12.1.05

Pelantikan Dewan Transportasi Kota

TEMPO Interaktif, Jakarta: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melantik 15 anggota Dewan Transportasi Kota, Selasa (11/1). Mereka adalah kalangan swasta seperti lembaga swadaya masyatakat, apakar transportasi, dan pengusaha angkutan. Wakil Dinas Perhubungan serta dari Polda Metro Jaya, juga masuk menjadi anggota.

Indah Suksmaningsih, anggota dewan dari lembaga swadaya masyarakat, berjanji akan melakukan pemulihan transportasi di Ibu Kota. "Target utamanya adalah memindahkan mobil pribadi ke angkutan masal," tekad Indah.[source]

Apabila dalam perjalannya mendapat tantangan, dirinya akan keluar dari lembaga tersebut. Lain halnya dengan Naufal Yahya. Anggota dewan dari unsur Kepolisian Daerah Metro Jaya ini mengaku akan berkonstrasi pada masalah keamanan dan penanganan darurat.

Menurut dia, semua itu masih dalam tahap pembahasan. Keputusan program kerja baru akan ada setelah rapat koordinasi dengan semua anggota. Dalam sambutannya, Gubernur DKI Sutiyoso menyatakan, pembentukan dewan ini merupakan upaya pemerintah mengatasi masalah transportasi umum yang makin tidak kondusif.

Mereka yang dilantik adalah Soetanto Soehodho, Hayati Sari Hasibuan, F. Trisbiantara (unsur perguruan tinggi), Agus Sidharta (pakar transportasi bidang perencanaan), Murdiawan Wirjoharjo (pakar transportasi di bidang lingkungan), SN. Milatia Mu'min (pakar transportasi bidang pembiayaan).

Berikutnya, Sriwidodo, Eka Sari Lorena S (pengusaha angkutan), Andi Rahmah, Indah Suksmaningsih (LSM), Erwin Cahya (awak angkutan), Dewi Wandasari, Dedy Suhardady (masyarakat penggguna), D.A. Rini (dinas perhubungan) dan M. Naufal Yahya (Polda Metro Jaya). [Suryani Ika Sari-Tempo News Room]
more

6.1.05

Harmoni Central Busway akan dibangun

TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun Harmoni Central Busway. Halte yang menjadi pusat kedatangan dan keberangkatan bus jalur khusus tersebut berdiri di atas Kali Moolenvelt.

Halte itu menjadi titik temu tiga koridor busway, yaitu koridor I (Blok M-Kota), koridor II (Pulogadung–Harmoni) dan koridor III (Harmoni–Kalideres). Ukuran halte 5 x 78 meter, 10 kali lebih besar dari halte busway yang sudah ada.

Fasilitas HCB akan dilengkapi tiga buah pintu pada sisi kanan dan sisi kiri. PT Arkonin, konsultan yang ditunjuk Dinas Perhubungan DKI, Nurjaman, mengatakan dana yang dibutuhkan sekitar Rp 29 miliar. "Halte ini memiliki kapasitas besar yaitu 400-500 orang," papar Nurjaman di Balai Kota Jakarta, Kamis (6/1).

Dana di atas juga dialokasikan untuk membangun dua putaran U (U turn) busway dan double track (dua jalur) sepanjang 340 meter pada dua sisi. Diharapkan, dengan jalur ini kemacetan ditiga koridor tidak terjadi.

Nurjaman yakin, meskipun terjadi pelebaran di sekitar sungai. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Rustam Effendi menambahkan, proyek ini akan dimulai Maret 2005, dan diperkirakan rampung 6 bulan kemudian.

Suryani Ika Sari-Tempo News Room
more

3.1.05

Dicari: 15 Sopir Perempuan

TEMPO Interaktif, Jakarta:Operator bus Transjakarta PT Jakarta Express Trans (JET) sedang mencari sopir perempuan. Direktur Umum dan Keuangan PT JET Ibnu Susanto mengatakan, rencana perekrutan sopir ini sudah digodok tim khusus. “Kami butuh sekitar 10-15 sopir perempuan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Tempo.

Menurut Ibnu, rencana rekrutmen ini sudah lama dibahas. Bahkan, saat busway diluncurkan tahun lalu, PT JET berharap memiliki sopir perempuan. “Tapi saat itu, ada beberapa kendala. Kami berharap segera ada realisasinya tahun ini,” kata Ibnu, tanpa merinci kendala yang dimaksud.

