23.7.07

Di manakah mereka?

Website KNKT kadaluwarsa, tidak ada transportasi darat...

Komisi Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 105/1999.
Komisi ini bertanggung jawab untuk melakukan investigasi atas kecelakaan transportasi baik darat, laut maupun udara kemudian memberikan usulan-usulan perbaikan agar kecelakaan yang sama tidak lagi terjadi di masa depan.
Komisi ini berada di bawah Menteri Perhubungan.
Komisi ini beranggotakan lima orang yang ditunjuk oleh Presiden untuk masa lima tahun.
KNKT sekarang ini diketuai oleh Setyo Rahardjo. [wikipedia]

KNKT: Ketika Nyawa Kembali Terenggut
(Menggugat Kinerja Komite Nasional Keselamatan Transportasi)

WASPADA Online | 20 Maret 2007

Oleh Djoko Sugiarno

Komisi Nasional Keselamatan Transportasi kembali sibuk ketika Boeing 737-400 dengan nomor penerbangan GA 200 gagal mendarat dan terbakar habis di sawah sekitar Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Melihat leburnya badan pesawat setelah terbakar, kita tidak seakan percaya dari 133 nyawa (penumpang dan awak kabin) di dalamnya, hanya 22 orang saja yang meninggal. Padahal konon, selain karena hard landing, badan pesawat itu mengalami sliding di lapangan rumput, menerabas parit pengaman, menerjang pagar kawat, melintasi jalan raya dua arus, meratakan kebun kacang penduduk dan baru berhenti ketika menabrak tanggul setinggi 3 meter.

Di tempat terbakarnya, semua roda sudah tercecer, kedua mesinnya juga terlepas. Dapat dibayangkan betapa kerja keras Kapten Marwoto Komar ketika mengendalikan gerak liar burung besi yang tanpa kendali itu. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Kapten Marwoto pantas diacungi jempol atas keputusannya mendarat.

Menuduh Pilot
Paling mudah adalah membuat tuduhan bahwa semua ini adalah salah pilotnya atau populer dengan istilah human error. Apalagi jika merujuk dari kesaksian beberapa penumpang yang selamat yang menyatakan bahwa cuaca cukup cerah, dan selama penerbangan tidak ada insiden apa pun. Konon Boeing 737-400 GA 200 itu juga masih sangat layak terbang. Tetapi, sebelum black box dibaca, belumlah dapat ditegakkan diagnosis penyebab tragedi itu. Jadi apapun statement yang mengiringi tragedi itu hanya sebatas dugaan atau hipotesis yang terangkai dari berbagai informasi dari penumpang selamat dan kesaksian mereka yang kebetulan berada di sekitar lokasi.

Ada sebagian pengamat yang menyatakan sebaiknya Kapten Marwoto tidak melanjutkan pendaratan, tetapi kembali ke angkasa untuk memutar pesawat dan melakukan pendaratan ulang. Kalaulah langkah ini yang dilakukan, dan ternyata kemudian ada kendala non-teknis (baca: sabotase) dan pesawat meledak di udara, tentu bukan 20-an orang korban meninggal, bisa jadi lebih, apalagi jika reruntuhannya menimpa daerah padat penduduk.
Bagaimanapun juga, adalah tidak bijaksana mengarahkan kesalahan hanya kepada seorang (pilot) saja. Semua pihak harus menegakkan praduga tak bersalah dan membebaskan Kapten Marwoto dari tekanan psikologis yang sungguh tidak ringan. Tidak bijaksana jika pihak kepolisian, KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), pihak Garuda, korban dan keluarganya serta masyarakat dan pengamat jika hanya mengarahkan kesalahan pada seorang Kapten Marwoto.

KNKT
Beruntung Indonesia sudah memiliki sebuah badan yang (seharusnya) bisa menjamin keselamatan transportasi yakni KNKT. Sesuai dengan namanya, komite ini bertugas untuk menyelamatkan moda transportasi (apa pun) dari ancaman kecelakaan akibat faktor teknis (mesin dan manusianya). KNKT jadi popular seiring dengan semakin kerapnya kecelakaan moda transportasi terjadi. Kapal laut tenggelam, kereta api bertumbangan dan tabrakan, pesawat terbang berjatuhan dan KNKT semakin popular.
Aneh. Setelah kecelakaan, biasanya pejabat KNKT muncul di televisi memberikan beberapa statement yang tidak informatif. Artinya, kalau pun KNKT tidak bicara, masyarakat juga tetap akan menerima informasi itu. Kalau hanya memaparkan fakta dan sedikit analisis umum, serahkan saja kepada wartawan.

Sampai sejauh ini, tak ada langkah drastis yang dilakukan KNKT. Kelihatannya komite ini kena sindroma komisi-komisi, atau tim-tim pencari fakta, atau badan-badan dadakan yang dibentuk pemerintah dalam menyikapi kasus tertentu.
Seharusnya KNKT memiliki sederet ahli yang bisa mengasup data dan informasi akurat kepada publik, sehingga masyarakat ikut terdi-dik dalam menyikapi bencana. Jangan seperti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang bertugas menyehatkan perbankan, tetapi hasilnya adalah kasus korupsi yang dilakukannya sendiri sementara bank bank tidak kunjung sehat. Atau seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga juga melakukan korupsi. Kebiasaan pemerintah membentuk badan-badan atau komite atau tim atau apapun namanya hanya untuk menyikapi kejadian insidentil harus segera diakhiri.
Kalau KNKT sudah terlanjur terbentuk, harus diberi target kerja yang jelas. Jangan hanya bicara hal-hal umum. Itu mah tak beda dengan wartawan. Bahkan dalam beberapa aspek, informasi dari kalangan pers bisa jauh lebih aktual dan bermakna.
Menyikapi beruntunnya kecelakaan transportasi, seharusnya KNKT sudah bisa merilis informasi yang edukatif kepada publik, sehingga tidak terjadi kegalauan atau grey area yang membingungkan masyarakat.

Ketika Nyawa Kembali Terenggut
Kalau KNKT bekerja baik, barangkali sudah ada beberapa langkah kebijakan yang direkomendasikannya kepada pemerintah, seperti mengecek ulang semua pesawat terbang komersial, kapal-kapal laut, kereta api atau moda angkutan lainnya. Lebih bagus lagi jika KNKT memiliki kewenangan untuk turut menentukan dalam menolak atau memberi ijin operasional perusahaan angkutan komersial. Tidak seperti sekarang, di mana para petinggi KNKT malah ikut-ikutan terperangah menatap tragedi, tanpa mampu mengoreksi diri, sudah seberapa jauh keterlibatannya dalam menyelamatkan transportasi Indonesia.

Lebih sedih lagi jika perannya tidak muncul, atau kalaupun muncul, sekedar memberi komentar yang umum-umum saja, atau hanya seremonial menjenguk korban luka di rumah sakit dan memberi santunan ala kadarnya. Jangan ikuti kinerja Menteri Perhubungan yang hanya bisa membentuk tim pencari fakta yang dengannya dia bisa melemparkan tanggung jawab. Kalau kemudian tim ini tidak bekerja efektif, maka akan dibentuk lagi tim pengawas kerja tim pencari fakta. Begitu terus sampai masyarakat bosan dan lupa dengan kesedihannya.
Sementara itu, gaji tetap jalan, kecelakaan tetap terjadi dan kambing hitampun jadi laku karena dicari-cari.

Sungguh, yang ditunggu masyarakat dari KNKT adalah kinerjanya dalam menyelamatkan transportasi, bukan omongannya dalam talk show di televisi. Atau paling tidak, jelaskan kepada publik apa beban tugas dan tanggung jawab KNKT.
Kalau hanya sekedar berkomentar, lebih baik dibubarkan saja KNKT itu. Sebagai gantinya, tingkatkan kinerja Dirjen Perhubungan Darat Laut dan Udara. Hobi para menteri membentuk bermacam komisi atau tim harus dihentikan segera. Kalaupun merasa terpaksa harus membentuk tim, rumuskan dulu tugas dan tanggung jawabnya, kemudian dipilih personil yang dinilai mampu mengejawantahkan tanggungjawab itu.

Bagi Presiden, dalam memilih menteri, jangan hanya karena bargaining politik. Pak Hatta itu khan mantan Menristek. Kok bisa dalam waktu singkat diserahi tanggung jawab Menhub, di mana jutaan nyawa penumpang 'ada' di tangannya. Kalaupun harus membalas utang budi kepada parpol tertentu, jangan tinggalkan azas kepatutan personil dengan beban tugas dan tanggung jawabnya. Kursi menteri bukanlah komoditas yang boleh diperjualbelikan dengan parpol. Tetapi ada sederet tanggung jawab moral yang menyertainya, yang kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Presiden, kepada rakyat dan kepada Tuhan. Kalau hobi bikin komisi-komisian ini masih diterus-teruskan, maka jadilah KNKT, yang baru akan populer Ketika Nyawa Kembali Terenggut.

* Penulis adalah Ketua Divisi Education Watch IPBI Dan Wasekjen PINWAJA, joko_sugiarno@ yahoo.com

Potret Buram Transportasi Republik | Kompas 11 Desember 2004

DALAM waktu 24 jam, tiga pesawat tergelincir, yakni Lion Air yang menewaskan 26 penumpang di Bandar Udara Adisumarmo, Solo, Selasa (30/11) pukul 18.15; pesawat Bouraq pukul 12.56; dan pesawat F-16 Rabu (1/12) pukul 08.45, di Makassar. Sebelumnya, Sabtu (27/11), Kereta Api Kamandanu menyambar mobil Kijang di perlintasan KA Padaharja, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, 11 orang tewas. Hari Minggu (21/11) sebuah kapal motor yang sarat dengan penumpang tenggelam di perairan dekat Pelabuhan Tual, Maluku Tenggara, enam penumpangnya tewas.

SERANGKAIAN musibah ini hanyalah puncak gunung es dari kisruhnya manajemen transportasi, baik di darat, laut, maupun udara. Peristiwa ini merupakan symptom atau dampak dari persoalan yang lebih luas. Lagi pula kecelakaan tidak pernah disebabkan faktor tunggal yang berdiri sendiri. Di belakangnya masih banyak peristiwa kecelakaan yang menandakan keselamatan transportasi di republik ini telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Malah, menurut catatan Indonesian Railway Watch, kecelakaan kereta api (KA) saja selama tahun 1990-2003 telah menewaskan 2.771 orang!

Kecelakaan yang dialami oleh Lion Air terjadi lebih dari 400 meter di ujung landasan pacu. Data menunjukkan, pada umumnya kecelakaan pesawat udara terjadi di bandar udara dan sekitarnya. Potensi kecelakaan pesawat pada saat lepas landas sekitar 13-19 persen, sedangkan pada saat mendarat yang diawali pendekatan potensi kecelakaannya mencapai 81-87 persen. "Karena itu, pada saat pendaratan selalu diingatkan oleh awak pesawat agar penumpang kembali ke kursi, memakai sabuk pengaman, dan menegakkan kursi," ungkap pengamat penerbangan, Kamis Martono.

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, kecelakaan pesawat udara terjadi secara beruntun di republik ini. Musibah ini diawali dengan kecelakaan pesawat milik Mandala Airlines di Ambon yang menewaskan 70 penumpang, kemudian disusul dengan jatuhnya pesawat udara milik perusahaan penerbangan Merpati Nusantara Airlines jenis CN-235 di Jawa Barat dan dilanjutkan dengan tergelincirnya pesawat udara jenis DC-9 milik Garuda Indonesia di Yogyakarta.

Berdasarkan data kecelakaan tersebut, berbagai usaha telah dilakukan oleh organisasi penerbangan sipil internasional, asosiasi perusahaan penerbangan, maupun pemerintah. Selain melakukan reevaluasi kondisi bandara, pengecekan rutin kondisi pesawat, pengecekan berkala kesehatan pilot, dan perbaikan sistem navigasi sudah dilakukan. "Tetapi, kunci yang paling penting di sini adalah pematuhan prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan. Jika semua dijalankan, kecelakaan bisa ditekan," ujar Kamis Martono.

KESELAMATAN transportasi yang sangat memprihatinkan itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut hingga memakan korban jiwa para pengguna jasa transportasi. Salah satunya perlu dibentuk Komisi Keselamatan Transportasi Nasional yang independen, seperti di negara-negara maju, Amerika Serikat (AS) dan Kanada.

Di AS, transportasi ditangani oleh Department of Transport (DOT), sedangkan regulasinya dilakukan oleh Federal Aviation Administration. Sementara itu, Department of Commerce (DOC) menangani masalah ekonomi transportasi, dilaksanakan oleh Civil Aeronautic Board dan transportasi nasional. Semua badan itu bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang (UU).

"Komisi Keselamatan Transportasi Nasional merupakan lembaga independen yang dibentuk UU. Komisi ini tak dibiayai oleh anggaran Departemen Perhubungan, apalagi perusahaan penerbangan yang mengalami kecelakaan pesawat udara. Ini dimaksudkan untuk menjamin independensi serta mencegah kolusi dan campur tangan hasil investigasi," ujarnya.

