15.10.07

Polah pola transpotasi makro Jakarta

Suatu pola seharusnya menunjuk kepada suatu kesamaan alur yang bisa dirasakan dan dapat dicerna pula keterkaitannya satu dengan yang lainnya oleh nalar kita. Suatu pola semestinya juga merupakan suatu rencana atau suatu cetak biru yang mudah dimengerti maksud dan tujuannya. Suatu pola seharusnya menjadi dasar dan pedoman bagi semua pihak yang berkepentingan dalam menyusun rencananya maupun saat pewujudannya.

Sebagai contoh, beberapa pola bilangan:
1,3,5,7,9,..,. bilangan ganjil lebih yang lebih besar dari 0, selisih antar bilangan 2
1,2,3,5,7,11,..,... bilangan prima
1,4,9,16,25,36,..,... bilangan kwadrat
1,2,4,7,11,16,22,..,... selisih antar kedua bilangannya bertingkat (1,2,3,4, etc)

Terlihat bagaimanapun samarnya semua contoh deret bilangan di atas, bilangan berikutnya tetap dapat di tebak karena deret bilangan tersebut mempunyai pola yang dapat diikuti oleh nalar. (Walau sebenarnya ada juga pola bilangan acak).
Kembali ke laptop, eh, ke Pola Transpotasi Makro Jakarta kita.

PTM-J, tampaknya disusun berdasarkan moda transpotasi yang sudah ada, yang coba digabung-gabungkan dan ditambah (eg. Monorail, Waterway etc) dan dengan mengubah bentuk moda transpotasi bus menjadi BRT.

Menurut saya, PTM-J ini tampaknya di plot di atas meja dengan data yang sangat minim. Tidak saja minim sinkronisasi dengan RUTR, tertapi juga minim koordinasi dengan pembangunan sarana transportasi itu sendiri, jalanan. Bisa saja para perencana berdalih bahwa sarana transportasi jalanan adalah di luar lingkup rencana PTM-J, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan akan kehandalan hasil perencanaannya. Mari kita lihat kasus pemilihan beberapa koridor.

Koridor I, sebagai koridor perintis tidaklah terlalu buruk, jalurnya relatif lurus dan bebas hambatan. Kepadatan penumpangnya pada suatu saat relatif seimbang untuk kedua arahnya.

Koridor II dan koridor III, sebagian jalurnya bersatu dengan jalur umum. Bagaimana TiJe dapat mempertahankan ke-konsisten-an headaway-nya?. Bus reguler yang bersinggungan dengan buswaypun terpaksa tetap dipertahankan (eg. PAC 08).

Koridor IV s/d koridor VII tampaknya juga dipaksakan routenya. Koridor IV harus melintasi kekusutan Pasar Pulogadung;

koridor V harus menggali beberapa kolong rel kereta untuk mendapatkan top clearance yang aman;

koridor VI harus bersilangan jalur kereta api yang sibuk di Jl Madiun;

koridor VII harus berebut jalur dengan kendaraan reguler dan pribadi, bahkan dengan pejalan kaki di KramatJati, mengapa tidak sekalian menyusuri Jl Dewi Sartika? etc.

Koridor X, ya saat ini saya hanya menyoroti koridor X karena saya sering menyusuri jalan dibawah tol Cawang-Tanjung Priok ini. Jalur ini menurut saya, tidak sejalan dengan pola transportasi makro walaupun dimasukkan di dalam PTM-J.
Mengapa? Karena pada jalur ini tidak banyak perumahan pemilik mobil pribadi (Cipinang, Sunter). Walau di jalur ini ada beberapa Perguruan Tinggi dan kantor industri, tapi menurut pengamatan saya sebagian besar mereka adalah pengguna sepedamotor (dan bus perusahaan). Perkiraan saya, koridor ini akan sekedar menjadi jalur komunter, yang pada pagi hari akan ada kepadatan pengguna yang menuju arah utara dan sebaliknya pada sore hari kepadatan akan terjadi menuju arah ke selatan, sehingga pada saat yang sama kepadatan kedua arahnya tidak seimbang. Bila tidak disiasati dengan baik , ini akan menimbulkan ketidak effisienan penggunaan kapasitas bus.

Hal lain yang mengganggu pikiran saya, dalam kaitannya dengan PTM-J adalah, jalur ini sejajar dengan flyover di atasnya, eg. perempatan Pramuka-Pemuda, perempatan CempakaMas dan perempatan Yos Sudarso dengan KelapaGading-Sunter (ket: sedang dibangun).
Dengan adanya flyover di perempatan-perempatan tersebut maka dapat diperkirakan bahwa arah yang memotong di bawah flyover akan mendapat prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sejajar dengannya.

Dengan kata lain jalur yang sejajar (baca: termasuk busway) akan mendapat prioritas yang lebih rendah, sehingga pada perempatan ini dipastikan TiJe akan mempunyai waktu tunggu yang cukup lama.

Saya tidak dapat secara jelas menangkap alur pikiran yang mendasari koridor ini, tapi menutup catatan ini masih menggantung harapan saya agar koridor X ( dan system busway) tidak terkubur oleh jalannya waktu seperti Jalan Jakarta Bypass yang disusurinya. [link]

Salam (101307dc)
[david chyn di suaratransjkarata]

No comments:

Post a Comment