Sopir perempuan ini harus memenuhi standar kualifikasi. “Yang penting harus sehat dan mempunyai SIM B1 umum,” kata Ibnu. Syarat lain, kandidat harus masih muda. “Maksimal 40 tahun,” ujarnya.

Selain itu, persyaratan formal juga harus disiapkan sang calon yakni, ijazah pendidikan terakhir dan pengalaman. Khusus untuk tes bagi calon sopir ini, PT JET akan menggunakan standar dari Departemen Perhubungan.

Proses rekrutmen akan melewati beberapa tahap. Pertama, tes tertulis. Calon sopir harus mempunyai pengetahuan teknik mekanik bus, selain ketrampilan mengemudi. “Pengetahuan tentang peraturan lalu lintas juga menjadi salah satu materi ujian,” katanya. Bila lulus tes ini, sederet tes lain masih menunggu, antara lain tes lapangan, tes kesehatan, dan wawancara.

Soal gaji, tidak berbeda dengan sopir busway selama ini. Mereka akan menerima gaji sebesar Rp 2.010.000. “Selain itu, kita memberikan sekali makan, juga mes untuk istirahat,” tuturnya.

Kepala Badan Pengelola (BP) TransJakarta Irzal Z Djamal menyambut baik rencana ini. Menurut Irzal, rencana perekrutan sopir perempuan ini, awalnya dilontarkan Gubernur Sutiyoso saat studi banding ke Bogota, Kolumbia. “Waktu Gubernur Sutiyoso naik, yang mengemudikan adalah mahasiswi. Cara mengemudinya tenang dan profesional,” jelas Irzal.

Bagi yang berminat, lamaran bisa dikirim ke PT JET di Jl Raya Pondok Gede Km 3 Pinangranti, Jakarta Timur, Telp. 8415111. Aplikasi ditunggu hingga akhir Januari 2005.

Multazam
more

26.8.04

Penerapan Bus Berekor

Daya Angkutnya Lebih Banyak dan Aman
Oleh D. Wibowo, I. P. Nurprasetio, & I. Nurhadi

Pikiran Rakyat — SARANA transportasi memegang peranan penting dalam kegiatan perekonomian, terutama transportasi darat. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, manusia harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Perpindahan manusia ini harus didukung oleh sarana transportasi.

Kendaraan bermotor seperti sepeda motor, roda empat (sedan, minibus) dapat diproduksi dalam jumlah banyak. Meski demikian, jumlah produksi harus disesuaikan dengan kapasitas jalan. Artinya, agar sistem transportasi berjalan optimal, harus tercapai keseimbangan antara kendaraan dan jalan secara proporsional. Indikator proporsionalitas dalam hal ini adalah kelancaran lalu lintas. Apabila, sering terjadi kemacetan, maka kombinasi sarana-prasarana transportasi sudah tidak proporsional lagi atau jumlah kendaraan terlalu besar dibandingkan kapasitas jalan raya.

Agar kegiatan transportasi masyarakat menjadi cepat dan efisien, sistem transportasi harus didesain sebaik mungkin. Ini penting agar tidak terjadi hal buruk seperti kemacetan lalu lintas.
Untuk mencapai kombinasi sistem transportasi yang proporsional, diperlukan sarana transportasi yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak, sehingga ruas jalan yang ada digunakan seefisien mungkin (jumlah orang per satuan luas jalan harus optimal). Selain mampu mengangkut orang dalam jumlah besar, sarana transportasi ini dituntut untuk dapat bergerak cepat. Sarana transportasi ini dikenal sebagai MRT (Mass Rapid Transit).

Meskipun disediakan MRT yang mampu mengangkut orang dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat, manusia tetaplah manusia. Manusia tetap memiliki pilihan dan bebas untuk memilih sarana transportasi yang mereka inginkan. MRT harus didesain sedemikian rupa sehingga orang-orang suka dan ingin menaikinya.

Teknologi MRT yang ada saat ini sangat beragam, diantaranya adalah bus kota, bus bertingkat, trem, kereta (baik itu KRD, KRL, kereta bawah tanah, monorail), dan bus gandeng (Articulated Bus). Agar kegiatan ekonomi berjalan lancar, harus dipilih MRT yang sesuai dengan karakteristik wilayah tempat MRT itu. MRT pun harus didesain sedemikian rupa agar orang suka menaikinya, sehingga jumlah kendaraan pribadi di jalan raya berkurang, yang akan mengurangi peluang terjadinya kemacetan.

