Separayor dan industri otomotif
Kontroversi keberadaan busway mencuat lagi. Kali ini malah datang dari pihak kepolisian. Mereka menilai keberadaan separator busway menjadi salah satu sumber kecelakaan lalu lintas di Jakarta. Aneh memang, kenapa wacana ini mengemuka dari mulut jajaran kepolisian yang menjadi bagian dari musyawarah pimpinan daerah (muspida).
Tiga tahun lalu, dipastikan unsur-unsur muspida: gubernur, polisi dan kodam sudah duduk rembuk satu meja membahas rencana pembenahan kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas di jalan Jakarta. Pastinya, polisi juga ambil bagian dalam menentukan kebijakan publik yang kini sudah berjalan.
“Rencana pembangunan busway termasuk dampaknya sudah dibicarakan sejak tahun 2004 dan tidak ada masalah. Kenapa tiba-tiba sekarang polisi mempersoalkan keberadaan separator busway. Polisi terlalu mengada-ada,” kata Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Jakarta Ahmad Safrudin saat dihubungi SH, Kamis (13/12).
Sangat disayangkan apabila pemerintah mengiyakan anjuran pembongkaran separator busway. Tindakan tersebut akan mengacaukan program pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kemacetan di Jakarta.
Mengatasi masalah kemacetan di Jakarta tidak mudah. Tidak sekadar mengandalkan transportasi massal yang sudah ada. Sebab, yang ada selama ini tidak mempunyai konsep sebagai angkutan publik, dengan kata lain hanya “kejar setoran” dari ongkos yang ditarik dari penumpang.
Safrudin mengindikasikan ada maksud tertentu di balik protes keras tersebut. “Saya duga ada kerja sama aparat kepolisian dengan industri otomotif. Kemungkinan ini menjadi alasan kuat munculnya penolakan jajaran kepolisian terhadap busway,” ujarnya.
Busway adalah alasan pemerintah membatasi jumlah kendaraan pribadi di Jakarta. Keberadaan busway mengakibatkan ruang gerak pertambahan dan pembangunan otomotif di Jakarta semakin sempit. Pengusaha jelas semakin dirugikan.
Staf Peneliti Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perencanaan Wilayah IPB yang sekaligus dosen planologi di Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengungkapkan bahwa proyek pembangunan separator busway sama sekali tidak melalui tinjauan amdal dan Rencana Pemantau Lapangan dan Rencana Kelola Lapangan (RPLRKL).
Apabila ada kajian amdal, seharusnya tidak terjadi protes yang dikemukakan seperti yang mencuat saat ini. Sebelum pembangunan dimulai seharusnya diketahui akibat dan dampak penggunaan jalur yang ideal, separator atau red carpet. “Setiap dampak harusnya sudah dilakukan kajian saat ini, sehingga ketika selesai dibangun diketahui apa saja risiko yang terjadi,” ujar Yayat.
Yayat mengakui jika pemerintah membongkar separator-separotor itu, akan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Untuk mengurangi tingkat kecelakaan, harus ada kerja sama yang baik antara aparat kepolisian dan petugas Dinas Perhubungan. Selama proses pembangunan separator dikerahkan petugas di lapangan agar dapat memantau pelaksanaan busway. “Pengawasannya lemah. Dishubnya turun tangan dong,” kata Yayat.
Di samping itu, yang harus dilakukan adalah pembangunan marka dan rambu-rambu jalan. Dibutuhkan rambu-rambu peringatan dengan huruf besar agar dapat dilihat jelas oleh pengguna jalan, seperti “Hati-hati Kurangi Kecepatan” atau “Hati-hati di Sepanjang Jalan Ini Ada Separator Busway”. Rambu ini harus dipasang dengan jelas dengan palang yang besar.
Separator busway memang dirancang untuk kendaraan ukuran besar seperti bus dengan rata-rata kecepatan tinggi atau out service antara 60 km per jam hingga 80 km per jam.
Yayat mengatakan, yang menjadi penyebab munculnya kecelakaan di sekitar separator adalah mengenai konsep pembangunan yang sampai saat ini belum selesai juga. “Percepat pembangunan busway,” tegasnya.
Safrudin mengemukakan hal serupa. Solusi yang dapat dilakukan sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan kepolisian adalah upaya antisipasi kecelakaan, yaitu menyediakan marka jalan yang jelas kepada pengguna jalan.
Pembangunan separator di beberapa jalur baru, diharapkan cepat diselesaikan sehingga transportasi publik ini dapat dimanfaatkan secepatnya. Pengguna kendaraan pribadi diharapkan segera beralih ke transportasi publik.
Safrudin menyebutkan, tentunya penggunaan busway harus diiringi dengan pelayanan terbaik dengan cara menghentikan semua manipulasi dan pembohongan terhadap publik seperti janji memberikan pelayanan maksimal seperti sistem tiket menggunakan standar Eropa, atau penggunaan SPEK busway. [Sinar Harapan]n
No comments:
Post a Comment