18.10.07

Polah pola transportasi makro Jakarta 2

Saya cenderung mengintepretasikan kata "Polah" disini dalam konteks yang positif, yaitu bermakna tingkah laku, gerakan atau perbuatan yang tentunya melibatkan unsur aktivitas atau suatu kegiatan pelaksanaan yang seringkali kita kenal juga dengan istilah "implementasi".

Kata "implementable" (dapat diimplementasikan) tampaknya merupakan salah satu unsur utama dari beberapa unsur lainnya yang mendasari pengembangan Pola Transportasi Makro.
Ada baiknya kita lihat peta buta yang saya cantumkan link-nya disini untuk kita simak bersama2, mudah2an peta tsb bisa self explanatory, sehingga tidak memerlukan uraian yang panjang lebar.

Kita tentu berharap apabila "Era Angkutan Umum Massal" nantinya akan benar2 bisa terwujud di kota tercinta ini, DKI Jakarta tampaknya akan terlayani oleh 30 (tiga puluh) jalur angkutan massal guna menggulirkan kita semua bersama jutaan perjalanan penduduk kota lainnya, yang beserta jaringan feeder system-nya akan mampu menghubungkan seluruh sentra2 primer & sekunder, pusat2 aktivitas kota dan pemukiman2 penduduk yang tersebar luas di seantero penjuru kota.
For a quick sum up, terlihat pada peta buta tersebut, ada 7 (tujuh) koridor angkutan massal yang menohok ke pusat kota dari wilayah selatan, ada 8 (delapan) jalur yang menusuk dari wilayah timur, dan 4 (empat) jalur yang membujur dari barat. Dengan demikian, masing-masing wilayah, baik dari barat, timur, maupun selatan tidak hanya akan dilayani oleh 1 atau 2 koridor saja, melainkan dilayani oleh banyak koridor yang jumlahnya linier dengan besarnya permintaan perjalanan, besarnya intensitas penduduk di masing-masing wilayah terkait, interaksi dari beragam jenis aktivitas kota, prasarana eksisting, disamping karakteristik dari para pelaku perjalanan (O/D, desire lines, etc), foreseeable future developments, dan last but not least, arah pengembangan kota sebagaimana diamanatkan pada RUTR.
Koneksi timur-barat setidaknya akan terlayani oleh 12 koridor, dan apabila kesamaan visi dan kordinasi dengan pemda kota penyangga DKI telah semakin baik, koridor2 radial ini pada gilirannya dapat diekspansi sampai menyentuh jantung2 kota penyangga Bodetabekjur yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan kawasan aglomerasi dan konurbasi megapolitan.

Jalur-jalur sisanya (yang justru jumlahnya mayoritas) diperuntukkan guna memberikan perkuatan yang masif bagi daya dukung mobilitas dan aksesibilitas area pusat kota, yang sama2 kita ketahui, saat ini memiliki kapasitas dukungan infrastruktur jalan raya yang terbatas dan sulit untuk dikembangkan sehubungan dengan tingginya intensitas area yang sudah terbangun (built up area) dan terbatasnya lahan yang tersedia, sementara mobilitas perjalanan penduduk justru terkonsentrasi di wilayah ini. Jalur lingkar monorel (green line) kelihatannya merupakan salah satu diantara jalur2 yang ditujukan sebagai upaya perkuatan terhadap aksesibilitas dan mobilitas pusat kota.

Peta Pengembangan Angkutan Massal DKI Jakarta:
Terlihat juga bahwa konfigurasi jaringan tidak semata2 menerapkan sistem radial dan grid saja, melainkan juga mengadopsi konsep lingkar (ring/loop).
Jalur2 lingkar ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan melalui upaya minimasi terhadap jumlah transfer yang harus dilakukan oleh para penumpang, dan terutama guna mengurangi beban (loading) tinggi yang pada umumnya dialami oleh jalur2 yang berada di area pusat kota. Sedikit ilustrasi, absennya koridor lingkar pada jaringan Tokyo Subway, misalnya, telah mengakibatkan beban yang sangat signifikan pada segmen2 subway lines yang berada di area pusat kota (Shinjuku, Ginza, dll), bahkan kapasitas subway yang begitu besar disana sudah tidak lagi mampu menampung arus penumpangnya, sehingga para penumpang bahkan harus dipaksa dorong masuk oleh para petugas agar pintu kereta bisa tertutup. (funny video untuk crowded subway di Jepang bisa di download di internet, salah satunya di www.guzer.com). Pengamatan saya ketika sempat singgah disana menyimpulkan bahwa begitu banyak perjalanan orang yang terpaksa menggunakan segmen2 subway di pusat kota (meskipun mereka tidak bertujuan ke area tsb) semata2 agar mereka dapat melakukan transfer ke jalur2 lain sesuai tujuannya. Beban yang tidak perlu ini sesungguhnya bisa direduksi secara signifikan dengan menerapkan sistem jalur lingkar (loop line), seperti halnya yang diterapkan pada Seoul Subway.
Dengan tingkat konurbasi dan jumlah penduduk yang hampir sama dengan Tokyo, kota Seoul mengalami kondisi yang jauh lebih baik dalam hal kemacetan lalu lintas dan kepadatan di system subway mereka.

