AGUS HERMAWAN
Sebuah buku Keliling Jakarta Naik Busway Yuuk! telah terbit beberapa waktu lalu. Buku mungil terbitan Nalar itu meyakinkan pembacanya bahwa menggunakan busway—baca angkutan umum—sebagai sarana transportasi sehari-hari adalah hal yang menyenangkan.
Buku semacam itu sebenarnya bukan hal baru. Di beberapa kota dengan sistem transportasi umum yang sudah maju, buku petunjuk rute atau trayek angkutan umum semacam itu—dari bus hingga MRT— biasa dijual di toko-toko buku.
Biasanya buku semacam itu sangat menolong pengguna angkutan umum, terutama wisatawan. Di Jakarta pun, sekitar awal tahun 90-an, di bus-bus kota biasa dijual informasi serupa dalam bentuk lembaran yang biasa dilipat seukuran saku. Hanya saja cetakannya lebih sederhana, tetapi persis berisi nomor-nomor trayek bus yang menjelajahi Jakarta dan sekitarnya.
Bagi pencinta angkutan umum, kehadiran busway—dikenal juga sebagai bus rapid transit (BRT)—memang ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Warga Jakarta sudah terlalu lelah dijejali janji-janji tersedianya angkutan umum yang memadai dan taat jadwal. Baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI berulang kali melakukan studi dan menjanjikan dibangunnya mass rapid transit (MRT), subway, hingga triple decker, tetapi tak kunjung terwujud. Bahkan, pembangunan Jakarta Monorail pun terhenti, telantar karena ada persoalan pendanaan.
Busway disebut-sebut merupakan sistem angkutan massal yang pembangunannya memerlukan biaya lebih murah dibandingkan dengan mewujudkan subway, MRT, ataupun light rel. Pilihan busway dianggap lebih baik daripada membangun MRT atau sejenisnya.
Kampanyenya: "Think rail, use buses!"
Sebuah studi The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menunjukkan pembangunan busway hanya memerlukan dana sepersekian saja dibandingkan dengan ongkos untuk membangun MRT. Setiap kilometer pembangunan infrastruktur metro atau subway diperlukan sedikitnya dana 20 juta-207 juta dollar AS dengan waktu pembangunan tiga tahun. Bandingkan dengan biaya membangun busway yang hanya memerlukan sepersepuluh-seperduapuluhnya saja atau 1 juta-10 juta dollar AS per kilometer dengan lama pembangunan hanya 12-18 bulan saja!
Jakarta bukanlah kota pertama yang membangun busway. Di Quito (Ekuador), Curitiba, Sao Paulo, Goiania (Brasil), Santiago (Cile), hingga Mexico City dan Puebla di Meksiko merupakan beberapa kota terdahulu yang sukses memanfaatkan sistem transportasi busway.
Namun, penerapan busway di kota-kota itu terasa sangat terencana, terbuka, dan berkesinambungan. Penerapan BRT di Bogotá, Kolombia, misalnya, sangat terpadu dan tidak sepotong-sepotong. Pembangunannya sangat tersinkronisasi dengan penataan kota yang lain, semisal penyediaan ruang terbuka untuk warga hingga ke pembangunan jalur khusus sepeda (cylorrutas) yang menghubungkan berbagai kawasan.Di Bogotá sangat terasa bahwa menggunakan angkutan umum, bersepeda, bahkan berjalan kaki merupakan pilihan yang lebih menarik dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kota yang menghijau pun segera terwujud. Soal ini pernyataan Wali Kota Bogotá Enrique Penalosa yang "legendaris" itu mungkin bisa direnungkan oleh kita semua.
"Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Namun, untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka ataupun sarana pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan," katanya.
Dengan tekad seperti itulah—tanpa korupsi juga—sebuah kota yang baik dan memenuhi hasrat warganya kemudian bisa terwujud. Warga dari pinggiran kota pun diantar dengan baik menggunakan feeder bus (bus pengumpan) untuk mencapai jaringan busway.
Setelah sukses dengan pembangunan Koridor I (Blok M- Kota), Pemda DKI memang melanjutkan jalur-jalur lainnya dan diharapkan Koridor VIII (Lebakbulus-Kota), Koridor IX (Pinangranti-Pluit), Koridor X (Cililitan-Tanjungpriok) yang direncanakan terwujud tahun 2008.
Sayang, yang terjadi saat ini terkesan berkembang semacam kampanye negatif terhadap keberadaan busway. Seolah-olah angkutan umum massal itulah yang menyebabkan kemacetan semakin menjadi-jadi di Ibu Kota. Dia menjadi semacam musuh bagi para penikmat kendaraan pribadi.
Momok
Tentangan terhadap kehadiran busway oleh warga Pondok Indah (Koridor VIII) atau Pluit (Koridor IX), misalnya, semakin memperuncing seakan-akan busway adalah momok yang harus dicegah karena menyebabkan semrawutnya lalu lintas. Bentuk-bentuk "perlawanan" dari pengguna jalan juga semakin nyata di lapangan dan aparat tidak berkutik. Pengguna angkutan pribadi—bahkan kendaraan dinas, temasuk kendaraan pejabat—hingga sepeda motor saat ini bisa dengan leluasa memasuki jalur khusus busway.
Secara sederhana: sebenarnya busway justru seharusnya menjadi pilihan bagi mereka yang ingin terhindar dari kemacetan. Naiklah busway jika tidak ingin terjebak kemacetan.
Namun, untuk Jakarta, tampaknya persoalan tidaklah sesederhana itu. Bogota saja memerlukan waktu bertahun-tahun untuk sosialisasi sistem baru itu ke masyarakatnya. Sistem dilaksanakan dengan baik dan terencana. Para penyuluh menyiapkan masyarakatnya menyangkut sistem, cara, dan gaya hidup bertransportasi yang baru.
Sementara Pemprov DKI dan pengelola busway di Jakarta terkesan jalan sendiri dan tak melibatkan masyarakat. Mereka seakan-akan menentukan sendiri jalur mana dan kapan jalur busway akan dibangun. Tak heran jika warga Pondok Indah tiba-tiba merasa diekspansi lingkungannya oleh busway.Padahal, jika public relation Pemprov DKI lebih baik, tampaknya tak akan terjadi penolakan terhadap busway. Justru kebiasaan atau ketergantungan warga terhadap kendaraan pribadi—bahkan dari rumah hingga ke mal yang hanya beberapa meter saja—bisa diubah: naik busway, jalan kaki, atau naik sepeda!
Alasan busway akan semakin memacetkan arus lalu lintas harus dijawab simpatik: tinggalkan kendaraan pribadi dan naiklah busway. Dengan demikian, jalanan akan lebih kosong dari angkutan pribadi.
Persoalannya kemudian adalah harus diakui untuk saat ini pemda belum mampu memenuhi kebutuhan itu secara lengkap dan baik. Sejumlah masalah angkutan umum masih mengganjal dan bahkan merupakan persoalan besar yang belum jelas penyelesaiannya. Bukan melulu masalah keamanan dan kenyamanan berangkutan umum.
Namun, bagaimana dengan penanganan angkutan umum yang selama ini ada? Ribuan metromini, Kopaja, mikrolet atau bus kota lama, misalnya, apakah akan dihapus atau diarahkan menjadi armada pendukung dengan menjadi feeder bus? Bagaimana sistem tarifnya, nasib para awak angkutan umum ataupun pengusahanya?
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Pemprov DKI menyangkut busway dan segala kelengkapan sistemnya.
Dan, untuk mewujudkan semua itu, kebijakan nekat dan mau menang sendiri seperti yang selama ini diperlihatkan tidaklah cukup. [Kompas]
No comments:
Post a Comment