Mega “Moacet”
ARSWENDO ATMOWILOTO
Dan kini sempurnalah sudah kemacetan di Jakarta, serta sekitarnya. Sedemikian sempurnanya kemacetan ini, sehingga kita hanya bisa memaki, membenci, menyalahkan (kadang ikut menyalahi) peraturan, tanpa bisa keluar dari persoalan itu.
Bahkan sedemikian geramnya, kata macet itu sendiri diucapkan dengan moacet, atau moacet-ecetecet, supermacet, mega moacet. Karena macet kali ini bukan sekadar terhambat, tersendat, tersumbat, melainkan sudah pada tingkatan mandeg, lumpuh, bencat. Tak ada yang tak mengumpat ketika berada adonan pampat yang memicu adrenalin kesumat untuk dilampiaskan ke siapa saja, apa saja: pak ogah, pengatur jalan amatiran yang sebenarnya tidak ogah-ogahan, lampu lalu lintas yang bisa menjadi lampu disko, polantas selalu tampak kuyu tak bergegas, perbandingan jalan dengan jumlah kendaraan, disiplin sodok kiri mogok kanan.
Sampai dengan yang aktual dari dari segi waktu,pembangunan jalan bus way, yang bener-bener semau gue. Kalau pedagang kaki lima yang membuat macet sementara bisa diuber-uber dan dipenjarakan, pembuatan jalan busway yang lebih memacetkan secara serentak, malah memenjarakan pengguna jalan dalam suasana terkutuk. Sementara aktual dari segi masalah masih akan selalu bertambah: ada demo, penertiban jalanan dan tentu saja datangnya musim hujan. Kita tahu bahwa kemacetan jalanan itu mengakibatkan juga kemacetan perjalanan udara, juga laut, juga jadwal pertemuan dan berbagai kencan. Istilahnya bukan lagi “tua di jalan”, melainkan “mati di jalan”.
Sedemikian banyak keluhan mengenai kemacetan—bukan hanya dari radio, yang penyiarnya selalu menyarankan bersabar, bukan hanya di surat pembaca di surat kabar, bukan hanya di telepon yang diakhiri dengan “syukurin loe”—sehingga saya berprasangka buruk bahwa ada skenario besar yang sedang dijalankan. Yaitu untuk menjadikan Jakarta sebagai kota termacet sedunia. Jakarta sebagai kota mega moacet sehingga bisa menarik wisatawan lebih banyak.
Ketika ibu kota lain mulai berbenah mengatasi kemacetan, Jakarta makin menjadi-jadi, sehingga ada peluang bagi turis untuk menemukan pengalaman yang tak ditemukan di tempat lain. Efek dinamika industri ini bagus, karena semakin banyak pendatang, kemacetan justru bertambah. Dan kesuksesan ini ditiru di wilayah sekitar, karena Depok pun sudah menjadi momok yang menjengkelkan, sementara daerah Bogor sampai Puncak sudah meneror dengan sistem “buka-tutup” yang banyak tutupnya. Sampai kita tahu atau merasakan, Bandung sudah lama ikut bergabung.
Kota-kota lain tinggal menyusul, dengan pola dan cara yang sama dengan resep yang telah teruji. Untuk mencapai target sebagai “kota termacet sedunia”, memang perlu pengorbanan, dan para pengguna jalan sudah biasa dikorbankan, disalahkan, serta diabaikan. Embrio skenario besar pernah diujicobakan dan hasilnya memuaskan, yaitu ketika masyarakat di mana-mana mulai membangun “polisi tidur”, yang menyebabkan onderdil mobil mudah rusak, ban lebih gundul, dan pengeluaran bensin lebih boros.
Di balik itu adalah niatan para industrialis, kapitalis yang ingin barangbarangnya cepat laku. Kalau tak ada skenario raksasa, mana mungkin masyarakat dengan serta-merta membuat begitu banyak “polisi tidur” secara serentak di sepanjang jalur di semua lajur? Logika ngawur begini bisa subur ketika terjebak—sebenarnya secara sadar, di tengah arus kemacetan. Saya selalu menasihati diri dalam kondisi seperti ini. Kalau ditanya terjebak di mana, selalu saya jawab: di jalan Sabar. Jalan di mana kita harus bersabar… Kalau ditanya lagi: di mana itu, tinggal melanjutkan: jalan tiada ujung, karena sabar itu tiada akhir. Dan ketika itu terjadi, kita hanya bisa menghibur diri,dan atau memaki. Seperti kita mencium bangkai tikus di jalan, kita menutup hidung, meludah, cuh, memaki—sementara sebenarnya bau busuk itu masih tetap di situ. Cuhlagi, dan tak ada yang acuh.(*) Koran Sindo
No comments:
Post a Comment