7.12.07

Di lapangan beda dengan kebijakan

Buka Tutup Busway Ciptakan Blunder

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta mempersilahkan kendaraan umum masuk jalur busway menuai kritik pedas. Pasalnya, dengan model buka tutup jalur busway, bus TransJakarta jadi ikut macet hingga menyebabkan penumpukan calon penumpang di halte.

"Itu tanda gubernurnya nggak tegas," seru Indah Suksmaningsih dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kepada Indo Pos, kemarin.

Perempuan yang pernah menjadi anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) periode pertama ini menganggap, kebijakan buka-tutup jalur busway justru menjadi blunder. Masalah ketepatan waktu misalnya, menurut Indah, akibat kebijakan baru ini dampaknya sudah bisa dirasakan dibeberapa koridor busway. "Kebijakan tersebut bukan solusi. Justru menciptakan masalah baru," ungkapnya.

Seperti diberitakan, dalam upaya mengurai kemacetan, Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Polda Metro Jaya membolehkan kendaraan umum masuk jalur busway. Keleluasaan ini berlaku hanya di beberapa titik macet terutama di jalur busway yang sedang mengalami perbaikan.

Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemberian ruang gerak ini benar-benar dimanfaatkan oleh kebanyakan pemilik kendaraan pribadi dan umum. Selain di jalur busway yang dibolehkan untuk kendaraan umum, banyak kendaraan nekat menerobos.

Seperti pantauan Indo Pos di koridor IV Ragunan-Kampung Melayu misalnya. Bersamaan dengan turunnya hujan lebat kemarin, ratusan kendaraan pribadi nampak memadati jalur busway disepanjang Jalan Mampang Prapatan. Akibatnya, jarak tempuh bus TransJakarta Ragunan-Kampung Melayu yang biasanya kurang dari satu jam, kemarin harus ditempuh hingga dua jam.

Kritik tajam juga dilontarkan pakar transportasi Univeritas Trisakti Fransciscus Trisbiantara. Akademisi yang juga pernah satu ruang kerja bersama Indah di DTKJ ini berpendapat, apapun resikonya jalur busway harus tetap tertutup untuk umum. Di luar sarana-prasarana lain, satu-satunya daya tarik busway menurut Trisbiantara adalah kecepatan tempuhnya. "Kalau dibuka untuk umum terus ngapain bangun busway," kritiknya.

Disinggung soal rencana kenaikan tarif busway dari Rp 3500 menjadi Rp 5000, kedua pakar transportasi ini tegas menolak. Menurut Indah, kemungkinan tarif dinaikkan sebenarnya bisa saja dilakukan, dengan syarat, jumlah headway terlebih dulu ditambah sehingga jarak tempuhnya bisa cukup lima menit saja dari satu pemberhentian ke pemberhentian lainnya.

Terkait perkembangan busway yang lambat, Indah mengaku masih sakit hati dengan institusi Dinas Perhubungan. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan menurut Indah, Dishub selalu menggembar-gemborkan bahwa perlu waktu minimal 20 tahun untuk melihat efektifitas kerja busway. "Waktu 20 tahun itu dulu di Bogota. Sekarang Dishub sebenarnya kan cuma nyontek aja, mestinya waktu lima tahun cukup," paparnya.

Fransciscus Trisbiantara menilai, manajemen pengelolaan busway saat ini masih banyak bolongnya. Tanpa memerinci seperti apa rasionalisasinya, Ketua Kajian Transportasi Universitas Trisakti ini menyebut angka cashflow busway saat ini mencapai Rp 0,5 Triliun per tahunnya.

Penyebab utamanya menurut Trisbiantara adalah manajemen pengelolaan yang masih sangat tradisional. Sistem ticketing yang masih menggunakan kertas sebagai alat bukti bayar sangat berpotensi dimanipulasi.

Sistem operasional lainnya, dimana alat pantau utama busway menggunakan radio panggil, menurut Tris, juga sangat ketinggalan. "Saya kira manajemen busway harus dirombak total. Kalau mau maju, setiap bus (armada busway-red) harus punya GPS-nya (global positioning system)," kata pria yang mengaku pernah 11 tahun tinggal di Belanda ini.

Dia menjelaskan, dengan GPS operator busway bisa mengetahui posisi bus sehingga bisa mengatur kecepatannya, sekaligus memantau berapa jumlah penumpangnya. "Dengan menggunakan alat elektronik ini, armada busway di Bogota dengan cepat bisa mengetahui lokasi armadanya," tambahnya. (did)

No comments: