, misalnya hideway-nya kita perpendek dan fasilitasnya kita juga perbaiki. Kita juga lagi konsentrasi pada pengoperasian koridor VIII-X," tukasnya. [beritajakarta.com]

Denah rute di Google Map

Kukuh TW, seoang anggota milis Suara TransJakarta membuat rute busway di Google Map.

Anda bisa melihatnya di http://lokasijakarta.com/rutebusway.php

30.10.07

Bukan untuk rute publik

Rute Koridor VIII busway diminta diubah

Pemprov DKI Jakarta diminta segera mencari rute pengganti jalur busway koridor VIII (Lebak Bulus-Harmoni) yang melewati Jl. Pondok Indah, karena bukan untuk jalur publik.

Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowan mengatakan wajar jika warga Pondok Indah menentang pembangunan jalur busway di kawasan tersebut karena memang bukan untuk rute publik.

Namun, menurutnya, Komisi V akan menyerahkan kebijakan itu sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Pasalnya, legislatif tidak memiliki kewenangan melakukan pemanggilan terhadap pihak yang berseteru.

"Class action merupakan wahana bagi masyarakat untuk menunjukkan reaksinya secara hukum terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Hal itu saya lihat masih normal, silakan berproses dan apa pun keputusannya harus sesuai dengan mekanisme hukum yang ada," katanya kemarin.

Warga Pondok Indah akan menggugat Pemprov DKI Jakarta. Gugatan itu akan dimasukkan lewat Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada hari ini.

Warga berharap PN Selatan mengabulkan permohonan mereka sehingga pem- bangunan jalur busway Koridor VIII dihentikan. Setelah batal memasukkan gugatan kemarin, hari ini mereka juga berencana melayangkan pengaduan terkait dengan analisis dampak lingkungan (Amdal). (08) - Bisnis Indonesia

Angkutan massal siapkah?

Pemprov DKI Ditantang Batasi Kendaraan Pribadi

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus segera merealisasikan rencana pembatasan penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Kemacetan di ibu kota negara ini makin parah akibat alokasi jalur jalan untuk busway.
Desakan ini disuarakan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Sulastono. Sedangkan Ketua DPRD DKI Jakarta HM Ade Surapriatna mendesak Gubernur DKI Fauzi Bowo agar menghentikan sementara dan mengevaluasi pembangunan jalur busway koridor VIII, IX dan X, karena menimbulkan keresahan dan diprotes ribuan orang yang mengaku rugi besar akibat kemacetan lalu lintas.

Masyarakat menjadi korban kemacetan. Tak hanya mengakibatkan boros bahan bakar minyak (BBM) dan merusak suku cadang kendaraan, tetapi juga kehilangan banyak waktu, dan stres. "Secara makro, kerugian akibat kemacetan itu besar sekali. Saya minta kepada Gubernur agar stop dulu, dievaluasi menyeluruh, melibatkan pakar transportasi dan ahli perencana pembangunan. Ini mendesak dilakukan untuk menghindari kerugian lebih besar," ujar Ade Surapriatna.

Bambang menambahkan, "Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi merupakan pilihan yang harus diambil Pemprov DKI. Meski demikian, pembatasan itu baru dapat dilaksanakan setelah penyediaan angkutan massal memenuhi unsur aman, nyaman dan murah," kata Bambang Sulastono kepada Suara Karya, Senin (29/10) malam.

Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, kata Bambang, bisa dilakukan dengan menerapkan sistem electronic road pricing (ERP) atau kendaraan dibebani pungutan saat melewati ruas jalan tertentu.

Sistem ini mengadopsi kebijakan yang telah ditempuh Pemerintah Singapura, yang terbukti efektif membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, Singapura berhasil mengatasi kemacetan, karena sistem angkutan massal tertata baik.

"Kalau sistem ini diterapkan di Jakarta, bisa saja. Tapi, apakah angkutan massal kita sudah siap?" ujar Bambang. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi juga bisa dilakukan dengan melarang kendaraan tua beroperasi. Atau pembatasan berdasarkan nomor kendaraan ganjil genap.

Tapi, sistem ganjil genap rawan penyalahgunaan. Pasalnya, sistem ini mudah direkayasa dan merangsang orang memiliki lebih dari satu kendaraan. "Di Manila, sistem ini gagal karena banyak pemilik kendaraan yang memalsukan nomor polisi. Orang kaya malah menambah mobil," ucap Bambang.

Menurut dia, kemacetan parah Jakarta akhir-akhir ini disebabkan tiga hal. Pertama, pembangunan infrastruktur busway kurang terkoordinasi, dengan akibat kapasistas jalan berkurang.
Kedua, pemprov kurang mengantisipasi dampak busway atau pemberlakuan sejumlah koridor tidak disimulasikan. Ketiga, pertumbuhan jumlah ken-daraan sangat cepat.
Berbagai faktor penyebab ini, kata Bambang, belum pernah diselesaikan oleh regulator. Kalau hal ini dibiarkan atau tidak diantisipasi, Jakarta akan mengalami kemacetan total pada 2014.

Saat ini, luas jalan di Jakarta sekitar 43 juta meter persegi. Pada 2014, pertumbuhan luas jalan diperkirakan menjadi 45 juta meter persegi, atau sama dengan luas kebutuhan ruang tiga juta mobil. "Jika benar itu terjadi, Jakarta bisa lumpuh," katanya. (Sadono/Budi Seno/Yon Parjiyono - Suara Karya)

Busway kurang efektif?


Menguji Keefektifan Busway
Transjakarta Masih Kalah
Oleh Albertus Tjatur Wiharyo

Keberadaan busway sebagai solusi kemacetan Jakarta, agaknya harus dipertanyakan kembali. Sebab, secara kasat mata, bus-bus kota lainnya, seperti metromini, atau mikrobis, seperti mikrolet, yang beroperasi lebih dulu, terbukti lebih lincah dibanding transjakarta, yang memiliki jalan khusus.

Contohnya, pantauan sejak pukul 09.00-09.30 WIB di Halte Busway Gelanggang Remaja, Jakarta, Jumat (26/10) pekan lalu menunjukkan, transjakarta belum mampu menggantikan peran angkutan umum. Kemacetan pun bisa menghambat laju bus khusus tersebut.

Pada saat itu, dari arah Dewi Sartika-Kampung Melayu, hanya tujuh bus transjakarta melintas. Pada dua bus terlihat sejumlah penumpang berdiri, namun tidak sampai berjejal, sementara pada lima bus lainnya tidak tampak penumpang berdiri.
Pada kurun waktu yang sama, lalu lintas di jalur reguler, di luar jalur busway, mencatat sekitar 120 mikrolet, rata-rata berisi lima penumpang, 80 metromini masing-masing 15 penumpang, 150 mobil pribadi rata-rata dua penumpang, dan 500 sepeda motor rata-rata satu pengemudi.

Jika misalnya bus transjakarta rata-rata bermuatan 40 orang, dalam setengah jam hanya mampu mengangkut 280 penumpang. Sementara kendaraan regular mampu mengangkut 2.450 penumpang.

Selain itu, lalu lintas di jalur busway tampak kontras dengan kepadatan kendaraan di jalur regular, meskipun lajur reguler menggunakan tiga jalur kendaraan. Namun, setiap jalur bisa menampung 815 kendaraan reguler yang bergerak.
Bandingkan dengan lintasan busway, yang hanya dilewati tujuh bus. Jalur busway yang mengambil alih jalur umum, belum mengurangi kemacetan.

Kemacetan juga terjadi akibat ketidakdisplinan angkutan umum dalam menaikan dan menurunkan penumpang. Pembangunan jalur dan penambahan armada busway tetap tidak bisa menyelesaikan kemacetan Jakarta, bila tidak diimbangi dengan penertiban kendaraan umum dan pengaturan penggunaan pribadi.

Pantauan juga dilakukan di Jalur Busway Rasuna Said-Buncit Raya. Dalam 10 menit, tercatat 330 mobil pribadi dengan total penumpang 660 orang. Sementara itu, armada transjakarta melintas setiap 10 menit, dengan rata-rata penumpang mencapai 80 orang.
Berarti, satu bus transjakarta hanya bisa mengangkut 80 penumpang, sementara mobil pribadi, 330 penumpang dalam 10 menit. Dalam hal ini masih dipertanyakan keefektifan jalur khusus tersebut.

Nilai Lebih

Memang, meski banyak yang menggerutu atas kehadiran busway, tak sedikit warga yang justru mensyukurinya. "Yang jelas, bebas macet dan polusi," kata Sri, yang rutin naik transjakarta dari Jalan Otto Iskandar Dinata ke Pasar Senen.
Hal senada juga diungkapkan Ridwan. "Naik kendaraan umum lain, pasti macet. Kalau transjakarta ada jalur khusus. Pendingin udaranya juga bikin nyaman," katanya.

Berbeda dengan dua orang tadi, Nirwan lebih memilih naik mikrolet dari rumahnya di Cijantung ke Kampung Melayu. "Naik mikrolet juga hanya sekali naik. Lagi pula, rumah saya agak jauh dari halte busway. Kalau naik angkutan lain, saya bisa menghentikannya di mana saja, dan kapan saja. Kalau transjakarta kadang-kadang telat datang," katanya.
Ketika ditanya soal kemacetan, ia hanya mengatakan, "Kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya. Jadi, nikmati saja kemacetan itu."

Kehadiran busway sudah pasti mempersempit jalur untuk kendaraan lain. Sejak diluncurkan pertama kali pada 15 Januari 2004 lalu, busway terus mengundang kontroversi.
Sebetulnya, busway bertujuan supaya pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum. Dengan demikian, kepadatan kendaraan di jalan bisa ditekan. Namun yang terjadi, pemilik kendaraan tetap memilih menggunakan kendaraannya sendiri daripada naik transjakarta.

"Saya beli mobil untuk kerja. Kalau naik transjakarta, mobil saya bagaimana? Kalau jarang dipakai, nanti malah rusak. " kata Veri, pengguna kendaraan pribadi, Senin (29/10), di Jakarta. Warga Cempaka Putih ini mengaku sehari-hari menggunakan mobil ke tempat kerjanya di Pulo Gadung.
Senada dengan Veri, Syarif warga Ciledug, juga memilih menggunakan sepeda motornya daripada naik trasnajakarta. "Naik motor juga cepat dan murah. Saya setiap hari dari rumah ke Pulomas hanya butuh waktu satu jam lima belas menit. Itu sudah termasuk macet. Kalau naik transjakarta, setidaknya saya harus ke Blok M dulu. Selain itu, masih harus menunggu bus. Sudah berapa menit waktu saya terbuang?" ungkapnya.

Menurut Robert, warga Depok, kalau pengelola transjakarta tidak mau menyediakan kendaraan pengumpan (feeder) hingga ke permukiman warga, penumpang yang berlokasi jauh dari halte busway, akan memilih naik kendaraan pribadi atau angkutan terdekat, misalnya mikrolet. "Kecuali pengelola transjakarta menyediakan tempat parkir kendaraan di halte seperti di stasiun kereta. Setiap hari, dari rumah, saya mengendarai sepeda motor sampai Stasiun Depok Lama. Motor saya titipkan, lalu saya naik kereta sampai Stasiun Juanda. Dari Stasiun Juanda ke kantor, saya berjalan kaki," jelasnya.

Empat pengguna busway yang diwawancarai Sabtu (27/10), rata-rata tidak memiliki kendaraan pribadi. Misalnya Sri, warga Kebon Nanas, mengaku tidak memiliki kendaraan pribadi. Rute yang biasa ditempuhnya, Otto Iskandar Dinata-Pasar Senen, hanya sekali tempuh dengan transjakarta.
"Saya biasa naik dari Halte Busway Gelanggang Remaja. Dari Halte Busway Pasar Senen ke kantor, saya berjalan kaki," katanya. Bagi pengguna, busway pasti menguntungkan. Sayangnya, masih lebih banyak orang tidak bisa mencicipinya.

Bikin Macet

Jalur busway memakan lebar jalan sehingga jatah kendaraan reguler berkurang. Padahal, penyempitan jalan tidak diimbangi dengan berkurangnya kendaraan reguler yang melintas. Ketika jalur busway tampak lengang, jalur kendaraan reguler justru penuh sesak.

"Tanpa busway saja, jalan sudah macet. Seharusnya, jalur reguler diperlebar sebelum membangun jalur busway. Warga Jakarta sudah biasa dengan macet. Jadi kemacetan tidak bisa memaksa orang naik trsnajakarta," kata Sugianto, warga Depok, Jumat (26/10). Ia mengaku setiap hari menggunakan mobil menuju tempat kerjanya di Kemayoran melalui Jalan Otista.

Menanggapi kontroversi busway, Ketua Forum warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, Selasa (30/10), meminta gubernur menghentikan proyek jalur baru busway. "Sebelum membangun yang baru, perbaiki dulu jalur layanan di jalur yang sudah ada. Armada untuk tujuh koridor saja tidak ada, malah mau menambah koridor baru," katanya.

Ia juga mengatakan, busway sebetulnya merupakan sistem transportasi massal yang bertujuan membuat pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Untuk itu, selain trayek, fasilitas pendukung, misalnya feeder, harus disediakan. Selain itu, jalur busway juga harus tepat sasaran.
"Sebaiknya, pembangunan jalur baru Cililitan-Tanjung Priuk dialihkan menjadi Cililitan-Kelapa Gading, karena pengguna kendaraan pribadi lebih tinggi. Kalau pembangunan dilakukan sampai Tanjung Priuk, malah akan menyusahkan sopir kendaraan umum lain, karena tingkat penggunaan kendaraan umum cukup tinggi," kata pengusaha metromini ini.

Menurutnya, busway di Jakarta hanya merupakan proyek. "Yang dipikirkan hanya pembangunan jalur baru yang ada uangnya, tetapi peningkatan layanan dan penuntasan masalah selalu ditunda-tunda. Lihat saja, pembangunan trayek selalu dilakukan pada akhir tahun untuk menghabiskan sisa APBD," ungkapnya.

Azas menyarankan supaya gubernur baru mengevaluasi manajemen trsnajakarta dan mendesak kepala dinas perhubungan untuk segera melengkapi sistem busway dengan feeder. "Kalau busway dijadikan sistem, dan bukan sekedar proyek dan trayek, kemacetan di Jakarta akan tuntas. Busway memang dirancang untuk mengatasi kemacetan. Namun perlu keseriusan dan tanggung jawab pelaksananya. Jangan salahkan busway, tapi manajemen pengelolanya," tegasnya. [teks & gambar: Suara Pembaruan]

Pembangunan Busway Koridor VIII

Proyek Kejar Target, Abaikan Amdal

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan, kajian Pemprov DKI Jakarta soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan jalur Busway Koridor VIII Lebak Bulus- Harmoni, yang melewati Jalan Pondok Indah, Jakarta Selatan tidak komprehensif dan ilmiah. Proyek tersebut, dinilai sebagai proyek kejar target dan cenderung memaksa.

Pasalnya, dalam kerangka acuan analisis dampak lingkungan hidup (KA Andal) sebagai bagian dari awal Amdal, Pemprov urung memberikan analisis dampak negatif pembangunan jalur busway tersebut. "Yang disajikan hanyalah fakta tentang hal positif kehadiran busway nantinya. Wajar saja jika masyarakat Pondok Indah melakukan class action. Itu hak mereka," papar Direkur Eksekutif WALHI Jakarta, Selamet Daroyni, saat ditemui SP, Senin (29/10).

Dalam proses pengkajian Amdal, mereka harus dilibatkan. "Sebab, pelibatan warga yang berkaitan dengan proyek tersebut, telah diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pengelola Dampak Lingkungan No 8 Tahun 2002," katanya.

Dalam surat keputusan tersebut, pada ayat 3.2 disebutkan, terkait KA Andal, pihak yang akan membangun suatu proyek tertentu wajib berkonsultasi kepada warga yang berkepentingan. Lalu, di ayat 3.3, warga yang terkena dampak tersebut wajib duduk bersama sebagai Anggota Komisi Penilai Amdal. "Dan yang terpenting di Pasal 3.4 warga tersebut berhak memberikan saran, pendapat, dan tanggapan," ujarnya.

Yang lebih menarik sekaligus memalukan tambah Selamet, ada pernyataan Dinas Perhubungan yang mengatakan, ketika dokumen Andal selesai, secara otomatis Amdal pun rampung. "Padahal, sah tidaknya Amdal harus melalui tahapan mulai dari KA Andal, dokumen Andal, dokumen Amdal, dan Izin Mendirikan Bangunan atau Izin Melakukan Kegiatan Konstruksi. Sayangnya, salah tafsir ini tidak diluruskan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, yang seharusnya punya kapasitas untuk memberikan transformasi pengetahuan terutama, terhadap Pemprov," tandasnya.

Pada awalnya, jalur busway ini akan melewati Jalan Ciputat Raya. Ketika ada perubahan jalur melalui Pondok Indah, sontak warga protes sebab mereka mengakui wilayahnya adalah area terbuka lingkungan hijau dan jalur hijau.
"Warga Pondok Indah pun telah membentuk tim yang mampu mengkaji Amdal. Mereka berasal dari warga Pondok Indah, yang mahir dan paham soal hukum, legalitas, dan lingkungan hidup," jelas Selamet.

Seruan makin menggema, itu yang dikatakan Selamet, sebab sebelum proyek tersebut dilaksanakan, tidak dipikirkan dampak negatifnya. "Tindakan preventif sangatlah perlu. Adanya kajian Amdal diharapkan mampu mengeliminasi korban jiwa dan kerugian materi karena pembangunan tersebut," katanya.

Belum lagi, jika proyek tersebut berlangsung, terjadi penebangan pohon, kemacetan pun tak dapat terelakkan. Kemudian, sistem drainase (resapan air) yang ada di sepanjang jalan pun akan disfungsi, instalasi listrik juga dipastikan terganggu.

Jika class action diteruskan, Walhi berharap, pihak kepolisian dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjukkan kredibilitasnya menciptakan keadilan dan menegakkan hukum lingkungan. [ASR/N-6 - Suara Pembaruan]

29.10.07

Busway di tol

Tarif busway di tol dikaji

Penumpang busway yang melewati ruas jalan tol bakal dikenakan tarif Rp7.000 mengacu pada besaran setoran yang akan diberikan pada operator jalan tol.

Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Direktorat Perhubungan Darat Dephub Elly A. Sinaga mengatakan pihaknya masih merumuskan tarif yang tepat terkait dengan pengoperasian busway di jalan tol.

"Kami sedang menghitung besaran tarif total yang termasuk di dalamnya tarif jalan tol. Dalam hitungan sementara, tarif busway tol Rp7.000," ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Menurut dia, pengoperasian busway di jalur jalan tol Jabodetabek diharapkan dapat menarik minat pengguna kendaraan pribadi untuk beralih pada kendaraan umum. (Bisnis/08 - Bisnis Indonesia)

Perlu evaluasi pakar

Bom Waktu Warisan Sutiyoso, Kegiatan Bisnis Bisa Kusut

Kemacetan parah lalu lintas di kota Jakarta, jika tak segera bisa ditangani secara jitu, bisa menjadi "bom waktu". Kegiatan bisnis bisa ikut-ikutan kusut karena menjadi tak efisien dan tak berkepastian.

Menurut Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua, dia setuju dengan penilainan seperti itu. Inggard lalu menyebutkan, sumber utama kemacetan lalu lintas di Ibu Kota ini adalah pembangunan jalur busway koridor VIII, IX, dan X. Pasalnya, di banyak lokasi terjadi penyempitan jalur sehingga penumpukan kendaraan tak terelakkan lagi.

"Ini adalah bom waktu yang ditinggalkan mantan Gubernur Sutiyoso. Proyek busway menjadi bom waktu karena prosedur perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya tidak sesuai dengan konsep yang diterapkan di Bogota, Kolumbia, yang menjadi rujukan. Jadi, ini harus segera dievaluasi secara tuntas oleh semua pihak, DPRD, Gubernur DKI, dan unit kerja yang bertanggung jawab terhadap pembangunan jalur busway," ujar Inggard di Jakarta, kemarin.

Sutiyoso sendiri menampik penilaian bahwa dia meninggalkan bom waktu. Sementara Wagub Prijanto menyatakan akan mengevaluasi tujuh koridor busway yang sudah dioperasikan maupun betonisasi jalur busway koridor VIII, IX, dan X.

Menurut Inggard, DPRD DKI Jakarta akan mengevaluasi proyek busway sebagai bahan masukan bagi pihak eksekutif. Untuk itu, katanya, Ketua Dewan Transportasi Kota Sutanto Soehodo yang juga Wakil Rektor Universitas Indonesia akan dilibatkan.

Inggard menyebutkan, Sutanto beralasan dilibatkan dalam evaluasi proyek busway ini karena dia adalah salah seorang yang resmi masuk tim penyusun konsep Pola Transportasi Makro Jakarta. Namun, dalam kenyataannya, selama ini dia tidak dilibatkan pada penyusunan kajian pembangunan jalur busway.

"Beliau tidak pernah dilibatkan dalam evaluasi pembangunan lajur busway koridor I-VII maupun kajian pembangunan lajur busway koridor VIII-X. Dewan akan memanggil Pak Sutanto untuk mengevaluasi prosedur dan pelaksanaan pembangunan lajur busway yang menyusahkan masyarakat ini," ucap Inggard menegaskan.

Menurut Inggard, konsep awal pembangunan lajur busway adalah mengambil satu lajur dan mengembalikan lagi satu lajur. Namun yang terjadi sekarang ini, lajur busway mengambil lajur yang sudah ada tanpa membangun satu lajur pengganti. Akibatnya kemacetan lalu-lintas di dalam kota Jakarta tidak terhindarkan.

"Seharusnya Pemprov DKI mengevaluasi dulu pengoperasian busway koridor I-VII. Tujuh koridor itu masih banyak masalah kok. Kemudian juga menyiapkan armada angkutan feeder (penghubung) agar masyarakat dapat dengan mudah mencapai akses ke koridor busway. Sekarang ini penyiapan armada angkutan feeder dilupakan, sehingga warga cenderung enggan beralih ke busway," ucapnya lagi.

Sementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menampik tudingan bahwa kemacetan lalu lintas di Ibu Kota sekarang ini merupakan bom waktu yang dia tinggalkan. "Pembangunan lajur busway koridor I-VII yang sudah beroperasi dengan baik, juga lajur busway koridor VIII-X, itu sudah dikaji secara komprehensif oleh pakar transportasi dari dalam dan luar negeri. Semua menyatakan bahwa pembangunan lajur busway merupakan solusi mengatasi kemacetan di Jakarta," kata Sutiyoso.

Kemacetan lalu lintas di Jakarta sekarang ini, menurut Sutiyoso, menuntut masyarakat bersabar secara luar biasa. Dia meyakinkan bahwa kemacetan itu hanya sementara. Bila seluruh koridor busway sudah beroperasi, katanya, kemacetan lalu lintas di Jakarta yang begitu parah itu tidak akan terjadi lagi. Dalam konteks ini, dia yakin bahwa masyarakat pengguna kendaraan pribadi akan beralih memanfaatkan busway.

"Saya tegaskan, keputusan Pemprov DKI membangun busway ini tidak asal-asalan. Itu sudah memperhatikan secara saksama hasil kajian, penelitian para pakar transportasi di dalam maupun luar negeri. Karena mereka merekomendasi pembangunan lajur busway sebagai pilihan terbaik, maka saya putuskan bahwa proyek tersebut jalan terus. Biar saja masyarakat mengomel atau bahkan mencaci-maki. Saya yakin, pada akhirnya kelak mereka mengakui dan merasakan manfaat pembangunan busway setelah seluruh koridor selesai dibangun dan dioperasikan," ujar Sutiyoso.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto berjanji mengevaluasi ulang tujuh koridor busway yang sudah dioperasikan, serta pembangunan betonisasi lajur busway koridor VIII-X yang sudah dan sedang dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU) dan para kontraktor mitra kerjanya. "Kalau memang berdampak menyusahkan rakyat banyak, kita akan kaji ulang," ucapnya, akhir pekan lalu.

Bagaimana dengan fraksi-fraksi di DPRD yang akan menjegal anggaran 2008 untuk pembangunan koridor lanjutan XI-XV, menurut Prijanto perlu dibicarakan secara saksama antara eksekutif dan legislatif, "Kita sepakat kalau memang menyengsarakan rakyat kita evaluasi lagi," katanya menanggapi rencana pimpinan semua fraksi DPRD yang akan mencoret anggaran pembangunan koridor lanjutan jika eksekutif mengajukan anggaran dalam APBD 2008. (Yon Parjiyono - Suara Karya)

28.10.07

Moacetecetecet

Mega “Moacet”
ARSWENDO ATMOWILOTO

Dan kini sempurnalah sudah kemacetan di Jakarta, serta sekitarnya. Sedemikian sempurnanya kemacetan ini, sehingga kita hanya bisa memaki, membenci, menyalahkan (kadang ikut menyalahi) peraturan, tanpa bisa keluar dari persoalan itu.

Bahkan sedemikian geramnya, kata macet itu sendiri diucapkan dengan moacet, atau moacet-ecetecet, supermacet, mega moacet. Karena macet kali ini bukan sekadar terhambat, tersendat, tersumbat, melainkan sudah pada tingkatan mandeg, lumpuh, bencat. Tak ada yang tak mengumpat ketika berada adonan pampat yang memicu adrenalin kesumat untuk dilampiaskan ke siapa saja, apa saja: pak ogah, pengatur jalan amatiran yang sebenarnya tidak ogah-ogahan, lampu lalu lintas yang bisa menjadi lampu disko, polantas selalu tampak kuyu tak bergegas, perbandingan jalan dengan jumlah kendaraan, disiplin sodok kiri mogok kanan.

Sampai dengan yang aktual dari dari segi waktu,pembangunan jalan bus way, yang bener-bener semau gue. Kalau pedagang kaki lima yang membuat macet sementara bisa diuber-uber dan dipenjarakan, pembuatan jalan busway yang lebih memacetkan secara serentak, malah memenjarakan pengguna jalan dalam suasana terkutuk. Sementara aktual dari segi masalah masih akan selalu bertambah: ada demo, penertiban jalanan dan tentu saja datangnya musim hujan. Kita tahu bahwa kemacetan jalanan itu mengakibatkan juga kemacetan perjalanan udara, juga laut, juga jadwal pertemuan dan berbagai kencan. Istilahnya bukan lagi “tua di jalan”, melainkan “mati di jalan”.

Sedemikian banyak keluhan mengenai kemacetan—bukan hanya dari radio, yang penyiarnya selalu menyarankan bersabar, bukan hanya di surat pembaca di surat kabar, bukan hanya di telepon yang diakhiri dengan “syukurin loe”—sehingga saya berprasangka buruk bahwa ada skenario besar yang sedang dijalankan. Yaitu untuk menjadikan Jakarta sebagai kota termacet sedunia. Jakarta sebagai kota mega moacet sehingga bisa menarik wisatawan lebih banyak.

Ketika ibu kota lain mulai berbenah mengatasi kemacetan, Jakarta makin menjadi-jadi, sehingga ada peluang bagi turis untuk menemukan pengalaman yang tak ditemukan di tempat lain. Efek dinamika industri ini bagus, karena semakin banyak pendatang, kemacetan justru bertambah. Dan kesuksesan ini ditiru di wilayah sekitar, karena Depok pun sudah menjadi momok yang menjengkelkan, sementara daerah Bogor sampai Puncak sudah meneror dengan sistem “buka-tutup” yang banyak tutupnya. Sampai kita tahu atau merasakan, Bandung sudah lama ikut bergabung.

Kota-kota lain tinggal menyusul, dengan pola dan cara yang sama dengan resep yang telah teruji. Untuk mencapai target sebagai “kota termacet sedunia”, memang perlu pengorbanan, dan para pengguna jalan sudah biasa dikorbankan, disalahkan, serta diabaikan. Embrio skenario besar pernah diujicobakan dan hasilnya memuaskan, yaitu ketika masyarakat di mana-mana mulai membangun “polisi tidur”, yang menyebabkan onderdil mobil mudah rusak, ban lebih gundul, dan pengeluaran bensin lebih boros.

Di balik itu adalah niatan para industrialis, kapitalis yang ingin barangbarangnya cepat laku. Kalau tak ada skenario raksasa, mana mungkin masyarakat dengan serta-merta membuat begitu banyak “polisi tidur” secara serentak di sepanjang jalur di semua lajur? Logika ngawur begini bisa subur ketika terjebak—sebenarnya secara sadar, di tengah arus kemacetan. Saya selalu menasihati diri dalam kondisi seperti ini. Kalau ditanya terjebak di mana, selalu saya jawab: di jalan Sabar. Jalan di mana kita harus bersabar… Kalau ditanya lagi: di mana itu, tinggal melanjutkan: jalan tiada ujung, karena sabar itu tiada akhir. Dan ketika itu terjadi, kita hanya bisa menghibur diri,dan atau memaki. Seperti kita mencium bangkai tikus di jalan, kita menutup hidung, meludah, cuh, memaki—sementara sebenarnya bau busuk itu masih tetap di situ. Cuhlagi, dan tak ada yang acuh.(*) Koran Sindo

Dibiarkan saja


Pagar Pembatas Busway Rusak

Pagar pembatas jalur busway di Jalan Sultan Agung, Manggarai, Jakarta Selatan, sudah lama rusak dan belum ada tanda-tanda diperbaiki oleh instansi yang berwenang. Pagar yang rusak itu dimanfaatkan pejalan kaki untuk menyeberang tanpa menyadari bahayanya. Foto dibuat Minggu (28/10) sore.

26.10.07

Busgandeng belum beroperasi

Bus Gandeng Masih Tunggu Surat Kendaraan

Pengoperasian 10 bus gandeng di koridor V busway (Kampung Melayu-Ancol) masih menunggu surat tanda nomor kendaraan dari kepolisian.

"Sudah kami ajukan pekan lalu," ujar seorang pejabat PT Jakarta Mega Trans, operator koridor V, kepada Tempo kemarin.
Menurut dia, lazimnya waktu pengurusan surat kendaraan adalah satu pekan. Jika surat sudah beres, masih perlu serangkaian uji coba, yaitu uji mutu, uji karoseri, dan uji tabung gas, bus oleh Dinas Perhubungan di Cibitung, Jawa Barat. Pengujian dijadwalkan berlangsung pekan depan.

Namun, "Tanpa STNK kami tidak berani keluarkan bus," kata sumber itu. Sepuluh bus gandeng itu kini parkir di pul Jakarta Mega Trans di Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Permohonan pembuatan STNK untuk bus gandeng, kata Kepala Subdirektorat Administrasi Registrasi dan Identifikasi Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Giri Purwanto, sudah diterima. "Kalau persyaratan sudah lengkap, (STNK) bisa (keluar)," ujarnya kepada Tempo.

Surat-surat bus gandeng, kata dia, harus melewati proses layaknya pengurusan surat kendaraan lain. Lama prosesnya, kata dia, tak sampai sebulan. Pada prinsipnya, kata Wakil Direktur Lalu Lintas Ajun Komisaris Besar Firman Shantyabudi, pihaknya mendukung program pemerintah Jakarta itu. "Yang penting, kami memberi kontribusi ke warga," ucapnya.

Badan Layanan Umum Transjakarta berharap evaluasi surat kendaraan segera rampung. "Bus gandeng bisa menurunkan antrean penumpang," ujar Manajer Pengendalian Transjakarta Rene Nunumete kepada Tempo.

Dengan kapasitas 160 penumpang (bukan 180 penumpang seperti diberitakan sebelumnya), bus gandeng dapat mengangkut dua kali lebih banyak dibanding bus reguler. Dengan demikian, Rene melanjutkan, antrean penumpang, terutama di halte padat, seperti Kampung Melayu, Matraman, Senen, dan Pademangan, dapat dipangkas. REZA MAULANA| IBNU RUSYDI | M IQBAL MUHTAROM - koran Tempo

DPRD menolak 2

Enam Fraksi Tolak Anggaran Lanjutan Busway

Sebanyak enam dari tujuh fraksi di DPRD DKI Jakarta bertekad bulat menolak anggaran lanjutan proyek busway koridor XI hingga XV dalam pembahasan APBD Tahun Anggaran 2008.

Bahkan, enam ketua fraksi itu mendesak Gubernur DKI Fauzi Bowo mengevaluasi dulu 10 koridor busway yang ada karena banyak masyarakat yang merasa disusahkan oleh kemacetan lalu lintas di Ibu Kota yang kian parah akhir-akhir ini.

"Kita minta tunda dulu pembangunan koridor XI hingga XV. Kaji dulu koridor I hingga X yang sudah ada itu. Sebab, kemacetan lalu lintas di Jakarta semakin menjadi-jadi, terutama setelah pembangunan jalur busway koridor VIII-X yang banyak diprotes rakyat," ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat, Firmansyah, menjawab pertanyaan wartawan, Kamis (25/10).

Ketua Fraksi Partai Golkar Inggard Joshua, Ketua Fraksi PDI-P HM Nakoem, Sekretaris Fraksi PAN Agus Darmawan, Ketua Fraksi Kebangkitan Reformasi Hasan Ishak, dan Fraksi PKS juga mendukung pernyataan itu. Sedangkan Fraksi PPP tak bersedia berkomentar.

Dampak pengoperasian busway yang mengambil lajur yang ada tidak hanya memacetkan arus lalu lintas, tapi berimbas pada perekonomian masyarakat.