Kembali ke konteks PTM, koridor lingkar terdalam tampaknya diharapkan bisa dilayani oleh railway loop line, khususnya apabila integrasi kedua sistem tersebut nantinya sudah dapat berjalan dengan baik. Seperti halnya konfigurasi jaringan yang diterapkan di Sydney-Aussie atau KL-Malaysia, monorel lingkar green line diharapkan dapat melayani mobilitas dan interaksi aktivitas di area business segitiga emas DKI. Pada gilirannya, setelah koridor busway "Pluit - Tanjung Priok" nantinya telah terbangun, maka sistem lingkar tengah akan dapat terlayani oleh sistem busway.

Mengingat sifat dan karakteristiknya yang ber-rute panjang, ber-demand sedang, dan tidak terlalu dikaitkan pada basis Asal-Tujuan perjalanan (O/D), maka untuk mewujudkan Koridor lingkar tengah ini, tidak dapat tidak, memerlukan rintisan awal berupa pengembangan koridor yang berbasiskan O/D dan dilakukan secara bertahap, yaitu dengan terlebih dahulu membangun koridor2 yang membujur sejajar dengan jalan tol lingkar dalam kota, termasuk koridor Pluit-Tj.Priok, koridor 9 (Pinang Ranti - Pluit) dan koridor 10 (Cililitan - Tj. Priok). Setelah koridor2 tersebut terwujud baru diterapkan pola operasional trayek lingkar. Rintisan serupa di masa mendatang dapat diterapkan pada koridor lingkar luar yang berimpit dengan Jalan Tol Lingkar Luar DKI (JORR) yang memiliki rute jauh lebih panjang.

Alokasi koridor (route allocations) pada PTM terutama didasarkan pada prediksi permintaan penumpang disamping aspek lainnya yang memungkinkan diimplementasikannya sistem tersebut secara realistis (realistically implementable), termasuk disini minimalisasi kebutuhan pembebasan lahan yang pada umumnya membutuhkan waktu yang panjang. Cost effectiveness dari sistem yang diadopsi tentu merupakan target bidikan yang paling utama, terlebih bagi negara yang tidak makmur seperti Indonesia, oleh karena itu sistem busway telah menjadi primadona terpilih yang mampu menjawab tuntuan ini.

Namun demikian, proyek2 yang memang sudah komit (Committed Projects), seperti MRT/Subway & Monorel, tentunya juga merupakan faktor yang tidak dapat dihindarkan harus dipertimbangkan oleh para perencana dalam mereka menyusun dan mengevaluasi suatu perencanaan makro. Yang terpenting dari PTM, menurut hemat saya, adalah bahwa alokasi koridor sesuai kebutuhan jaringan transportasi massal yang komprehensif, sustainable dan saling komplementer sudah ditapakkan menjadi pola yang secara nyata akan diimplementasikan, sedangkan opsi dari sistem2 angkutan massal yang ada pada prinsipnya dapat saling mensubstitusi satu sama lain (dengan sedikit network adjustment, tentunya). In case, on certain circumstance, Monorail dan Subway gagal dibangun (misalnya karena collapse-nya investor atau karena kesulitan pendanaan pemerintah, atau karena adanya reprioritasi pendanaan pemerintah ke sektor lain yang lebih membutuhkan, maka busway tentu akan sangat mampu menjadi subtitusinya.

Arahan Pengembangan Jaringan Jalan Raya DKI:
Total system capacity dari konfigurasi jaringan PTM as it stands, diharapkan mampu menggulirkan sekitar 9,8 juta perjalanan orang per harinya (hampir 50% dari total trips DKI), dan magnitude ini sesungguhnya dapat ditingkatkan cukup signifikan apabila overtaking lanes, konsep multi bi-articulated bus convoy, bus only flyovers, fully segregated (dedicated) busway telah diterapkan pada semua koridor busway. Total kapasitas sistem juga dapat semakin lebih ditingkatkan lagi apabila jabotabek railway yang ada bisa direvitalisasi dan difungsikan menjadi urban mass transit system yang berkapasitas besar dan terintegrasi baik dengan sistem angkutan massal lainnya. Hal yang terakhir ini tentu memerlukan dibangunnya main integrated station guna memisahkan antara angkutan KA kota dengan angkutan KA antar kota agar tidak bercampur baur satu sama lain dan kapasitas sistem menjadi tidak terdegradasi seperti yang kini terjadi.

Link2 di bawah ini mungkin juga bermanfaat untuk kita simak:

Pengembangan Sistem Jaringan Jalan Tol DKI:
Tentu terbesit pertanyaan di hati rekan2 milis semua setelah melihat link2 diatas, Do we still need new road developments? Jawaban lugasnya adalah "Ya". Why? Karena sebagian masyarakat yang menduduki sisi teratas dari piramida segitiga penduduk berdasarkan golongan pendapatan ("kaum the have") memang nyata2 berada di tengah2 kita semua, dan mereka2 ini tidak akan mungkin untuk dipaksakan mengorbankan privacy & security-nya agar mau menggunakan angkutan umum yang harus berbagi dengan masyarakat banyak. Mereka bahkan rela untuk mengeluarkan dana ratusan juta, bahkan milyaran rupiah demi menjaga privacy & security (juga pride) mereka.