Pada tulisan ini, bus gandeng dipilih sebagai usulan sarana transportasi massal yang cepat (MRT) untuk diterapkan di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa kelebihan bus gandeng dibandingkan sarana MRT yang lain:

Dibanding bus standar:

  • bus gandeng memiliki kapasitas angkut yang lebih besar (lebih dari 100 orang).
  • bus gandeng memiliki lantai bus yang lebih rendah, sehingga mempercepat pertukaran penumpang untuk naik-turun.
Dibanding bus bertingkat:
  • memiliki lokasi titik berat yang lebih rendah (lebih stabil).
  • tekanan ban ke jalan lebih rendah (tidak cepat merusak jalan).
  • kecepatan maksimum lebih tinggi.
  • tidak memerlukan tangga (tidak membuat orang lelah).
  • tidak akan menabrak jembatan atau kabel listrik yang rendah.
Dibanding tram:
  • tidak memerlukan lintasan khusus (rel) dan instalasi listrik (initial cost lebih rendah).
  • tram memecah lalu lintas, sehingga sulit diterapkan di Indonesia.
  • bus gandeng memiliki karakteristik pengereman yang lebih baik.
Dibanding kereta bawah tanah dan monorail:
  • kereta bawah tanah dan monorail memerlukan initial cost yang sangat tinggi, perlu membangun lintasan bawah tanah, jembatan, rel, serta instalasi listrik.
  • bus gandeng memiliki karakteristik pengereman yang lebih baik.
  • bus gandeng mudah berhenti di mana pun manakala ada masalah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bus gandeng memerlukan investasi yang relatif rendah dan memiliki daya angkut yang sama dengan bus bertingkat dengan beberapa kelebihan.

Di Indonesia

Articulated Bus (AB) atau bus gandeng adalah bus yang berbadan dua dan memiliki sambungan di antara kedua badan bus tersebut untuk memudahkan bus berbelok. Sambungan itu disebut articulated joint. Dengan memiliki dua badan bus, AB dapat mengangkut orang lebih banyak. AB juga memiliki lantai yang rendah (low floor/ low deck buses) sehingga memudahkan penumpang untuk naik-turun dan mempercepat proses pertukaran penumpang.

Secara umum, AB terbagi menjadi dua tipe yaitu penarik (puller) dan pendorong (pusher). Berikut ini adalah penjelasan kedua tipe AB dan karakteristik umumnya :

Tipe "puller"
  • engine berada di unit depan (lead unit), di bagian tengah.
  • roda penggerak adalah roda belakang lead unit.
  • unit belakang (trailer) menggunakan steering axle.
  • ruang belok (turn corridor) lebih kecil dibanding pusher.
  • unit belakang "membuang ke luar" saat belok (rear corner excursion).
Tipe puller ini telah dinyatakan kedaluwarsa karena beberapa kelemahan, yaitu : kabin penumpang bising karena suara mesin di bawah lantai.

Tipe "pusher"
  • engine berada di unit belakang (trailer).
  • roda penggerak adalah roda pada trailer.
  • memerlukan active torque control untuk mengakomodasi manuver berbelok.
  • ruang belok (turn corridor) lebih besar dibanding pusher
  • bagian belakang unit depan terdorong ke luar saat belok (body intrusion).
Dewasa ini, tipe pusher-lah yang banyak digunakan di negara-negara maju, karena secara teknis kinerjanya lebih baik dibanding puller. Kabin penumpang tidak bising karena letak mesin di bagian belakang bus serta lantai bus yang rendah dapat dibuat lebih mudah karena tidak terhalang posisi mesin.

Bagian paling krusial dari bus tipe pusher adalah sambungannya (articulated joint). Sambungan pada pusher harus dilengkapi dengan modul active torque control. Modul ini berfungsi untuk mempertahankan sudut di sambungan agar bus dapat berbelok sebagaimana mestinya, terutama saat bus dipercepat atau diperlambat (direm) sambil berbelok. Modul ini merupakan investasi besar pada AB tipe pusher, selain chassis bus yang harus didesain untuk memenuhi kondisi low floor, poros roda penggerak yang bertipe drop axle, serta instrumen kontrol yang lebih rumit dibandingkan bus biasa dan tipe puller.

Dengan adanya modul active torque control dan peralatan lain, pusher menjadi tipe AB yang terbilang mahal. Berkaitan dengan ini, diusulkan AB tipe lain dengan tujuan menekan biaya pembuatan AB untuk diterapkan di Indonesia.

Bus gandeng tipe lain ini mengambil konsep modifikasi bus standar untuk dijadikan bus gandeng, dengan basis truk gandeng yang sudah beroperasi di Indonesia, dan dengan lantai bus yang lebih rendah. Berikut adalah penjelasan usulan bus gandeng dan perbandingannya dengan tipe pusher (tabel perbandingan pusher dan 4 axle).

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa 4-axle memerlukan investasi yang lebih rendah dibanding pusher, serta memiliki beberapa kelebihan spesifik, di antaranya :
  • Memberi kesempatan pada industri karoseri di Indonesia untuk ambil bagian dalam pengembangan bus gandeng sebagai langkah awal pengembangan bus gandeng di Indonesia. Trailer dapat dilepas dari lead unit sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu tanpa trailer .
  • Apabila dimungkinkan, trailer dan lead unit dapat menjadi sarana untuk memisahkan penumpang pria dan wanita, guna mencegah kejahatan.
Atas dasar pembahasan dan pertimbangan dalam artikel ini, bus gandeng tipe 4-axle direkomendasikan sebagai tahap awal pengembangan bus gandeng di Indonesia dalam rangka memenuhi tuntutan (demand) masyarakat akan sarana transportasi.

Penulis Prodi Teknik Mesin, FTI-ITB.
more

17.7.04

Busway: Six months after

The Jakarta Post | It may seem somewhat premature to judge Jakarta's six-month-old busway system's failure or success. Nevertheless, after that time span, a thorough evaluation is certainly appropriate.

Many Jakartans seem unaware that the much-criticized busway system, adopted from Bogota, Colombia, has been in operation on Jakarta's crowded roads since January 15, this year.

Much of the criticism derives from the city administration's poor preparation in providing the proper infrastructure for the project. The felling of trees along major thoroughfares was another flaw, in terms of its environmental impact.

However, despite public skepticism, and the city's seemingly incurable transportation headache, the administration apparently perceived that the busway was the best solution.

So, even as the construction of a monorail system has begun and a subway project is in the works, Jakartans have no choice but to accept the busway as a permanent fixture. Under such circumstances, a question bashfully rears its head: Yes, but -- has the busway actually cured that nagging headache?

Admittedly, the decreasing use of private cars is one indication that the busway has answered the call for a better system of transport. Indeed, one of the main objectives of the busway was to discourage people from driving their cars to and from work.

For only Rp 2,500, residents can now travel from Blok M, South Jakarta, to the commercial district of downtown Kota in less than 30 minutes aboard an air-conditioned TransJakarta bus. Viewed from these aspects: low fares, comfort and a short traveling time, the busway system has so far provided one welcome solution to that baffling problem.

However, the busway has not convinced people that driving their car to work is not the best option, despite the fact that TransJakarta buses transport a total of 46,000 passengers a day, exceeding the target of only 20,000 passengers. Could this be because car owners cannot find a safe place to park their vehicles from nine to five? Likewise, the "three-in-one" regulation has hardly encouraged people to board the bus.

So, while waiting for car owners to change their habits, the administration would do well to think about providing parking lots where car owners can leave their cars safely until the evening, when they go home from work.

Another serious factor that must be addressed is the provision of adequate, safe, smooth and comfortable feeder lines from residential areas to busway corridors.

It is not easy for residents living in Ciledug -- a district located in Tangerang bordering the southern part of Jakarta -- to go to Kota by TransJakarta bus. Those residents would have to spend hours traveling by bus or taxi -- or any other means of transportation available -- from Ciledug to Blok M, just to take the TransJakarta bus to Kota.

Therefore, inter-provincial or inter-municipal cooperation between the administrations of Jakarta, and those of its surrounding areas, is a must to provide an integrated and interlinked system of transportation to support the busway.

Pedestrians, too, need to be given easy access to busway transit stations. Safe ramps connecting sidewalks and busway stations must be made available, since even sidewalks are part of the system.

All these matters should be properly addressed before the city administration goes ahead with the construction of busway corridors II and III, stretching from Kalideres in West Jakarta to Monas in Central Jakarta, and from Pulogadung in East Jakarta to Monas. Only then will Jakarta be able to boast of having a truly integrated system of mass transportation, capable of adequately serving the capital city's population of more-than -ten-million.
more

24.6.04

Obat (Mujarab) Bernama Dewan Transportasi Kota?

[Kompas] TUJUAN utama desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana kita, khususnya eksekutif–pemerintah daerah–berlomba menyejahterakan warganya sebagai kompensasi dari pajak dan aktivitas ekonomi lainnya yang telah mereka berikan. Gubernur Sutiyoso selaku kepala operasional pemerintahan daerah yang tentunya bekerja sama dengan DPRD mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menetapkan kebijakan yang terbaik bagi masyarakat dan wilayahnya, termasuk kebijakan transportasi kota di DKI.

Contoh kecil dari masalah transportasi di wilayah DKI yang paling mudah ditangkap publik adalah masalah pertumbuhan bus kota yang beroperasi, yang sangat jauh dari kebutuhan penumpang yang diangkut setiap hari. Dari tahun 2001 ke 2002, misalnya, hanya 15 bus! [source]

Dewan Transportasi Kota (DTK) sebagai institusi yang direncanakan lahir untuk ikut berperan dalam pembenahan permasalahan transportasi di kota yang telanjur rumit dan banyak masalah ini adalah wujud pengakuan dan kepedulian pemda terhadap peran serta publik dan keterbatasan kemampuan pemda dalam membenahi sektor transportasi.

Pasal 98 Ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2003 menyebutkan, tugas dewan ini adalah menampung aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan pemda dalam bidang transportasi. Kedua tugas pokok ini akan terwujud apabila DTK menunjukkan "kesungguhan" dalam menjalankan amanah tersebut. Adanya kesungguhan tadi tentunya tidak akan pernah terlepas dari siapa yang duduk sebagai anggota dewan dan apa yang akan dilakukan dewan.

Keanggotaan dewan tidak serta-merta harus seorang yang pintar keintelektualannya di bidang transportasi atau figur yang dikenal publik. Lebih daripada itu, masyarakat butuh sosok yang mau "mengabdikan" keilmuan, moral, dan idealismenya untuk pembenahan transportasi menuju sistem yang dibangun berdasarkan karakter dan kebutuhan nyata publik secara umum.

Sosok itu setidaknya akan mampu menciptakan ruang sosial dan politik yang betul-betul menerjemahkan substansi pembenahan sistem daripada sekadar menjalankan tugas "menampung aspirasi" secara an sich.

PENULIS yang juga salah satu fasilitator pembentukan dewan ini ingat sekali ketika sebagian besar peserta konsultasi publik sepakat bahwa peran dewan tidak hanya pasif menunggu keluhan atau pengaduan dari masyarakat, tetapi juga aktif memberikan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, untuk mendukung peran tersebut, dewan ini memiliki sejumlah komisi yang diharapkan mampu menjawab persoalan transportasi dewasa ini dan yang akan datang.

Komisi-komisi tersebut adalah a) komisi tarif angkutan (yang mampu dibayar masyarakat), b) komisi hukum dan kebijakan, c) komisi kelaikan dan keselamatan fasilitas sarana dan prasarana, d) komisi penelitian dan pengembangan, dan e) komisi pendidikan dan hubungan masyarakat.

Inventarisasi terhadap ruang lingkup dan masalah transportasi yang dipandang "sexy" oleh publik harus ditindaklanjuti dengan kajian dan rekomendasi kepada eksekutif agar menjadi "benih kepercayaan" di mata masyarakat terhadap eksistensi dewan ini. Lingkup masalah itu meliputi praktik uji kir angkutan umum, evaluasi terhadap kebijakan three in one, pembuktian asumsi terhadap jumlah trayek yang melebihi kebutuhan, dan daya kapasitas lingkungan.

Program yang dibangun dan dikembangkan oleh DTK dapat juga bersifat high profile. Tengok saja banyaknya ketentuan yang harus ditindaklanjuti oleh keputusan gubernur untuk mengimplementasikan beberapa ketentuan dalam Perda Nomor 12 Tahun 2003. Hal ini berpotensi menghambat daya penegakan perda itu sendiri karena tidak berjalannya pasal-pasal yang hendak dilaksanakan (harus menunggu keputusan gubernur terlebih dahulu).

Kondisi di atas dapat menjadi "peluang" dan dapat dimanfaatkan oleh DTK untuk "membantu" lahirnya keputusan gubernur yang memiliki substansi hukum yang memenuhi unsur good norm dan partisipatif. Peran ini juga mendorong penegakan perda itu secara penuh. Sebaliknya, eksekutif jangan pernah berpikir bahwa DTK nantinya hanya "diterima" sebatas sebagai pelaku atau pelaksana ketika konsep transportasi sudah ditetapkan atau dimobilisasi untuk mendukungnya.

Semua yang dijalankan dewan terbingkai dalam sebuah visi yang telah disepakati bersama, yaitu untuk menjadikan lembaga yang independen dan tepercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi berkelanjutan dengan mewujudkan peran serta masyarakat.

Tingkat penerimaan masyarakat terhadap dewan ini akan berbalik 180 derajat manakala kehadirannya tidak membawa pengaruh positif terhadap masyarakat. Kemungkinan ini sangat terbuka bila keinginan duduk di DTK hanya untuk mengejar fasilitas.

Di antara harapan dan kekhawatiran tersebut, kehadiran DTK sebaiknya tidak dianggap sebagai satu-satunya "obat" untuk mengobati semua penyakit yang terdapat pada kehidupan transportasi di Ibu Kota ini. Masyarakat dan media serta legislatif juga menjadi aktor utama dalam pembenahan sistem dan kebijakan transportasi. Peran yang dapat dimainkan adalah bagaimana turut mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi kebijakan eksekutif pada bidang transportasi. Tidak ada salahnya juga turut pula mengontrol peran dan kinerja dari DTK.

Ari Mohammad Legal and Policy Analysis Clean Air Project, Swisscontact
more

29.5.04

Another busway corridor

The Jakarta Post

The Jakarta administration's decision to set up another busway corridor, from Pulo Gadung in East Jakarta to Kalideres in West Jakarta via Monas in Central Jakarta, has drawn various reactions.

Some people are of the view that the plan to construct the new busway route deserves support. Others, however, say that the problems with the existing route from Blok M to Kota should be dealt with first before expanding the system.

Those who support the idea -- the city officials among them -- believe that the busway system will help ease the traffic along those routes. The system is faster than any other means of public transport available at present, so the city needs more busway corridors, especially for routes that are severely congested, so they argue.

On the other hand, those who do not agree with the expansion of the system argue that the problems brought about by the existing busway infrastructure have yet to be dealt with properly.

The routes to and from Pulo Gadung and Kalideres are congested each day, and -- considering the Blok M - Kota experience -- the skeptics fear that the new busway corridor will cause new problems.

According to Bambang Susanto, the secretary-general of the Sustainable Transport Action Network for Asia-Pacific, there are several problems relating to safety and security, reliability and affordability of the transJakarta bus system that need to be assessed before more are built.

Security and punctuality are the most important factors that can persuade people to keep commuting on the new buses.

It is interesting to recall Governor Sutiyoso's remark that the busway would not solve the city's chaotic traffic jams. The governor has also said that the busway system would put the administration's reputation at stake.

But those among us who have lived in Jakarta since the 1970s will readily acknowledge that traffic was already chaotic even then. However, things have grown worse over the past couple of decades, in step with the rapidly increasing number of vehicles, a fact that neither the central government nor the Jakarta provincial administration seem to be able to contain.

The increases in population, which have led to the decrease of space available for the building of new roads, is another serious problem. Unfortunately, law enforcement has been very weak.

The phenomenal increase in the number of private cars in recent years could be seen as an accomplishment by the car retailers in their bid to fulfill the people's demand for independent and safe transportation. Prestige is another reason people prefer private cars.

Sutiyoso has acknowledged that the increased use of private cars is a reflection of the public's pressing need for a public transportation network that meets the minimal standards of cleanliness, comfort and safety.

In the meantime, while waiting for the most appropriate mode of public transportation to be put in place for the capital city's more than nine million people, the busway system can be considered a breakthrough.

Everybody agrees that Jakarta desperately needs a mass rapid transit system. Unfortunately, nobody seems to be able to determine what kind of system would be the most appropriate for Jakarta.

The city administration is facing many constraints, especially those of a financial or socio-cultural nature, and it does not have the money to do what needs to be done. Besides, it is not easy to find space for the construction of infrastructure such as is needed for a subway or an overhead monorail system.

But whatever people may say, it seems that the city administration is determined that the 33 kilometers of new busway corridors must begin construction next month and become operational by April 2005.

The expansion of the busway system reflects the administration's serious efforts to solve one aspect of Jakarta's traffic problems, but its record of tackling the core problems remains poor.

At least Rp 600 billion (about US$67.4 million) is needed for the new busway corridor project. That amount includes the purchase of 187 buses.

As it is a giant project involving a huge amount of money, transparence in the drawing up of business plans that involve the private sector is a must. To eliminate or, at the every least, reduce the possibility of malfeasance, open and fair bidding for the project is imperative.
more