"Belum lagi dampak sosiologisnya. Fraksi kita melalui anggota di komisi-komisi terkait maupun panitia anggaran akan berjuang untuk menolak dan menyoret anggaran proyek lanjutan busway. Ini demi rakyat yang sudah membayar pajak sepeda motor dan mobil agar tak susah dapat fasilitas jalan," ujar Firmansyah. Kalau koridor berikutnya tetap dilanjutkan, lalu lintas Jakarta bisa tak bergerak.

Proyek busway yang diprogram sampai 15 koridor, kata Inggard Joshua, jangan dikebut kalau tak ada manfaat yang dirasakan masyarakat.

"Buat apa dibangun sampai 15 koridor kalau manfaatnya tak optimal buat rakyat," kata politisi partai pohon beringin itu. Sejak awal fraksinya sudah mengkritisi proyek busway. Operasional busway tak optimal karena angkutan feeder (pengumpan) belum dioperasikan seperti yang diharapkan.

"Apalagi sekarang ada usulan jalan busway diportal agar tak bisa dilalui kendaraan lain. Ini ide gila yang hanya menyusahkan rakyat. Jadi, usulan perencanaan pembangunan itu yang punya manfaat buat rakyat, jangan asal bunyi (asbun)," ucap Inggard lagi.

Sementara itu, Ketua Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Wisnu Soebagyo Yusuf mengatakan, pembangunan betonisasi untuk koridor VIII-X itu segera diselesaikan, terutama jalan yang membuat jalur yang ada menjadi sempit.
"Jalan yang ada di samping jalur beton yang ditinggikan sekitar 25-30 cm itu akan kita tinggikan aspalnya mendekati tinggi betonnya, sehingga tidak akan mengganggu pengendara mobil dan sepeda motor," kata Wisnu. (Yon Parjiyono - Suara Karya)

25.10.07

27 Busgandeng kapan-kapan

Pengoperasian Sisa Bus Gandeng Tidak Pasti

JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengetahui kapan sisa bus gandeng sebanyak 27 unit dari 37 bus yang telah dipesan ke Cina akan dioperasikan.

"Bisa jadi kapan-kapan. Semua tergantung konsorsium," kata Kepala Dinas Perhubungan Nurachman ketika dihubungi Tempo kemarin.

Padahal penambahan bus itu sangat dinantikan. Sebab, saat ini hampir setiap hari halte busway dipadati penumpang. Pada jam sibuk, di beberapa halte, antrean pengunjung tampak mengular.

Saat ini telah ada 10 bus gandeng di Jakarta. Tiga bus di antaranya telah dioperasikan di koridor V (Kampung Melayu-Ancol). Sementara itu, tujuh bus lainnya sudah disiapkan dan rencananya akan mulai dioperasikan hari ini.

Menurut Nurachman, selain menyiapkan bus gandeng, pihaknya sudah melatih khusus pengemudi yang akan mengendarai bus ini. Dia menuturkan tidak semua koridor akan dilalui bus ini, bergantung pada bentuk jalur. "Busway gandeng ini lebih cocok di jalur yang tidak banyak beloknya," katanya.

Sebelumnya, Dinas Perhubungan merencanakan bus gandeng dioperasikan di koridor I (Blok M-Kota), koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), VI (Halimun-Ragunan), dan VII (Kampung Melayu-Kampung Rambutan). Namun, halte di jalur itu lebih rendah daripada pintu bus gandeng.

Kehadiran bus gandeng itu sempat terlambat. Sebab, bus tersebut terganjal masalah bea masuk sehingga tertahan selama tiga bulan, sejak Juni lalu, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Awal Oktober lalu, pemerintah pusat memberikan keringanan bea masuk terhadap 10 bus gandeng itu.

Menurut Nurachman, pengurangan bea masuk itu dilakukan karena bus tersebut merupakan angkutan masyarakat yang murah dan ramah lingkungan.

Bus gandeng berkapasitas 40 tempat duduk dan dapat mengangkut 180 penumpang. Bus sepanjang 18 meter ini dioperasikan secara matic. Berat bersih bus bermesin Cummins ini 26 ton. Bus dengan lebar 2,5 meter dan tinggi 3 meter itu dapat melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam. MUSTAFA SILALAHI - koran Tempo

DPRD menolak 1


DPRD Tolak Pemasangan Portal di Halte Busway

Rencana pemasangan portal otomatis di halte busway, yang digagas Dinas Perhubungan DKI Jakarta, ditolak atau ditentang DPRD. Bahkan Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRD Sayogo Hendrosoebroto menuding bahwa wacana itu sebagai proyek buang-buang uang.

"Rencana itu semakin jelas nuansanya cuma menciptakan proyek. Ide itu latah dan pasti akan kontraproduktif. Yang penting seharusnya bagaimana menegakkan hukum bagi pengendara mobil dan sepeda motor yang menyerobot jalur busway, bukan memasang portal. Toh mereka yang melintasi jalur busway itu cuma satu dua orang," ujar Hendrosoebroto dengan nada jengkel.

Komisi D akan menolak ide tersebut bila kelak diminta persetujuan kepada Dewan. "Jangan harap kita akan menyetujui rencana itu. Dan, saya heran, aparat Pemprov DKI itu tidak pernah memikirkan bagaimana program busway untuk pelayanan yang terbaik buat masyarakat. Seharusnya berpikir bagaimana kualitas pelayanannya terus ditingkatkan, kok justru berupaya menciptakan proyek-proyek dari keberadaan busway itu," kata Hendro.

Politisi senior dari PDIP itu mengibaratkan ide pemasangan portal tersebut memagari rumah tinggi-tinggi supaya tidak kemalingan, padahal seharusnya dijaga saja rumah itu.

"Kita ingin ada evaluasi secara menyeluruh proyek busway dari koridor I-VII. Tetapi hal itu tidak pernah dilakukan. Anehnya, Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta minta dinaikkan tarif tiketnya."

Sebelumnya diberitakan, jika beton di tengah jalur busway berguna mengganjal mobil penyeborot busway, maka motor bakal dihadang oleh portal otomatis. Portal itu naik turun seperti halnya yang terlihat di area parkir di gedung-gedung modern.

Kasubdis Teknis Lalu Lintas Jalan Dishub DKI Jakarta, M Akbar, Selasa (23/10) lalu mengatakan, portal itu akan dipasang di setiap halte busway. "Nanti, kalau buswaynya lewat, portal akan otomatis turun. Portal tidak akan terangkat-angkat sampai busway lewat lagi dan kalau motor lewat di situ, harus menunggu busway lewat," ucap Akbar.

Sementara itu, seorang pengendara sepeda motor, Casmito, tewas ditabrak truk di Jalan Latumenten, Tambora, Jakbar. Casmito sebelumnya terjatuh setelah menyenggol separator busway, lalu sebuah truk melintas dan melindasnya.

Seperti dilansir Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya, Rabu (24/10), kejadian naas itu terjadi pada pukul 10.30 WIB. Menurut saksi mata, Ubeyd Badry, Casmito sedang melaju dari arah utara menuju selatan. Tak jauh dari jembatan Tambora, motor plat B 6988 SAP yang dikendarai pria berumur 34 tahun itu menyenggol separator jalur busway. (Yon Parjiyono - Suara Karya)

21.10.07

Mobil pribadi boleh lewat

Jalur Busway Boleh Dilewati Mobil Pribadi

Para pengguna kendaraan pribadi maupun angkutan umum mulai Senin (22/10) diperbolehkan menggunakan jalur busway koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni), IX (Pinangranti-Pluit), dan koridor X (Cililitan-Tanjung Priok).

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat meninjau pekerjaan jalur busway koridor IX dan X, Sabtu (20/10) dini hari mengatakan hal itu. Sejumlah ruas jalan yang sempat dicek Fauzi Bowo diantaranya Pluit Raya, Yos Sudarso, dan Latumenten. "Kita rencanakan mulai Senin, jalur busway koridor VIII-X sementara dapat digunakan untuk kendaraan pribadi dan angkutan umum lainnya," kata Fauzi.

Dengan diperbolehkannya kendaraan umum melewati jalur busway tersebut, diharapkan kemacetan di ketiga jalur ini dapat dikurangi. "Kalau rencana ini berfungsi dengan baik, paling tidak bottle neck (kemacetan-red) akibat penyempitan jalan dapat dikurangi," kata Fauzi.

Gubernur meminta Dinas Perhubungan DKI menempatkan petugas untuk mengatur pergerakan kendaraan di jalur tersebut.

Berdasarkan pantauan gubernur yang didampingi Kepala Dinas PU Wishnu Soebagyo Yusuf, Kepala Dinas Perhubungan Nurachman selama 2,5 jam dari pukul 22.00-00.30 WIB disimpulkan bahwa di ketiga koridor busway itu ada beberapa jalur yang harus digunakan bersama.

"Untuk pembangunan jalur busway yang lahannya sempit dan tidak bisa dilebarkan akan diupayakan dengan membuat mixed traffic (jalur bersama-red) seperti dari Palmerah sampai Tomang, Jl DI Pandjaitan mulai Rawamangun-Kebon Nanas (Otista III). Jadi tidak ada separator yang memisahkan jalur busway dan jalur kendaran umum," kata Fauzi.

Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Wishnu Soebagyo Yusuf, pembangunan jalur busway koridor VIII telah mencapai 40 persen dari panjang jalur seluruhnya 27 kilometer, koridor IX 60 persen dari 37 kilometer, dan Koridor X sudah 79 persen dari 22 kilometer. Wishnu menargetkan pembangunan jalur tiga koridor busway tersebut akan rampung 15 Desember 2007 mendatang.

Seperti diberitakan sebelumnya, koridor VIII meliputi Lebak Buluk-Jl Ciputat Raya-Jl TB Simatupang-Jl Pasar Jumat-Jl Metro Pondok Indah-Jl Iskandar Muda-Jl Teuku Nyak Arif-Jl Letjend Soepomo-Jl Panjang-Jl Daan Mogot-Jl S Parman-Jl Tomang Raya-Jl Kyai Caringin-Jl Balik Papan-Jalan Suryopranoto-Harmoni PP.

Koridor IX rutenya meliputi Terminal Pinang Ranti-Jl Pondok Gede Raya-Jl Raya Bogor-Jl Mayjend Sutoyo-Jl MT Haryono-Jl Gatot Subroto-Jl S Parman-Jl Prof Latumenten-Jl Jembatan Dua-Jl Jembatan Tiga-Pluit PP. Sedangkan koridor X meliputi Terminal Cililitan-JL Mayjend Sutoyo-Jl DI Panjaitan-Jl Jendral Ahmad Yani-Jl Yos Sudarso- Enggano- Terminal Tanjung Priok PP. (tat - Warta Kota)

19.10.07

Polah pola transportasi makro Jakarta 3

saya berpendapat bahwa Pusat-Pusat Perbelanjaan umum(tidak spesifik) sekarang tidak begitu kuat sebagai daya tarik.
Sudah terlalu banyak yang ada di sekitar kita, sehingga tidak perlu pergi jauh-jauh lagi sehingga lebih cenderung lokal.
Tentang topik posting, saya memilih menggunakan kata "polah" (bukan "ulah") sekedar untuk memperlihatkan kedekatannya dengan geliat PTM-J. Dan polah ini, menurut saya sebagai orang awam, terasa kurang kuat gregetnya.

Implementable dan realistic sering yang menjadi dasar bargaining, terasa lebih berpengaruh bagi suatu dasar perencanaan untuk suatu pelaksanaan daripada visi itu sendiri. Benar bahwa kita harus melangkah dengan langkah nyata. Benar bahwa langkah kita harus mengarah ke tujuan yang jelas. Tapi setiap langkah/tahapan haruslah juga dapat memperlihatkan tujuan akhirn yang akan dicapainya.
Saya juga menyadari bahwa bahwa RUTR dan PTM haruslah saling mendukung.
Artinya keduanya harus juga memiliki visi yang sama. Kalau pengembangan RUTR diarahkan ke Barat dan Timur (pemikiran saya) PTM juga haruslah difokuskan pada arah pengembangan tersebut. Sebaliknya, PTM juga harus menjadi pendorongan utama untuk merintis dan menumbuhkembangkan RUTR sehingga berkembang ke arah Barat dan Timur. Ke arah Ta(4) atau Bek(8) haruslah lebih banyak daripada Bo/De(7). Saya juga mengharapkan PTM dapat lebih asertive mempengaruhi rencana pembangunan sarana jalan/rel daripada pasrah dan menerima apa adanya.
Salam (dc) [david chyn di suaratransjakarta]

Tentu akanlah lebih bijak kalau pendapat Pak Dave bisa didasarkan pada hasil survey langsung O/D interview thd pengunjung pusat-pusat perbelanjaan terkait. Saya melihat bahwa tingkat attraction ini pada intinya tergantung dari tipe, stratum, karakteristik, tingkat diferensiasi, lokasi, design & environment dan size-nya. In general, the greater it's size, the higher and the wider its attraction. Sebagai habit baru, pada awalnya banyak warga DKI yang memanfaatkan family week end leisure mereka dengan melakukan window, cafe & food court shopping dari satu mall ke mall yang berbeda setiap minggunya tanpa menjinjing barang belanjaan ketika mereka pulang, dan habit ini mulai menyebar ke hari2 lain di luar weekend.

Menurut pandangan saya, "Realistic & implementable plan" merupakan suatu pushy keyword bagi para perencana agar tidak hanya menggantungkan cita2nya setinggi langit dan terus menerus berwacana di-awang2 tanpa mampu mendaratkannya secara nyata, seperti halnya yang tertuang pada ribuan plans yang saat ini tersebar luas. Konon metro tv bilang bahwa diperlukan keseimbangan antara Yin & Yan, alias Plan & Execution.

Untuk point yang terakhir, saya melihat bahwa PTM juga assertive meng-address peran dari masing2 moda angkutan massal termasuk Busway, Monorel, dan MRT (Subway), begitu pula halnya dengan directive thd pengembangan jalan raya dan pembangunan jalan rel. Peran MRT/Subway sebagai main backbone juga saya lihat cukup clear dalam menggulirkan North-South moverments yang didistribusikan ke/dari sayap barat dan sayap timur oleh begitu banyak jaringan radial busway kor2, kor 3, kor 4, kor 9, kor 11, kor 12, kor 13, kor 15, monorel blue line, Bekasi/loop railway dan BKS-BKB-BKT.

Distribusi North-South movements MRT ini di pusat kota yang bersifat lokal, termasuk di area segitiga emas DKI tampaknya akan dapat di-served oleh Monorel green line dan railway loop line. Peran busway koridor 1 dan MRT juga saya lihat cukup jelas, dimana pada tahun 2014 ketika MRT baru mencapai dukuh atas, north-south movement di sisi utara akan di-served oleh kor 1.

Subject to operational matters, konsep partial short working (Dukuh Atas - Kota) untuk meningkatkan kapasitas kor 1 sisi utara ini tentu nantinya dapat diterapkan, dimana sebagian bus dioperasikan hanya untuk melayani Dukuh Atas - Kota saja, sedangkan sebagian lainnya tetap beroperasi dari/ke blok m - kota. Akan lebih baik lagi apabila kor 1 sejak dini telah disiapkan dengan armada articulated bus guna mengantisipasi signifikan loading yang akan di-fed oleh MRT di dukuh atas.

Dengan begitu banyaknya koridor angkutan massal radial timur-barat dan loop yang akan mem-feeding MRT ditambah diterapkannya TDM/ERP yang akan mem-push pengguna kendaraan pribadi untuk pull beralih ke Angkutan Massal, saya melihat bahwa load penumpang MRT akan menjadi signifikan pada segmen blok m - kota, dengan demikian busway kor 1 tetap harus dioperasikan untuk berperan sebagai fine-tuner yang komplemen terhadap MRT. Saya rasa inilah manfaat utama dari adanya BLUTJ yang akan memiliki peran penting dalam melakukan fine-tuning diatas. Demand Lebak Bulus - Blok M sepenuhnya akan di-cater oleh MRT. Selain untuk menggeliatkan push & pull diatas, TDM/ERP memungkinkan dilakukannya cross subsidy terhadap operasional Busway, MRT dan Monorel seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya.

Namun sekali lagi, gambaran PTM yang saya lihat dari kacamata saya diatas adalah apabila MRT dan Monorel nantinya benar2 dapat nyata terimplementasikan. Apabila tidak, maka busway tentu harus dapat berperan sebagai subtitusinya.

Salam - DA
[deddy arief di suaratransjkarta]

18.10.07

Polah pola transportasi makro Jakarta 2

Saya cenderung mengintepretasikan kata "Polah" disini dalam konteks yang positif, yaitu bermakna tingkah laku, gerakan atau perbuatan yang tentunya melibatkan unsur aktivitas atau suatu kegiatan pelaksanaan yang seringkali kita kenal juga dengan istilah "implementasi".

Kata "implementable" (dapat diimplementasikan) tampaknya merupakan salah satu unsur utama dari beberapa unsur lainnya yang mendasari pengembangan Pola Transportasi Makro.
Ada baiknya kita lihat peta buta yang saya cantumkan link-nya disini untuk kita simak bersama2, mudah2an peta tsb bisa self explanatory, sehingga tidak memerlukan uraian yang panjang lebar.

Kita tentu berharap apabila "Era Angkutan Umum Massal" nantinya akan benar2 bisa terwujud di kota tercinta ini, DKI Jakarta tampaknya akan terlayani oleh 30 (tiga puluh) jalur angkutan massal guna menggulirkan kita semua bersama jutaan perjalanan penduduk kota lainnya, yang beserta jaringan feeder system-nya akan mampu menghubungkan seluruh sentra2 primer & sekunder, pusat2 aktivitas kota dan pemukiman2 penduduk yang tersebar luas di seantero penjuru kota.
For a quick sum up, terlihat pada peta buta tersebut, ada 7 (tujuh) koridor angkutan massal yang menohok ke pusat kota dari wilayah selatan, ada 8 (delapan) jalur yang menusuk dari wilayah timur, dan 4 (empat) jalur yang membujur dari barat. Dengan demikian, masing-masing wilayah, baik dari barat, timur, maupun selatan tidak hanya akan dilayani oleh 1 atau 2 koridor saja, melainkan dilayani oleh banyak koridor yang jumlahnya linier dengan besarnya permintaan perjalanan, besarnya intensitas penduduk di masing-masing wilayah terkait, interaksi dari beragam jenis aktivitas kota, prasarana eksisting, disamping karakteristik dari para pelaku perjalanan (O/D, desire lines, etc), foreseeable future developments, dan last but not least, arah pengembangan kota sebagaimana diamanatkan pada RUTR.
Koneksi timur-barat setidaknya akan terlayani oleh 12 koridor, dan apabila kesamaan visi dan kordinasi dengan pemda kota penyangga DKI telah semakin baik, koridor2 radial ini pada gilirannya dapat diekspansi sampai menyentuh jantung2 kota penyangga Bodetabekjur yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan kawasan aglomerasi dan konurbasi megapolitan.

Jalur-jalur sisanya (yang justru jumlahnya mayoritas) diperuntukkan guna memberikan perkuatan yang masif bagi daya dukung mobilitas dan aksesibilitas area pusat kota, yang sama2 kita ketahui, saat ini memiliki kapasitas dukungan infrastruktur jalan raya yang terbatas dan sulit untuk dikembangkan sehubungan dengan tingginya intensitas area yang sudah terbangun (built up area) dan terbatasnya lahan yang tersedia, sementara mobilitas perjalanan penduduk justru terkonsentrasi di wilayah ini. Jalur lingkar monorel (green line) kelihatannya merupakan salah satu diantara jalur2 yang ditujukan sebagai upaya perkuatan terhadap aksesibilitas dan mobilitas pusat kota.

Peta Pengembangan Angkutan Massal DKI Jakarta:
Terlihat juga bahwa konfigurasi jaringan tidak semata2 menerapkan sistem radial dan grid saja, melainkan juga mengadopsi konsep lingkar (ring/loop).
Jalur2 lingkar ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan melalui upaya minimasi terhadap jumlah transfer yang harus dilakukan oleh para penumpang, dan terutama guna mengurangi beban (loading) tinggi yang pada umumnya dialami oleh jalur2 yang berada di area pusat kota. Sedikit ilustrasi, absennya koridor lingkar pada jaringan Tokyo Subway, misalnya, telah mengakibatkan beban yang sangat signifikan pada segmen2 subway lines yang berada di area pusat kota (Shinjuku, Ginza, dll), bahkan kapasitas subway yang begitu besar disana sudah tidak lagi mampu menampung arus penumpangnya, sehingga para penumpang bahkan harus dipaksa dorong masuk oleh para petugas agar pintu kereta bisa tertutup. (funny video untuk crowded subway di Jepang bisa di download di internet, salah satunya di www.guzer.com). Pengamatan saya ketika sempat singgah disana menyimpulkan bahwa begitu banyak perjalanan orang yang terpaksa menggunakan segmen2 subway di pusat kota (meskipun mereka tidak bertujuan ke area tsb) semata2 agar mereka dapat melakukan transfer ke jalur2 lain sesuai tujuannya. Beban yang tidak perlu ini sesungguhnya bisa direduksi secara signifikan dengan menerapkan sistem jalur lingkar (loop line), seperti halnya yang diterapkan pada Seoul Subway.
Dengan tingkat konurbasi dan jumlah penduduk yang hampir sama dengan Tokyo, kota Seoul mengalami kondisi yang jauh lebih baik dalam hal kemacetan lalu lintas dan kepadatan di system subway mereka.

Kembali ke konteks PTM, koridor lingkar terdalam tampaknya diharapkan bisa dilayani oleh railway loop line, khususnya apabila integrasi kedua sistem tersebut nantinya sudah dapat berjalan dengan baik. Seperti halnya konfigurasi jaringan yang diterapkan di Sydney-Aussie atau KL-Malaysia, monorel lingkar green line diharapkan dapat melayani mobilitas dan interaksi aktivitas di area business segitiga emas DKI. Pada gilirannya, setelah koridor busway "Pluit - Tanjung Priok" nantinya telah terbangun, maka sistem lingkar tengah akan dapat terlayani oleh sistem busway.

Mengingat sifat dan karakteristiknya yang ber-rute panjang, ber-demand sedang, dan tidak terlalu dikaitkan pada basis Asal-Tujuan perjalanan (O/D), maka untuk mewujudkan Koridor lingkar tengah ini, tidak dapat tidak, memerlukan rintisan awal berupa pengembangan koridor yang berbasiskan O/D dan dilakukan secara bertahap, yaitu dengan terlebih dahulu membangun koridor2 yang membujur sejajar dengan jalan tol lingkar dalam kota, termasuk koridor Pluit-Tj.Priok, koridor 9 (Pinang Ranti - Pluit) dan koridor 10 (Cililitan - Tj. Priok). Setelah koridor2 tersebut terwujud baru diterapkan pola operasional trayek lingkar. Rintisan serupa di masa mendatang dapat diterapkan pada koridor lingkar luar yang berimpit dengan Jalan Tol Lingkar Luar DKI (JORR) yang memiliki rute jauh lebih panjang.

Alokasi koridor (route allocations) pada PTM terutama didasarkan pada prediksi permintaan penumpang disamping aspek lainnya yang memungkinkan diimplementasikannya sistem tersebut secara realistis (realistically implementable), termasuk disini minimalisasi kebutuhan pembebasan lahan yang pada umumnya membutuhkan waktu yang panjang. Cost effectiveness dari sistem yang diadopsi tentu merupakan target bidikan yang paling utama, terlebih bagi negara yang tidak makmur seperti Indonesia, oleh karena itu sistem busway telah menjadi primadona terpilih yang mampu menjawab tuntuan ini.

Namun demikian, proyek2 yang memang sudah komit (Committed Projects), seperti MRT/Subway & Monorel, tentunya juga merupakan faktor yang tidak dapat dihindarkan harus dipertimbangkan oleh para perencana dalam mereka menyusun dan mengevaluasi suatu perencanaan makro. Yang terpenting dari PTM, menurut hemat saya, adalah bahwa alokasi koridor sesuai kebutuhan jaringan transportasi massal yang komprehensif, sustainable dan saling komplementer sudah ditapakkan menjadi pola yang secara nyata akan diimplementasikan, sedangkan opsi dari sistem2 angkutan massal yang ada pada prinsipnya dapat saling mensubstitusi satu sama lain (dengan sedikit network adjustment, tentunya). In case, on certain circumstance, Monorail dan Subway gagal dibangun (misalnya karena collapse-nya investor atau karena kesulitan pendanaan pemerintah, atau karena adanya reprioritasi pendanaan pemerintah ke sektor lain yang lebih membutuhkan, maka busway tentu akan sangat mampu menjadi subtitusinya.

Arahan Pengembangan Jaringan Jalan Raya DKI:
Total system capacity dari konfigurasi jaringan PTM as it stands, diharapkan mampu menggulirkan sekitar 9,8 juta perjalanan orang per harinya (hampir 50% dari total trips DKI), dan magnitude ini sesungguhnya dapat ditingkatkan cukup signifikan apabila overtaking lanes, konsep multi bi-articulated bus convoy, bus only flyovers, fully segregated (dedicated) busway telah diterapkan pada semua koridor busway. Total kapasitas sistem juga dapat semakin lebih ditingkatkan lagi apabila jabotabek railway yang ada bisa direvitalisasi dan difungsikan menjadi urban mass transit system yang berkapasitas besar dan terintegrasi baik dengan sistem angkutan massal lainnya. Hal yang terakhir ini tentu memerlukan dibangunnya main integrated station guna memisahkan antara angkutan KA kota dengan angkutan KA antar kota agar tidak bercampur baur satu sama lain dan kapasitas sistem menjadi tidak terdegradasi seperti yang kini terjadi.

Link2 di bawah ini mungkin juga bermanfaat untuk kita simak:

Pengembangan Sistem Jaringan Jalan Tol DKI:
Tentu terbesit pertanyaan di hati rekan2 milis semua setelah melihat link2 diatas, Do we still need new road developments? Jawaban lugasnya adalah "Ya". Why? Karena sebagian masyarakat yang menduduki sisi teratas dari piramida segitiga penduduk berdasarkan golongan pendapatan ("kaum the have") memang nyata2 berada di tengah2 kita semua, dan mereka2 ini tidak akan mungkin untuk dipaksakan mengorbankan privacy & security-nya agar mau menggunakan angkutan umum yang harus berbagi dengan masyarakat banyak. Mereka bahkan rela untuk mengeluarkan dana ratusan juta, bahkan milyaran rupiah demi menjaga privacy & security (juga pride) mereka.

Pengembangan Kebijakan Pendukung (TDM)
Di sisi supply infrastruktur jalan raya, ironisnya, kondisi DKI masih mengalami defisiensi yang cukup tinggi apabila kita bandingkan standard kota2 international yang berkisar 15-20% dari luas lahan kota. Dengan total panjang jalan 1.291 km, sebagai contoh, densitas jalan raya di wilayah Jakarta Barat, barulah mencapai 5,9% dari total luas wilayahnya. Mungkin itu pula yang menjadi penyebab sulitnya para perencana PTM untuk menorehkan garis lintasan busway yang dapat menapak dengan baik di wilayah Jakarta Barat, kecuali koridor 3 dan koridor 8. Ironisnya lagi, dengan luas wilayah yang no.2 terkecil setelah Jakarta Pusat, tampaknya Jakarta Barat menaungi jumlah penduduk yang no.2 tertinggi setelah Jakarta Timur dan memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi, bahkan dengan tingkat pertumbuhan yang tertinggi pula. Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan sama2 tidak kalah memprihatinkan juga, dimana proporsi ini secara berurutan hanya mencapai 6,4%, 6,4% dan 7,8% dari luas wilayahnya masing2. Hanya Jakarta Pusat-lah yang relatif jauh lebih baik dan mampu membukukan posisinya pada angka 14,1%, namun angka inipun tampaknya sulit ditingkatkan karena terbatasnya lahan sehubungan dengan tingginya intensitas built up area.
Dengan demikian pengembangan jaringan jalan tetap masih diperlukan, sepanjang visinya jelas, yaitu:

1) untuk melayani golongan teratas segitiga piramida pendapatan, dan
2) dan untuk mengembangkan jaringan busway di masa mendatang.

Guna menjamin bahwa hanya golongan "the have" ini saja yang nantinya akan menggunakan jalan raya dengan kendaraan mewahnya di jam2 sibuk, maka perlu diterapkan toll charging scheme yang tinggi dan penerapan konsep2 TDM, termasuk ERP, biaya parkir tinggi, pajak progresif, dll. Revenue yang diperoleh dari penerapan TDM ini bisa digunakan untuk melakukan cross-subsidy terhadap busway, sehingga masyarakat golongan menengah kebawah akan memperoleh pelayanan yang juga prima, namun dengan tarif yang terjangkau (murah), dan cukup menyimpan kendaraan pribadinya digarasi rumah pada hari2 sibuk. Pada hari libur dan kondisi lalu lintas yang ringan, tentu mereka tetap memperoleh kesempatan untuk menikmati kendaraan pribadinya. Dengan demikian pemerintah akan berdiri diatas semua golongan masyarakat, tanpa kecuali.

Sebelas tahun yang lalu, Studi berskala besar, Jakarta Urban Transport Short Term Improvement (JUTSI) 1996, mengindikasikan hal yang serupa diatas, dimana jaringan busway masa datang diharapkan dapat mencakup puluhan koridor dengan total panjang sekurang2nya 325 km. Pengembangan koridor2 ini perlu diawali terlebih dahulu dengan pengembangan jaringan infrastruktur jalan yang cukup masif karena minimnya kondisi prasarana eksisting.

Insya Allah uraian2 diatas bermanfaat untuk kita semua. Sekali lagi Minal Aidin Wal Fa Idzin.

Salam - Deddy Arief di suaratransjkarta

Catatan kecil utk Pak Dave: Qua demand, koridor 10 melintasi simpul perjalanan antar kota (cililitan, cawang, kalimalang, sta.jatinegara, tj.priok), melalui cukup banyak trip generators/producers, termasuk perumahan Cipinang Cempedak, Cipinang, Utan Kayu, Rawamangun, Cempaka Putih, Rawasari, Sunter, dll). Begitu pula dengan trip attractors, seperti Pusat Grosir Cililitan, Kelapa Gading Square, Carefour, ITC Cempaka Mas, Mall Artha Gading, perguruan2 tinggi dan perkantoran swasta dan pemerintah.

Ketidak-seimbangan arus penumpang antar arah pergerakan yang berlawanan (variasi arah) merupakan kondisi umum yang selalu terjadi pada hampir seluruh koridor radial, kecuali pada koridor lingkar dan koridor pusat kota.

Namun seperti halnya, arus mudik di hari raya lebaran yang tingkat variasi arahnya sangat tinggi, tidaklah berarti bahwa pemerintah dapat serta merta mengabaikan kewajibannya untuk menyediakan pelayanan yang merupakan kebutuhan masyarakat tersebut. Saya setuju bahwa operasionalnya tentu memerlukan kecermatan agar tidak terjadi deficit yg signifikan.

Keseimbangan arus antar arah akan tercipta apabila koridor ini nantinya telah sepenuhnya berfungsi sebagai koridor lingkar.

17.10.07

From home to busway to final destination

Controversial busway system
JOE L. SPARTZ

According to a recent survey, a mere 6 percent of car users have switched to Jakarta's much-touted busway system.
However, a quarter or more of road traffic capacity in the affected areas had to be sacrificed for the construction of exclusive busway lanes. By most accounts, road congestions has only worsened.

The attempt to convert car users to busway passengers obviously failed to take into account the problem of traveling logistics from home garage to final destination and the need for parking facilities at the various busway stations.

It was the difficulty in getting from home to busway and from busway to final destination that convinced most car users that being stuck in traffic was the lesser of two evils.

Untold amounts have been spent over the years on traffic studies. Instead of proceeding with a costly and unproven busway system, other alternatives should have been considered first.

Since a vast majority of busway passengers consists of non-car users anyway, a less costly first step would have been a complete overhaul of Jakarta's dysfunctional and chaotic public transport system.

Faced with fixed, low passenger fares, public transport operators can not be expected to renew or replace their antiquated systems without incurring serious financial losses.

However, if proper financial incentives were given -- such as breaks on VAT and customs duties for non-polluting buses and adjustment of vehicle tax and registration fees -- some of the patched-up old clunkers could be forced off the road.

The reintroduction of double-decker buses of yore (cutting available road mileage per passenger in half), combined with adequate bus-stops and better traffic discipline, would have gone a long way toward easing congestion.

There are no easy solutions for Jakarta's worsening traffic problems. As things stand, the busway system has yet to prove itself. - Jakarta Post

Jumlah penumpang naik

Jumlah Penumpang TransJakarta Naik 200 Persen

Selama Lebaran, penumpang TransJakarta naik hampir 200 persen, terutama untuk tujuan Taman Impian Jaya Ancol dan Taman Wisata Ragunan.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta, Udar Pristono kepada SH, Selasa (16/10), mengatakan, selama liburan Idul Fitri, penumpang yang menggunakan TransJakarta ke Ancol dan Ragunan meningkat tajam. Setiap hari jumlahnya naik sekitar 150 persen sampai 200 persen.

“Saat liburan benar-benar terasa betapa besar manfaatnya busway bagi warga Jakarta maupun warga luar Jakarta. Bersama keluarga mereka memilih busway ketimbang angkutan umum lain,” katanya.

Hal senada juga diakui Kepala Operasi dan Pengendalian Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta Rene Nunumete. Kepada SH, Selasa (16/10) siang, Rene mengatakan jumlah penumpang TransJakarta menuju Ragunan dan Ancol meningkat. Hanya saja, Rene mengaku tidak tahu persis berapa persentase kenaikan jumlah penumpang.
Dia menambahkan sehubungan dengan banyaknya penumpang ke Ancol dan Ragunan menggunakan TransJakarta, pihak pengelola TransJakarta menyediakan rute baru Cililitan-Ancol dan Pulo Gadung-Halimun-Ragunan. Rute ini berlaku sampai tanggal 21 Oktober 2007 dan khusus melayani masyarakat yang ingin berekreasi.

Bahkan, lanjutnya bila rute ke tempat rekreasi Ancol dan Taman Wisata Ragunan berjalan baik dan memberi kemudahan bagi warga Jakarta maka itu akan diteruskan dan diberlakukan pada setiap hari minggu.

Secara terpisah, Kepala BLU TransJakarta, Dradjad Adhyaksa untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, untuk beberapa rute, TransJakarta beroperasi sampai pukul 24.00 WIB. Rute Kalideres-Harmoni, Pulogadung-Harmoni, dan Kampung Rambutan-Kampung Melayu beroperasi sampai pukul 24.00 WIB.
Pertimbangannya, rute-rute ini berkaitan dengan kawasan pinggiran Jakarta dan biasanya masyarakat bepergian sampai jauh malam. Untuk mempermudah perjalanan TransJakarta beroperasi sampai pukul 24.00 WIB sampai dengan tanggal 21 Oktober 2007.
(andreas piatu - Sinar Harapan)

16.10.07

Park and Ride

Dukung Busway, akan Dibangun 'Park and Ride'
Selamat Saragih

Pemprov DKI akan membangun park and ride serta rest area sebagai fasilitas pendukung pelayanan terhadap penumpang bus Trans-Jakarta di terminal akhir.

Pembangunan fasilitas parkir kendaraan dan tempat istirahat lengkap dengan restoran dan toilet itu akan selesai tahun ini, kata Wakil Kepala Dinas Perhubungan (Waka Dishub) DKI Udar Pristono kepada Media Indonesia di Jakarta, Senin (15/10) malam.

Sekarang sedang dalam tahap pembangunan park and ride (areal parkir mobil, sepeda motor, dan sepeda) milik calon penumpang busway di Terminal Bus Kalideres, Jakarta Barat. Tempat parkir ini dilengkapi dengan restoran dan toilet, ujar Pristono.

Ia juga menjelaskan calon penumpang bisa memarkir mobil, sepeda motor, dan sepeda di areal parkir khusus seluas 3.820 M2 yang mampu menampung 122 unit mobil, 36-40 sepeda motor, dan 20 buah sepeda di Terminal Bus Kalideres.

"Walau dalam tahap awal bangunan areal parkir khusus calon penumpang busway itu posisinya horizontal, tapi konstruksi bangunannya kita rancang untuk bertingkat (vertikal), karena mencari lahan di Jakarta sulit dan kalaupun ada harganya relatif mahal," ungkap Pristono.

Menurut dia, park and ride yang dilengkapi areal untuk bersitirahat dengan fasilitas toilet itu juga sedang dibangun di Terminal Bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Sedang yang di Terminal Bus Ragunan, Jakarta Selatan, sudah ada dan kini dalam peningkatan kapasitas daya tampung parkir.

Pada tahun anggaran (TA) 2008, lanjutnya, Dishub DKI juga akan membangun fasilitas serupa di Terminal Bus Pinang Ranti, Jakarta Timur, dan Terminal Bus Lebak Bulus dua lantai, Jakarta Selatan.
Diharapkan areal parkir khusus itu mampu menampung semua kendaraan, termasuk sepeda, milik calon penumpang busway.

Sementara di terminal akhir busway Ancol, menurut Pristono, sudah ada areal parkir khusus milik PT Pembangnan Jaya Ancol. Karena pengertian areal parkir calon penumpang busway boleh juga di areal milik swasta maupun masyarakat.
"Intinya parkir di areal yang dibangun Pemprov DKI, milik swasta, dan perkantoran boleh saja bila berdekatan dengan terminal akhir bus Trans-Jakarta. Karena di mana pun parkir tetap bayar retribusi termasuk yang disiapkan milik pemprov," ujar Pristono.

Sementara terkait dengan rencana kepindahan Terminal Bus Pulogadung, Jakarta Timur, ke Pulogebang, Jakarta Timur, sekitar dua tahun lagi, kata Pristono, maka di atas eks areal terminal itu akan dibangun gedung parkir bertingkat untuk kebutuhan penumpang busway dan kendaraan umum.

Lokasi parkir penumpang busway di Pluit sama dengan Ancol, yaitu boleh menggunakan areal parkir swasta Mega Mal. Hal serupa juga bisa dilakukan di Terminal Bus Ciilitan, yang bisa memanfaatkan areal parkir Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur.

Untuk pembangunan fasilitas parkir khusus kendaraan calon penumpang busway di Terminal Bus Blok M, sulit dilakukan karena tidak ada lahan.

"Kendala kita sulit mencari lahan. Jika ada biasanya harganya mahal. Bahkan tidak ada yang mau menjual walau ditawar harga tinggi. Makanya kita rancang gedung parkir di DKI sistem vertikal. (Ssr/Ol-03 - Media Indonesia)

15.10.07

Polah pola transpotasi makro Jakarta

Suatu pola seharusnya menunjuk kepada suatu kesamaan alur yang bisa dirasakan dan dapat dicerna pula keterkaitannya satu dengan yang lainnya oleh nalar kita. Suatu pola semestinya juga merupakan suatu rencana atau suatu cetak biru yang mudah dimengerti maksud dan tujuannya. Suatu pola seharusnya menjadi dasar dan pedoman bagi semua pihak yang berkepentingan dalam menyusun rencananya maupun saat pewujudannya.

Sebagai contoh, beberapa pola bilangan:
1,3,5,7,9,..,. bilangan ganjil lebih yang lebih besar dari 0, selisih antar bilangan 2
1,2,3,5,7,11,..,... bilangan prima
1,4,9,16,25,36,..,... bilangan kwadrat
1,2,4,7,11,16,22,..,... selisih antar kedua bilangannya bertingkat (1,2,3,4, etc)

Terlihat bagaimanapun samarnya semua contoh deret bilangan di atas, bilangan berikutnya tetap dapat di tebak karena deret bilangan tersebut mempunyai pola yang dapat diikuti oleh nalar. (Walau sebenarnya ada juga pola bilangan acak).
Kembali ke laptop, eh, ke Pola Transpotasi Makro Jakarta kita.

PTM-J, tampaknya disusun berdasarkan moda transpotasi yang sudah ada, yang coba digabung-gabungkan dan ditambah (eg. Monorail, Waterway etc) dan dengan mengubah bentuk moda transpotasi bus menjadi BRT.

Menurut saya, PTM-J ini tampaknya di plot di atas meja dengan data yang sangat minim. Tidak saja minim sinkronisasi dengan RUTR, tertapi juga minim koordinasi dengan pembangunan sarana transportasi itu sendiri, jalanan. Bisa saja para perencana berdalih bahwa sarana transportasi jalanan adalah di luar lingkup rencana PTM-J, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan akan kehandalan hasil perencanaannya. Mari kita lihat kasus pemilihan beberapa koridor.

Koridor I, sebagai koridor perintis tidaklah terlalu buruk, jalurnya relatif lurus dan bebas hambatan. Kepadatan penumpangnya pada suatu saat relatif seimbang untuk kedua arahnya.

Koridor II dan koridor III, sebagian jalurnya bersatu dengan jalur umum. Bagaimana TiJe dapat mempertahankan ke-konsisten-an headaway-nya?. Bus reguler yang bersinggungan dengan buswaypun terpaksa tetap dipertahankan (eg. PAC 08).

Koridor IV s/d koridor VII tampaknya juga dipaksakan routenya. Koridor IV harus melintasi kekusutan Pasar Pulogadung;

koridor V harus menggali beberapa kolong rel kereta untuk mendapatkan top clearance yang aman;

koridor VI harus bersilangan jalur kereta api yang sibuk di Jl Madiun;

koridor VII harus berebut jalur dengan kendaraan reguler dan pribadi, bahkan dengan pejalan kaki di KramatJati, mengapa tidak sekalian menyusuri Jl Dewi Sartika? etc.

Koridor X, ya saat ini saya hanya menyoroti koridor X karena saya sering menyusuri jalan dibawah tol Cawang-Tanjung Priok ini. Jalur ini menurut saya, tidak sejalan dengan pola transportasi makro walaupun dimasukkan di dalam PTM-J.
Mengapa? Karena pada jalur ini tidak banyak perumahan pemilik mobil pribadi (Cipinang, Sunter). Walau di jalur ini ada beberapa Perguruan Tinggi dan kantor industri, tapi menurut pengamatan saya sebagian besar mereka adalah pengguna sepedamotor (dan bus perusahaan). Perkiraan saya, koridor ini akan sekedar menjadi jalur komunter, yang pada pagi hari akan ada kepadatan pengguna yang menuju arah utara dan sebaliknya pada sore hari kepadatan akan terjadi menuju arah ke selatan, sehingga pada saat yang sama kepadatan kedua arahnya tidak seimbang. Bila tidak disiasati dengan baik , ini akan menimbulkan ketidak effisienan penggunaan kapasitas bus.

Hal lain yang mengganggu pikiran saya, dalam kaitannya dengan PTM-J adalah, jalur ini sejajar dengan flyover di atasnya, eg. perempatan Pramuka-Pemuda, perempatan CempakaMas dan perempatan Yos Sudarso dengan KelapaGading-Sunter (ket: sedang dibangun).
Dengan adanya flyover di perempatan-perempatan tersebut maka dapat diperkirakan bahwa arah yang memotong di bawah flyover akan mendapat prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sejajar dengannya.

Dengan kata lain jalur yang sejajar (baca: termasuk busway) akan mendapat prioritas yang lebih rendah, sehingga pada perempatan ini dipastikan TiJe akan mempunyai waktu tunggu yang cukup lama.

Saya tidak dapat secara jelas menangkap alur pikiran yang mendasari koridor ini, tapi menutup catatan ini masih menggantung harapan saya agar koridor X ( dan system busway) tidak terkubur oleh jalannya waktu seperti Jalan Jakarta Bypass yang disusurinya. [link]

Salam (101307dc)
[david chyn di suaratransjkarata]

11.10.07

Kampanye negatif busway

Naik Busway, Yuuk!
AGUS HERMAWAN

Sebuah buku Keliling Jakarta Naik Busway Yuuk! telah terbit beberapa waktu lalu. Buku mungil terbitan Nalar itu meyakinkan pembacanya bahwa menggunakan busway—baca angkutan umum—sebagai sarana transportasi sehari-hari adalah hal yang menyenangkan.

Buku semacam itu sebenarnya bukan hal baru. Di beberapa kota dengan sistem transportasi umum yang sudah maju, buku petunjuk rute atau trayek angkutan umum semacam itu—dari bus hingga MRT— biasa dijual di toko-toko buku.

Biasanya buku semacam itu sangat menolong pengguna angkutan umum, terutama wisatawan. Di Jakarta pun, sekitar awal tahun 90-an, di bus-bus kota biasa dijual informasi serupa dalam bentuk lembaran yang biasa dilipat seukuran saku. Hanya saja cetakannya lebih sederhana, tetapi persis berisi nomor-nomor trayek bus yang menjelajahi Jakarta dan sekitarnya.

Bagi pencinta angkutan umum, kehadiran busway—dikenal juga sebagai bus rapid transit (BRT)—memang ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Warga Jakarta sudah terlalu lelah dijejali janji-janji tersedianya angkutan umum yang memadai dan taat jadwal. Baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI berulang kali melakukan studi dan menjanjikan dibangunnya mass rapid transit (MRT), subway, hingga triple decker, tetapi tak kunjung terwujud. Bahkan, pembangunan Jakarta Monorail pun terhenti, telantar karena ada persoalan pendanaan.

Busway disebut-sebut merupakan sistem angkutan massal yang pembangunannya memerlukan biaya lebih murah dibandingkan dengan mewujudkan subway, MRT, ataupun light rel. Pilihan busway dianggap lebih baik daripada membangun MRT atau sejenisnya.

Kampanyenya: "Think rail, use buses!"

Sebuah studi The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menunjukkan pembangunan busway hanya memerlukan dana sepersekian saja dibandingkan dengan ongkos untuk membangun MRT. Setiap kilometer pembangunan infrastruktur metro atau subway diperlukan sedikitnya dana 20 juta-207 juta dollar AS dengan waktu pembangunan tiga tahun. Bandingkan dengan biaya membangun busway yang hanya memerlukan sepersepuluh-seperduapuluhnya saja atau 1 juta-10 juta dollar AS per kilometer dengan lama pembangunan hanya 12-18 bulan saja!

Jakarta bukanlah kota pertama yang membangun busway. Di Quito (Ekuador), Curitiba, Sao Paulo, Goiania (Brasil), Santiago (Cile), hingga Mexico City dan Puebla di Meksiko merupakan beberapa kota terdahulu yang sukses memanfaatkan sistem transportasi busway.
Namun, penerapan busway di kota-kota itu terasa sangat terencana, terbuka, dan berkesinambungan. Penerapan BRT di Bogotá, Kolombia, misalnya, sangat terpadu dan tidak sepotong-sepotong. Pembangunannya sangat tersinkronisasi dengan penataan kota yang lain, semisal penyediaan ruang terbuka untuk warga hingga ke pembangunan jalur khusus sepeda (cylorrutas) yang menghubungkan berbagai kawasan.
Di Bogotá sangat terasa bahwa menggunakan angkutan umum, bersepeda, bahkan berjalan kaki merupakan pilihan yang lebih menarik dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kota yang menghijau pun segera terwujud. Soal ini pernyataan Wali Kota Bogotá Enrique Penalosa yang "legendaris" itu mungkin bisa direnungkan oleh kita semua.

"Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Namun, untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka ataupun sarana pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan," katanya.

Dengan tekad seperti itulah—tanpa korupsi juga—sebuah kota yang baik dan memenuhi hasrat warganya kemudian bisa terwujud. Warga dari pinggiran kota pun diantar dengan baik menggunakan feeder bus (bus pengumpan) untuk mencapai jaringan busway.

Setelah sukses dengan pembangunan Koridor I (Blok M- Kota), Pemda DKI memang melanjutkan jalur-jalur lainnya dan diharapkan Koridor VIII (Lebakbulus-Kota), Koridor IX (Pinangranti-Pluit), Koridor X (Cililitan-Tanjungpriok) yang direncanakan terwujud tahun 2008.

Sayang, yang terjadi saat ini terkesan berkembang semacam kampanye negatif terhadap keberadaan busway. Seolah-olah angkutan umum massal itulah yang menyebabkan kemacetan semakin menjadi-jadi di Ibu Kota. Dia menjadi semacam musuh bagi para penikmat kendaraan pribadi.

Momok

Tentangan terhadap kehadiran busway oleh warga Pondok Indah (Koridor VIII) atau Pluit (Koridor IX), misalnya, semakin memperuncing seakan-akan busway adalah momok yang harus dicegah karena menyebabkan semrawutnya lalu lintas. Bentuk-bentuk "perlawanan" dari pengguna jalan juga semakin nyata di lapangan dan aparat tidak berkutik. Pengguna angkutan pribadi—bahkan kendaraan dinas, temasuk kendaraan pejabat—hingga sepeda motor saat ini bisa dengan leluasa memasuki jalur khusus busway.

Secara sederhana: sebenarnya busway justru seharusnya menjadi pilihan bagi mereka yang ingin terhindar dari kemacetan. Naiklah busway jika tidak ingin terjebak kemacetan.

Namun, untuk Jakarta, tampaknya persoalan tidaklah sesederhana itu. Bogota saja memerlukan waktu bertahun-tahun untuk sosialisasi sistem baru itu ke masyarakatnya. Sistem dilaksanakan dengan baik dan terencana. Para penyuluh menyiapkan masyarakatnya menyangkut sistem, cara, dan gaya hidup bertransportasi yang baru.
Sementara Pemprov DKI dan pengelola busway di Jakarta terkesan jalan sendiri dan tak melibatkan masyarakat. Mereka seakan-akan menentukan sendiri jalur mana dan kapan jalur busway akan dibangun. Tak heran jika warga Pondok Indah tiba-tiba merasa diekspansi lingkungannya oleh busway.
Padahal, jika public relation Pemprov DKI lebih baik, tampaknya tak akan terjadi penolakan terhadap busway. Justru kebiasaan atau ketergantungan warga terhadap kendaraan pribadi—bahkan dari rumah hingga ke mal yang hanya beberapa meter saja—bisa diubah: naik busway, jalan kaki, atau naik sepeda!

Alasan busway akan semakin memacetkan arus lalu lintas harus dijawab simpatik: tinggalkan kendaraan pribadi dan naiklah busway. Dengan demikian, jalanan akan lebih kosong dari angkutan pribadi.

Persoalannya kemudian adalah harus diakui untuk saat ini pemda belum mampu memenuhi kebutuhan itu secara lengkap dan baik. Sejumlah masalah angkutan umum masih mengganjal dan bahkan merupakan persoalan besar yang belum jelas penyelesaiannya. Bukan melulu masalah keamanan dan kenyamanan berangkutan umum.

Namun, bagaimana dengan penanganan angkutan umum yang selama ini ada? Ribuan metromini, Kopaja, mikrolet atau bus kota lama, misalnya, apakah akan dihapus atau diarahkan menjadi armada pendukung dengan menjadi feeder bus? Bagaimana sistem tarifnya, nasib para awak angkutan umum ataupun pengusahanya?

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Pemprov DKI menyangkut busway dan segala kelengkapan sistemnya.

Dan, untuk mewujudkan semua itu, kebijakan nekat dan mau menang sendiri seperti yang selama ini diperlihatkan tidaklah cukup. [Kompas]

8.10.07

Kebijakan improvisatorik

Busway
N. Syamsuddin CH. Haesy

BUSWAY yang di negeri asalnya, Bogota, membawa manfaat bagi warga kotanya, tidak bagi warga ibukota Jakarta Raya. Sutiyoso, yang belakang hari banyak berkicau di layar televisi dan media massa, laksana pemimpin dengan rentetan sukses selama sedasawarsa, ternyata memang duplikator yang baik. Gubernur DKI Jakarta yang berakhir masa jabatannya ini sekadar adopter improvisatorik, yang menjadikan busway sebagai azab.

Di Bogota dengan boulevard yang masing-masing mempunyai enam jalur lintas jalan, moda transportasi busway yang memakan dua jalur jalan, tentu menjadi penyempurna kenyamanan. Busway bagi Bogota, hanya part of total solution, yang konsisten dengan rencana tata ruang terpadu. Hal ini, tentu berbeda diametral dengan kasus busway di Jakarta.

Kita, warga kota, sangat tidak keberatan dengan aplikasi busway untuk lintas boulevard. Dalam konteks itu, alasan Sutiyoso dan Fauzi Bowo menerapkan konsep busway untuk dan atas nama rakyat miskin kota, bisa diakomodasi. Tapi, ketika konsep busway diberlakukan di lintas jalan non-busway, tentu hanya sekadar akal-akalan politik belaka. Apalagi, bila rencana kenaikan ongkos busway jadi dilakoni.

Kebijakan improvisatorik Sutiyoso semacam ini, dan berbuah bengkalai monorail, plus rencana meminggirkan kaum miskin kota - termasuk larangan bersedekah bagi pengemis jalanan - adalah pertanda inkonsistensinya selaku pemimpin kota. Bagi sebagian kalangan, yang memburu berkah melalui proyek pemerintah DKI Jakarta, dan investor di Jakarta Transportasi, tentu saja kebijakan busway tak terasa sebagai azab. Mereka abai, bahwa kebijakan itu telah memubazirkan biaya dan waktu, dan akhirnya produktivitas. Kemubaziran itu berbilang miliar rupiah, per hari. Karenanya, Jakarta menjadi kota yang sangat mubazir dan tidak efisien.

Kalau lantaran kebijakannya tentang busway, Sutiyoso sukacita menjadi tokoh kontroversial, yang belakangan membayar air time televisi untuk meng-awar-awar kesuksesannya, boleh jadi, memang karena ada ‘kelainan'. Karenanya, ketika dengan sukacita juga ia mengklaim, bahwa kontroversialitas kepemimpinnya dijadikan indikator keberhasilannya sebagai leader yang berani mengambil keputusan, kita boleh menyambutnya dengan tawa ringan. Apalagi, ketika kita ingin menyaksikan ruang komunikasi publik yang dibelinya, itu memang sengaja dimaksudkan untuk mengekspresikan ‘politik busway' bagi ambisinya pada tahun 2009.

Sambil ngabuburit dengan berbagai kalangan lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi kaum miskin kota, tercatat, Sutiyoso terbilang gubernur yang selama masa kepemimpinannya tak berpihak pada rakyat miskin. Apalagi, ketika rakyat mafhum mukhallafah, bahwa kebijakan pembangunan kota semacam ini cenderung menguntungan kalangan pengusaha dan penguasa lapar lahan. Terutama yang bertagak sebagai raja properti tengah kota.

Dari sudut pandang manajemen ekosistem ibu kota, banyak hal esensial yang gagal dilaksanakan oleh Sutiyoso dan Fauzi Bowo untuk dan atas nama Pemerintah DKI Jakarta. Mulai dari perumusan focal concern tentang fungsi Jakarta sebagai ibu kota dan provinsi, sampai pengendalian berbagai permasalahan teknis utilitas ibu kota. Inkonsistensi terhadap tata ruang yang menguntungkan para pengusaha besar, dan menyebabkan banjir yang menenggelamkan rakyat di danau derita, adalah bukti ketidak-berhasilan leadership-nya.

Sebelum serah-terima jabatan berlangsung, ada baiknya dilakukan legal audit terhadap seluruh kebijakan transportasi yang menjadi azab bagi sebagian terbesar warga kota (termasuk rakyat kebanyakan) itu. - Jurnal Nasional