24.2.03

Kota yang Humanis

Bogota, Tranformasi Menuju Kota yang Humanis

PENGANTAR REDAKSI

Wartawan Kompas, Agus Hermawan, 6-11 Februari 2003 mengikuti seminar internasional Human Mobility di Bogota, Kolombia. "Pelangi", sebuah lembaga penelitian di bidang pembangunan berkelanjutan di Jakarta yang bekerja sama dengan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, New York) juga mengajaknya mempelajari penerapan sistem bus rapid transit (BRT) TransMilenio di Bogota. Laporannya di halaman ini, 34, dan 35, diharapkan menjadi semacam pelajaran bagi Jakarta yang juga dikabarkan akan menerapkan sistem busway untuk meningkatkan pelayanan angkutan umumnya.

***

ORANG-orang bersepeda di jalur yang nyaman. Sebagian lagi berjoging atau berjalan kaki di Pedestrian, di antara taman-taman yang tertata apik. Sementara di jalanan, mereka yang memilih angkutan bus umum bisa melaju dalam kenyamanan. Jalanan lebar, dengan jembatan penyeberangan yang didesain menarik, meliuk-liuk di tengah keramaian jalanan. Pedestrian, jalur sepeda nyaman dan luas memanjakan warga kota untuk bisa menikmati kotanya.

TAMAN-taman rimbun dan menghijau diperindah dengan sejumlah pasangan memadu kasih atau para pelajar tenggelam dalam bacaannya. Rumah-rumah susun dan apartemen tersebar di sejumlah kawasan yang terhubung dengan jalur transportasi.

Gambaran yang biasa tergambar dalam iklan-iklan perumahan atau kota baru di media massa Indonesia itu seperti terwujud nyata saat memasuki Bogota, sesaat menjejakkan kaki di Bandara El Dorado, Selasa (4/2) lalu.

"Jika kita bicara soal kota, kita harus bicara bagaimana seharusnya kita tinggal dan bermukim," kata Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota (1998-2000) suatu saat. Wali Kota yang tadinya seorang akademisi bidang ekonomi, sejarah, dan administrasi publik itu akan dikenang sebagai wali kota yang berjuang keras menegakkan sebuah kota ideal. Kota yang tadinya brutal dan kacau menjadi cantik dan menyenangkan, memberantas kemiskinan dan korupsi.

"Warga dulu tidak menghargai kotanya dan mereka merasa kotanya akan semakin buruk," kenang Penalosa. Bogota sebelum era Penalosa dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminal tinggi, pengeboman oleh para militer, penculikan, hingga peredaran narkotika.

Namun kini, penduduk Bogota sepertinya menikmati menjadi warga sebuah kota yang memenuhi kebutuhannya. Sistem angkutan umumnya, yang dikenal dengan bus rapid transit (BRT) TransMilenio praktis sudah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan mereka.

Kebanggaan warga dan pemerintah kota terhadap TransMilenio-yang sebenarnya pembangunannya baru tahap pertama-itu mengingatkan orang akan kebanggaan warga Singapura terhadap MRT (mass rapid transit) mereka. "Sistem angkutan massal kami saat ini yang terbaik di Amerika Latin, bahkan mungkin di dunia," begitu biasa para pejabat Bogota membanggakan TransMilenio.

Dengan kepemimpinan yang konsisten dan dihargai rakyatnya, Penalosa "merekonstruksi" kotanya dengan 1.200 taman, menanam 100.000 pohon, merehabilitasi sekolah, dan permukiman-permukiman serta memperbaiki lingkungan. Dia memang benar-benar memfokuskan kebijakannya pada bagaimana mendidik warga kota serta memperluas ruang publik.

"Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Tetapi untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka maupun Pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan," kata Penalosa seperti dikutip sebuah media.

Namun, semua itu tidak diperoleh dengan instan dan gampangan, sebagaimana tiba-tiba saja Taman Monas dipagar atau satu lajur jalan di Jalan Sudirman-Thamrin tiba-tiba saja dicat untuk busway. Katanya, pemerintah kota bersama-sama warganya memerlukan waktu lima belas tahun lebih dengan kebijakan pembangunan kota yang konsisten.

Mereka berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya sangat kacau balau, menjadi sebuah kota yang layak dijadikan model bagi kota-kota lainnya di dunia. Bogota dengan penduduk 6,4 jutaan orang itu berhasil menata dirinya dengan jalur bersepeda terluas di Amerika Latin (sepanjang 270 kilometer, dari 300 kilometer yang direncanakan), Pedestrian, angkutan umum massal dengan BRT TransMilenio serta hari bebas kendaraan (car free day) yang meliputi area luas 35.000 hektar, yang terluas di dunia.

Sejak tahun 1995 sampai tahun 2000, pemerintah kota di bawah kepemimpinan Wali Kota Antonus Mockus Sivickas dan dilanjutkan penerusnya Enrique Penalosa, dan kemudian Mockus lagi, mereka benar-benar mengadakan perubahan di bidang tata ruang kota, sosial maupun ekonomi kota.

Mockus seorang akademisi matematik dan filsafat yang sama sekali tidak memiliki pengalaman politik ternyata mengelola kotanya dengan baik. Wali Kota yang dipilih oleh 64 persen dari sekitar 7 juta penduduk Bogota itu benar-benar menjalankan kampanyenya.

Dengan dana hanya 8.000 dollar AS-termurah yang pernah terjadi di Kolombia-ia sangat terkenal dengan kampanye "No P" yang meliputi: no publicity, no politics, no parti atau plata (alias duit). Kalau mikir ke Kota Jakarta memang akan sulit rasanya, mengingat kampanye seorang gubernur saja justru kebalikan dari slogan Mockus.

Pemerintahan Mockus selama dua tahun (1995-1997) memfokuskan pada perencanaan kotanya secara jelas dengan program Formar Ciudad atau "Mendidik Kota" dengan penekanan para kultur warga kota, ruang publik, lingkungan, sosial, produktivitas urban hingga legitimasi institusional.

Mockus mendefinisikan kultur warga kota sebagai "sejumlah kebiasaan, perilaku, dan tindakan serta peraturan perundangan agar warga kota merasa memiliki, harmoni di antara sesama warga, dan menghargai properti dan peninggalan kota". Fokus membentuk kultur baru warga kota semacam itu menjadi tujuan utama pemerintahan Mockus. Dia melakukannya dengan sejumlah program pendidikan bagi warganya.

Tantangan dari warga Bogota bagi Mockus maupun Penalosa bukannya tidak ada. Itu terbukti dengan digantikannya dia oleh Penalosa (1998-2000), sebelum dia kembali memimpin Bogota hingga kini. Bahkan Penalosa, sempat dituding "komunis" oleh sejumlah kalangan usahawan atau orang kaya karena dianggap memaksa warga menggunakan bus dan angkutan umum.

Demikianlah, seperti disampaikan Ricardo Montezuma, Direktur Fundacion Ciudad Humana (Yayasan Kota Humanis, sebuah lembaga nonprofit di Bogota), kebijakan-kebijakan Penalosa maupun Mockus yang dilaksanakan secara konsisten tersebut menyebabkan Bogota berubah secara ruang (tata) kota, sosial, ekonomi maupun politik kota yang tadinya semrawut (chaostic) berubah wajah menjadi sebuah kota yang kini bisa dianggap sebagai kota ideal dari segi ketatakotaan dengan tingkat kriminalitas yang rendah.

Pada akhir kepemimpinan Penalosa misalnya, tingkat kejahatan anjlok hingga 50 persennya dan pembunuhan di kota yang oleh media barat dulu dikenal sangat berbahaya itu pun turun hingga 20 persen.

KEBERHASILAN Bogota seperti saat ini juga terjadi karena beruntung Penalosa yang menggantikan Mockus, jauh dari kebiasaan "ganti pejabat, ganti aturan". Penalosa, yang lagi-lagi bukan seorang politisi, melainkan seorang akademisi yang mendalami ekonomi, sejarah, dan administrasi publik, meneruskan program yang telah digariskan Mockus.