Dalam penyidikan kecelakaan pesawat, perlu perubahan paradigma investigasi terhadap perusahaan penerbangan yang pesawatnya mengalami musibah. Hasil penyidikan lembaga ini bukan bahan untuk menunjuk pihak siapa yang salah. Hasil penyidikan lembaga ini berperan menjaga agar kasus kecelakaan seperti itu tidak terulang kembali.

Kisruhnya manajemen transportasi secara kasatmata juga terlihat pada perangkutan darat. Hal ini ditandai dengan terus meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Kecelakaan selama arus mudik, misalnya ( H-7 sampai H+6 Lebaran 2004) meningkat hampir 100 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2003. Menurut hasil evaluasi Dinas Lalu Lintas Jalan Raya, tahun ini jumlah kecelakaan mencapai 100 kasus, sedangkan tahun lalu 58 kasus.

Potret buram transportasi juga bisa dilihat sehari-hari pada kemacetan arus lalu lintas di Jakarta. Semua ini terutama disebabkan timpangnya supply- demand, kapasitas jalan tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang terus bertambah. Malah planolog Yayat Supriatna memperkirakan, tahun 2014 ibu kota republik ini akan mengalami kelumpuhan total.

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian dari Sistem Perencanaan Transportasi Makro di Jakarta, proyeksi kondisi kelumpuhan total akan terjadi jika penggunaan kendaraan pribadi, khususnya roda empat, tidak berkurang.

Pada saat itu jumlah kendaraan roda empat diperkirakan akan mencapai 3 juta unit, sedangkan luas jalan hanya 45 juta meter persegi. Hal ini berarti setiap kendaraan pribadi yang ada di rumah tidak akan dapat keluar karena kondisi lalu lintas macet.

DI laut, pelayaran nasional juga dibelit masalah. Banyak faktor melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian awareness dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementatif di lapangan. Kelaiklautan kapal hanya berorientasi pada sertifikasi yang notabene hanya macan kertas saja. Sementara pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan (drilling) dari persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten.

"Kisruhnya manajemen pelayaran ini diakibatkan oleh fokus strategi bisnis yang mengandalkan rendahnya biaya, namun tidak memerhatikan kepentingan penumpang dan pengguna jasa kapal," papar ahli maritim dari ITS, Saut Gurning. Mayoritas kapal yang beroperasi di perairan republik ini adalah kapal-kapal tua dengan umur di atas 8,5 tahun. Kapal-kapal uzur itu dikelola oleh sumber daya manusia yang profesionalismenya rendah.

Laporan-laporan kecelakaan pelayaran didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik dan tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga tiga dari empat alat keselamatan tidak berfungsi, terutama pada pelayaran penumpang dan penyeberangan.

Sementara itu, penanganan insiden kecelakaan kapal masih bersifat administratif dan dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negeri ini juga belum memiliki Mahkamah Maritim seperti di negara-negara lain. Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, jaksa yang menangani perkara tersebut tidak terlalu memahami masalah yang menjadi penyebabnya.

Menurut konsep dasar keselamatan pelayaran, kapal yang hendak berlayar harus berada dalam keadaan laik laut (seaworthiness). Artinya, kapal layak untuk menghadapi berbagai resiko dan kejadian secara wajar dalam pelayaran. Kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya.

Kelayakan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat. Dan, di laut kapal tidak mencemari lingkungan.

Akan tetapi, semua persyaratan itu hampir tidak pernah dipenuhi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat mekanisme pengawasan track record kecelakaan bagi perusahaan pelayaran yang lalai mengindahkan aturan keselamatan dengan konsekuensi pada perizinan perusahaan tersebut. Untuk menjamin kelaiklautan kapal, kesulitan kapitalisasi perusahaan pelayaran dalam meremajakan dan memelihara armada kapal perlu didukung oleh aksesibilitas pendanaan.

Untuk mengatasi sulitnya pengawasan terhadap keselamatan dan kelayakan kapal, ahli perkapalan dari Universitas Pattimura, Ambon, Ferry Manuhutu, menyarankan agar pejabat yang bertugas disadarkan terlebih dahulu tentang pentingnya tugas dan tanggung jawab mereka dalam menjaga keselamatan penumpang. Namun, bila petugasnya masih bisa disogok, percuma saja dibuat aturan yang bagus pun. (otw/mzw/dmu)

No comments: