Busway & the broken windows
Orang-orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan busway di Jakarta telah mempermalukan diri pekan ini. Mereka mencoba menerapkan kebijakan bus melawan arus (contra-flow) untuk mengatasi kemacetan gara-gara banyaknya kendaraan lain turut memanfaatkan jalur busway.
Rencana uji coba telah diumumkan. Petugas-petugas disiapkan. Namun, pada detik-detik terakhir, uji coba bus melawan arus itu batal. Tidak ada alasan yang jelas. Kabar yang mencuat kemudian adalah bahwa uji coba itu terlalu berisiko dan Pak Gubernur tak pernah diberi tahu tentang kebijakan itu.
Setelah Jakarta ganti gubernur, pamor busway memang merosot. Apalagi setelah orang-orang di Pondok Indah menekan gubernur baru atas pengembangan busway di permukiman mereka. Kemacetan lalu lintas di jalan umum ditimpakan pada kebijakan busway.
Sementara, pengelola busway mengeluh. Jumlah penumpang telah melorot jauh dibandingkan saat awal sistem angkutan umum diberlakukan. Sebagian orang tak sudi lagi menggunakan angkutan ini karena tetap saja terhadang macet. Tak ada bedanya dengan kendaraan pribadi yang lebih nyaman.
Mari lihat kasus tahun lalu, saat petugas dinas lalu lintas DKI bentrok dengan warga. Mereka sedang bertugas; dan yang mereka lakukan adalah melarang kendaraan pribadi memasuki jalur busway. Warga pengguna kendaraan pribadi marah karena sudah mendapatkan izin dari polisi untuk memasuki area busway. Polisi meminta mereka memasuki jalur itu agar tidak terjadi kemacetan kendaraan non-busway.
Itulah inti persoalan. Kebijakan busway tak mendapatkan dukungan dari polisi. Sekali saja polisi memberikan jalur busway kepada kendaraan pribadi, maka saat itulah polisi telah ''memecahkan kaca busway''. Hasilnya? Ketiadaan aturan. Ada polisi atau tidak, diminta atau tidak, kini para pengendara menyerobot jalur busway. Maka, tak ada lagi nilai lebih busway. Sama-sama kena macet. Uang miliaran rupiah yang ditanamkan pada proyek kebanggaan Sutiyoso ini melayang tanpa makna.
Bagaimana ke depannya? Jika kebijakan bus melawan arus dianggap terlalu berisiko bagi keselamatan pengendara yang suka menyerobot jalur busway, maka hanya polisi lagilah yang dapat memperbaiki kaca pecah busway itu. Caranya dengan tak pernah lagi mengizinkan para pengendara memasuki jalur busway. Para pengendara akan tahu, menyerobot busway bukanlah hal yang benar dan akan ada yang hukuman jika mereka melanggarnya.
Teori kaca pecah (the broken windows theory) pertama kali muncul pada Maret 1982. Dua kriminolog, James Q Wilson dan George Kelling, memublikasikannya melalui The Atlantic Monthly. Menurut teori ini, jika sebuah kaca jendela pecah di suatu jalan, lalu dibiarkan tanpa perbaikan, maka orang-orang yang lewat akan memandang tak ada yang peduli soal ketidakwajaran itu.
Berdasarkan teori ini, kaca pecah yang dibiarkan itu akan melahirkan kaca-kaca pecah lainnya. Akan muncul pula corat-coret (grafiti) dan perilaku seenaknya yang lain, lalu kota pun akan segera berhiaskan sampah. Suasana akan tampak seperti tanpa hukum dan kejahatan akan tumbuh.
Orang pertama yang memanfaatkan teori itu adalah William C Bratton. Sebagai kepada polisi transit New York, ia gemas atas tingginya angka kriminalitas di subway. Hal pertama yang ia lakukan bukanlah memerangi para pelaku perampokan, pemerkosaan, dan pencurian di subway, melainkan memperbaiki ''kaca pecah'', hal yang kecil, yaitu menahan orang-orang yang naik kereta tanpa tiket dan mempertontonkan mereka di stasiun. Ia juga membuat pos polisi di subway untuk menunjukkan bahwa hukum hadir di tempat itu.
Sepuluh persen penumpang tanpa tiket ternyata membawa narkoba dan senjata. Sembilan puluh persen lagi, walau bukan kriminal, malu karena dipertontonkan di depan umum sebagai pelanggar aturan. Hasil kerja Bratton bukan cuma pendapatan kereta subway naik, melainkan juga anjloknya angka kejahatan di subway.
Ketika menjadi komisioner polisi New York, Bratton kembali memanfaatkan teori kaca pecah itu. Paling awal yang ia lakukan adalah memperbaiki ''kaca pecah'' berupa para pemabuk, gelandangan, dan orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Hasilnya adalah turunnya kriminalitas New York pada 1990-an.
Bratton berhasil menjadikan New York sebagai kota besar teraman di Amerika Serikat. Lalu, pada 3 Oktober 2002, ia menjadi kepala Departemen Polisi Los Angeles (LAPD). Dan, dalam waktu kurang dari empat tahun, dengan membenahi ''kaca-kaca pecah'', ia berhasil menjadikan Los Angeles lebih aman. Angka pencurian merosot 25,1 persen, angka kekerasan turun 28,5 persen.
PT Kereta Api mulai menangani kaca pecah berupa orang-orang yang naik ke atap KRL dengan menyemprot mereka dengan zat pewarna makanan. Kalau tindakan ini konsisten, orang-orang akan sadar bahwa naik kereta ada aturannya. Mereka harus beli tiket, mereka tak boleh menaiki atap. Mereka juga harus diyakinkan bahwa tak ada petugas KA yang bisa disuap.
Banyak kaca pecah di sekitar kita. Bukan cuma pengendara yang menyerobot jalur busway. Ada pula orang-orang yang tak mau antre di bank atau stasiun, sepeda motor yang naik ke trotoar, pelanggar lampu merah, perokok di tempat umum, dan sejenisnya. Kita bisa membenahi kaca-kaca pecah itu. Kalau polisi atau pemprov tak mau, mari mulai dari diri kita. [Republika]
No comments:
Post a Comment