Jika Mockus memfokuskan diri bagaimana mendidik warga kota merasa memiliki kotanya dan bersama-sama mengelola kotanya, maka Penalosa melanjutkannya dengan implementasi dari kebijakan-kebijakan rencana pengembangan Kota Bogota.

Kepopuleran Mockus sebagai wali kota yang dipilih rakyat terlihat, Rabu, saat di Bogota mengadakan hari bebas kendaraan (free car day), di sebuah taman kampus Bogota. Warga kota dan mahasiswa mengelu-elukannya, dengan lambaian tangan sebagaimana seorang pemimpin yang lahir karena mereka pilih.

Mockus, juga bergabung dengan warga biasa, menyapa, dan berlaku sebagaimana warga kota lainnya, termasuk bersepeda, jauh dari kesan dibuat-buat atau protokoler sebagaimana yang sering kita lihat pada kebiasaan pejabat-pejabat di negeri ini di zaman Orde Baru, yang kini diteruskan para pejabat Orde Reformasi .

"Keterlibatan warga kota, sebagai sukarelawan mendukung semua program Kota Bogota," kata Mockus. Mungkin karena itulah pembangunan Kota Bogota untuk menjadi sebuah kota yang humanis, bisa berlangsung baik karena warga kota dan pengelola kota sama-sama merasa memiliki kotanya.

Sulit dibantah, Penalosa maupun Mockus memang berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya amburadul, dengan perlalulintasan yang amburadul dan acakadut secara perlahan mulai berubah wajah. Apalagi Bogota yang sepanjang tahun sejuk itu memiliki taman-taman yang luas dan terpelihara baik.

Mereka bertekad menjadikan Bogota sebagai sebuah kota yang humanis. Kota yang benar-benar dibangun untuk dinikmati dan ditinggali warganya dengan nyaman. Mockus berani menata berbagai kawasan kota yang tadinya sumpek dan semrawut dan bisa diterima warganya karena dia memang benar-benar menawarkan sebuah kawasan baru yang bisa dinikmati, tanpa merugikan warga.

Bahkan, rencana awal mau bagaimana kawasan baru itu selanjutnya kelak ditawarkan ke warga. Dan yang terpenting, tidak ada rencana bohongan atau hanya di atas kertas atau dibilang seolah-olah kawasan tertentu akan dibangun untuk kepentingan umum namun dalam kenyataannya untuk kawasan bisnis (!).

Bahkan, dalam rencana induk yang dibuat oleh Penalosa, akses jalan lebih diutamakan untuk pejalan kaki, pemakai sepeda, maupun infrastruktur yang lebih mengutamakan angkutan umum.

Sebaliknya, penggunaan angkutan pribadi lebih dipersulit dengan sejumlah ketentuan. Dengan kebijakan pico y placa (jam sibuk dan pelat nomor) mereka bermaksud mengurangi penggunaan kendaraan pribadi hingga 40 persen pada saat jam sibuk. Mereka juga memberlakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan kebijakan nomor pelat mobil.

Selama dua hari dalam sepekan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Mereka mengaturnya dengan cara kendaraan berpelat nomor berakhiran 1 hingga 4 dilarang untuk digunakan pada hari Senin, 5 hingga 8 pada hari Selasa; 9,0, 1 dan 2 pada hari Rabu; 3,4,5 dan 6 pada hari Kamis, serta 7,8,9 dan 0 pada hari Jumat.

Pelaksanaan car free day-yang juga disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia-dimaksudkan pemerintah kota agar warganya bisa membayangkan bahwa kota tanpa kendaraan pribadi bukanlah hal yang mustahil. Dalam voting yang diselenggarakan pemerintah kota, warga kota menginginkan acara tersebut bisa berlangsung setiap tahun.

Dalam acara serupa pada Rabu, 5 Februari lalu, kesan itu memang sangat terasa. Walaupun kendaraan yang boleh beroperasi hanya kendaraan umum dan jalanan bersih dari mobil-mobil pribadi warga kota sama sekali tidak tampak terpengaruh dan kegiatan keseharian berlangsung seperti biasa.

