Kalau perlu, ganti operator
DPRD DKI Jakarta mendesak Gubernur untuk mengganti konsorsium dan operator Transjakarta agar pengelolaan transportasi publik di Jakarta lebih profesional. Operator transjakarta harus memikirkan kepentingan masyarakat Jakarta yang lebih luas, bukan sekadar untung-rugi.
Sekretaris Komisi B, Nurmansjah Lubis menegaskan DPRD kecewa dengan sikap operator yang mengancam akan melakukan mogok karena nilai tarif tak sesuai dengan keinginan mereka. ”Mogok tidak menyelesaikan masalah. Malah itu mencerminkan sikap seperti anak kecil. Mari kita transparan, duduk bareng dan membahas apa benar tarif Rp 9.400 menyebabkan kerugian?” kata Nurmansjah.
Konsorsium lama, PT Jakarta Express Trans, Trans Batavia, Jakarta Trans Metropolitan, dan Jakarta Mega Trans, meminta tarif antara Rp 12.250 dan Rp 25.770. Namun, setelah dilakukan tender yang ditawarkan kepada konsorsium Lorena dan Primajasa diperoleh hasil tarif Rp 9.400 untuk semua koridor, kecuali Koridor IV yang Rp 16.000.
Menurut Nurmansjah, DPRD akan memilih tarif yang lebih murah. ”Itu berarti jumlah subsidi berkurang atau menghemat sekitar Rp 100 miliar dari nilai subsidi Rp 263 miliar per tahun yang diberikan lewat APBD selama ini,” katanya.
Saat ini sudah dibentuk Panitia Khusus Transjakarta yang masuk ke tahap ketiga. ”Jika sudah masuk ke hal teknis, pansus akan mendukung gubernur agar transportasi publik ini dikelola profesional. Kalau perlu, ganti saja konsorsium lama dan operator yang tak becus,” ujarnya.
Tak sesuai bestek
Sementara itu, dosen Fakultas Teknik Universitas Trisakti, F Trisbiantara, mengungkapkan, kerusakan jalan di seluruh koridor bus transjakarta saat ini harus dipertanyakan karena kuat dugaan pekerjaan tak sesuai bestek. Mutu jalan harus diuji melalui laboratorium yang kredibel dengan cara pengambilan sampel material dari badan jalan setelah dibor terlebih dahulu.
Koridor busway dengan struktur beton tidak seharusnya rusak cepat karena masa pakainya (life time) 20 tahun. ”Itu standar operasi jalan beton. Jika satu dua bulan setelah dibangun retak, itu patut dipertanyakan,” katanya.
Menurut Trisbiantara, ada beberapa faktor penyebab jalan bisa rusak. Misalnya karena kelebihan beban. Jalan yang dibangun untuk tonase kendaraan delapan ton, tetapi bus transjakarta yang dioperasikan saat ini kelebihan beban 50 persen atau berat rata- rata 12-13 ton akibat ada tambahan tabung gas yang besar.
Faktor lain, akibat genangan air. Pada jalan beton, kecil kemungkinan kerusakan akibat air kecuali kalau betonnya sudah retak atau pecah. Beton bisa retak tidak saja karena kelebihan beban, tetapi juga akibat pengerjaannya tidak berkualitas. Misalnya, sehabis dicor tidak ditutupi karung yang selalu disiram air selama tujuh hari.
Mantan anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta ini melihat pola pengerjaan proyek tidak ketat. Ada baiknya seluruh konstruksi beton pada koridor bus transjakarta dites.
Wakil Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Budi Widiantoro mengatakan, setiap pekerjaan jalan, termasuk koridor busway, sudah disertai pengujian kualitas. Pada setiap jarak satu kilometer diambil sampel pada tiga titik berbeda sebagai sampel untuk pengujian mutu jalan.
Jika mutu tak sesuai standar yang dipersyaratkan, kontraktor wajib membongkar dan membangun kembali. Khusus Koridor VIII (Lebak Bulus-Harmoni), IX (Pinang Ranti-Pluit) dan X (Cililitan-Tanjung Priok), perbaikan kerusakan masih menjadi tanggung jawab kontraktornya.
Sementara itu Irvan, pengguna transjakarta di Koridor I (Blok M-Kota), pegawai swasta di Harmoni, berpendapat, bus transjakarta belum efektif dan pelayanan belum optimal. Antrean tidak teratur dan tidak tersedia fasilitas khusus bagi penyandang cacat. Namun, pengguna lain, Rudi, berpendapat sebaliknya. (dari Kompas)
No comments:
Post a Comment