Pengembangan Kebijakan Pendukung (TDM)
Di sisi supply infrastruktur jalan raya, ironisnya, kondisi DKI masih mengalami defisiensi yang cukup tinggi apabila kita bandingkan standard kota2 international yang berkisar 15-20% dari luas lahan kota. Dengan total panjang jalan 1.291 km, sebagai contoh, densitas jalan raya di wilayah Jakarta Barat, barulah mencapai 5,9% dari total luas wilayahnya. Mungkin itu pula yang menjadi penyebab sulitnya para perencana PTM untuk menorehkan garis lintasan busway yang dapat menapak dengan baik di wilayah Jakarta Barat, kecuali koridor 3 dan koridor 8. Ironisnya lagi, dengan luas wilayah yang no.2 terkecil setelah Jakarta Pusat, tampaknya Jakarta Barat menaungi jumlah penduduk yang no.2 tertinggi setelah Jakarta Timur dan memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi, bahkan dengan tingkat pertumbuhan yang tertinggi pula. Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan sama2 tidak kalah memprihatinkan juga, dimana proporsi ini secara berurutan hanya mencapai 6,4%, 6,4% dan 7,8% dari luas wilayahnya masing2. Hanya Jakarta Pusat-lah yang relatif jauh lebih baik dan mampu membukukan posisinya pada angka 14,1%, namun angka inipun tampaknya sulit ditingkatkan karena terbatasnya lahan sehubungan dengan tingginya intensitas built up area.
Dengan demikian pengembangan jaringan jalan tetap masih diperlukan, sepanjang visinya jelas, yaitu:

1) untuk melayani golongan teratas segitiga piramida pendapatan, dan
2) dan untuk mengembangkan jaringan busway di masa mendatang.

Guna menjamin bahwa hanya golongan "the have" ini saja yang nantinya akan menggunakan jalan raya dengan kendaraan mewahnya di jam2 sibuk, maka perlu diterapkan toll charging scheme yang tinggi dan penerapan konsep2 TDM, termasuk ERP, biaya parkir tinggi, pajak progresif, dll. Revenue yang diperoleh dari penerapan TDM ini bisa digunakan untuk melakukan cross-subsidy terhadap busway, sehingga masyarakat golongan menengah kebawah akan memperoleh pelayanan yang juga prima, namun dengan tarif yang terjangkau (murah), dan cukup menyimpan kendaraan pribadinya digarasi rumah pada hari2 sibuk. Pada hari libur dan kondisi lalu lintas yang ringan, tentu mereka tetap memperoleh kesempatan untuk menikmati kendaraan pribadinya. Dengan demikian pemerintah akan berdiri diatas semua golongan masyarakat, tanpa kecuali.

Sebelas tahun yang lalu, Studi berskala besar, Jakarta Urban Transport Short Term Improvement (JUTSI) 1996, mengindikasikan hal yang serupa diatas, dimana jaringan busway masa datang diharapkan dapat mencakup puluhan koridor dengan total panjang sekurang2nya 325 km. Pengembangan koridor2 ini perlu diawali terlebih dahulu dengan pengembangan jaringan infrastruktur jalan yang cukup masif karena minimnya kondisi prasarana eksisting.

Insya Allah uraian2 diatas bermanfaat untuk kita semua. Sekali lagi Minal Aidin Wal Fa Idzin.

Salam - Deddy Arief di suaratransjkarta

Catatan kecil utk Pak Dave: Qua demand, koridor 10 melintasi simpul perjalanan antar kota (cililitan, cawang, kalimalang, sta.jatinegara, tj.priok), melalui cukup banyak trip generators/producers, termasuk perumahan Cipinang Cempedak, Cipinang, Utan Kayu, Rawamangun, Cempaka Putih, Rawasari, Sunter, dll). Begitu pula dengan trip attractors, seperti Pusat Grosir Cililitan, Kelapa Gading Square, Carefour, ITC Cempaka Mas, Mall Artha Gading, perguruan2 tinggi dan perkantoran swasta dan pemerintah.

Ketidak-seimbangan arus penumpang antar arah pergerakan yang berlawanan (variasi arah) merupakan kondisi umum yang selalu terjadi pada hampir seluruh koridor radial, kecuali pada koridor lingkar dan koridor pusat kota.

Namun seperti halnya, arus mudik di hari raya lebaran yang tingkat variasi arahnya sangat tinggi, tidaklah berarti bahwa pemerintah dapat serta merta mengabaikan kewajibannya untuk menyediakan pelayanan yang merupakan kebutuhan masyarakat tersebut. Saya setuju bahwa operasionalnya tentu memerlukan kecermatan agar tidak terjadi deficit yg signifikan.

Keseimbangan arus antar arah akan tercipta apabila koridor ini nantinya telah sepenuhnya berfungsi sebagai koridor lingkar.

No comments: