Busway
N. Syamsuddin CH. Haesy
BUSWAY yang di negeri asalnya, Bogota, membawa manfaat bagi warga kotanya, tidak bagi warga ibukota Jakarta Raya. Sutiyoso, yang belakang hari banyak berkicau di layar televisi dan media massa, laksana pemimpin dengan rentetan sukses selama sedasawarsa, ternyata memang duplikator yang baik. Gubernur DKI Jakarta yang berakhir masa jabatannya ini sekadar adopter improvisatorik, yang menjadikan busway sebagai azab.
Di Bogota dengan boulevard yang masing-masing mempunyai enam jalur lintas jalan, moda transportasi busway yang memakan dua jalur jalan, tentu menjadi penyempurna kenyamanan. Busway bagi Bogota, hanya part of total solution, yang konsisten dengan rencana tata ruang terpadu. Hal ini, tentu berbeda diametral dengan kasus busway di Jakarta.
Kita, warga kota, sangat tidak keberatan dengan aplikasi busway untuk lintas boulevard. Dalam konteks itu, alasan Sutiyoso dan Fauzi Bowo menerapkan konsep busway untuk dan atas nama rakyat miskin kota, bisa diakomodasi. Tapi, ketika konsep busway diberlakukan di lintas jalan non-busway, tentu hanya sekadar akal-akalan politik belaka. Apalagi, bila rencana kenaikan ongkos busway jadi dilakoni.
Kebijakan improvisatorik Sutiyoso semacam ini, dan berbuah bengkalai monorail, plus rencana meminggirkan kaum miskin kota - termasuk larangan bersedekah bagi pengemis jalanan - adalah pertanda inkonsistensinya selaku pemimpin kota. Bagi sebagian kalangan, yang memburu berkah melalui proyek pemerintah DKI Jakarta, dan investor di Jakarta Transportasi, tentu saja kebijakan busway tak terasa sebagai azab. Mereka abai, bahwa kebijakan itu telah memubazirkan biaya dan waktu, dan akhirnya produktivitas. Kemubaziran itu berbilang miliar rupiah, per hari. Karenanya, Jakarta menjadi kota yang sangat mubazir dan tidak efisien.
Kalau lantaran kebijakannya tentang busway, Sutiyoso sukacita menjadi tokoh kontroversial, yang belakangan membayar air time televisi untuk meng-awar-awar kesuksesannya, boleh jadi, memang karena ada ‘kelainan'. Karenanya, ketika dengan sukacita juga ia mengklaim, bahwa kontroversialitas kepemimpinnya dijadikan indikator keberhasilannya sebagai leader yang berani mengambil keputusan, kita boleh menyambutnya dengan tawa ringan. Apalagi, ketika kita ingin menyaksikan ruang komunikasi publik yang dibelinya, itu memang sengaja dimaksudkan untuk mengekspresikan ‘politik busway' bagi ambisinya pada tahun 2009.
Sambil ngabuburit dengan berbagai kalangan lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi kaum miskin kota, tercatat, Sutiyoso terbilang gubernur yang selama masa kepemimpinannya tak berpihak pada rakyat miskin. Apalagi, ketika rakyat mafhum mukhallafah, bahwa kebijakan pembangunan kota semacam ini cenderung menguntungan kalangan pengusaha dan penguasa lapar lahan. Terutama yang bertagak sebagai raja properti tengah kota.
Dari sudut pandang manajemen ekosistem ibu kota, banyak hal esensial yang gagal dilaksanakan oleh Sutiyoso dan Fauzi Bowo untuk dan atas nama Pemerintah DKI Jakarta. Mulai dari perumusan focal concern tentang fungsi Jakarta sebagai ibu kota dan provinsi, sampai pengendalian berbagai permasalahan teknis utilitas ibu kota. Inkonsistensi terhadap tata ruang yang menguntungkan para pengusaha besar, dan menyebabkan banjir yang menenggelamkan rakyat di danau derita, adalah bukti ketidak-berhasilan leadership-nya.
Sebelum serah-terima jabatan berlangsung, ada baiknya dilakukan legal audit terhadap seluruh kebijakan transportasi yang menjadi azab bagi sebagian terbesar warga kota (termasuk rakyat kebanyakan) itu. - Jurnal Nasional
No comments:
Post a Comment