Apalagi, selain kebiasaan berjalan kaki (hampir 30 persen warga Bogota berjalan kaki untuk melaksanakan aktivitas kesehariannya, termasuk pulang pergi sekolah atau bekerja), kebiasaan menggunakan sepeda juga semakin membaik. Jika pada tahun 1998, pengguna sepeda hanya 1 persen saja dari seluruh pengguna moda angkutan di Bogota, maka pada tahun 2002 meningkat hingga 4 persen.

Membaiknya struktur kota dengan manajemen perlalulintasan yang konsisten yang dijalankan, juga bisa menurunkan angka kejahatan atau kriminalitas, angka kecelakaan di jalan raya dan, tentu saja, polusi udara. Angka kecelakaan di jalanan misalnya, yang pada tahun 1995 tercatat 1.387 kasus, terus menurun hingga 745 kasus (tahun 2001), dan pada tahun 2002 hanya 697 kasus.

Upaya menjadikan kota sebagai milik bersama itu karena pemerintah kota benar-benar menjalankan program untuk memacu masyarakatnya berpartisipasi atau terlibat langsung dalam pengelolaan kotanya. Untuk setiap pelaksanaan sistem bus baru, hari tanpa sepeda mereka membentuk suatu organisasi berbasis masyarakat, seperti Ciclovia Volunteers (untuk para sukarelawan program pemasyarakatan pemakaian sepeda) hingga Misson Bogota. Merekalah yang bergerak dan mendorong masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dan mendukung setiap program pemerintah kota.

Para sukarelawan berseragam oranye-mirip dengan kader GDN (gerakan disiplin nasional) yang dulu juga marak di Jakarta dan kini enggak jelas nasibnya-memberikan panduan kepada warga kota lainnya bagaimana menggunakan TransMilenio, menggunakan Pedestrian, dan mengarahkan para pengguna sepeda agar menggunakan jalurnya. Setidaknya oleh pemerintah kota mereka dibekali dengan prinsip-prinsip bagaimana menciptakan keamanan dan harmoni kotanya, pengelolaan wilayah, ruang publik hingga memberikan berbagai informasi mengenai kotanya kepada warga lain.

WARGA kota ikut mengelola kota. Setidaknya hal tersebut menjadi pelajaran bagi pengelola kota lain, terutama Jakarta, yang sering meninggalkan warganya sehingga mereka menjadi terasing di kotanya sendiri. Pelibatan warga untuk berpartisipasi aktif memiliki dan mengelola kotanya memang dilakukan secara serius oleh Pemerintah Kota Bogota.

Secara telaten terintegrasi dengan sistem yang baik, mereka benar-benar melibatkan dan mendidik warganya secara serius untuk menjadikan kotanya lebih baik. Jauh sebelum mereka mengenalkan sistem BRT TransMilenio misalnya, upaya mendidik dan mengajak aktif partisipasi warga dilakukan dengan berbagai upaya.

"Kami sengaja mendatangkan 21 unit jenis bus yang dipergunakan di berbagai negara, dari Hungaria hingga Brasil. Semua itu untuk mendidik warga bahwa rencana menciptakan angkutan massal itu bukan hanya impian tetapi nyata," kata Dario Hidalgo, seorang manajer TransMilenio.

Bahkan, jauh sebelum sistem bus tersebut benar-benar dilaksanakan, mereka mengajak warganya untuk melek bagaimana mulai mengubah "kultur" naik bus secara modern, mulai dari bagaimana antre hingga membeli tiket yang benar.

Sejumlah sukarelawan diterjunkan hingga ke sekolah-sekolah taman kanak-kanak. Dengan alat peraga sederhana, mereka mengajarkan cara-cara baru kepada anak-anak tersebut bagaimana mulai menjalani hidup baru sebagai bagian dari warga kota modern.

Upaya mereka mengajar kepada anak-anak balita itu bukannya tanpa maksud. "Sepulang sekolah anak-anak itu akan bercerita kepada orangtuanya apa yang kami ajarkan kepada mereka. Mereka juga menjadi penyambung apa yang kami ajarkan kepadanya. Bukankah itu juga secara otomatis mendidik orangtuanya juga," kata Hidalgo.

Terbukti ketika TransMilenio digelindingkan, sistem BRT bisa berjalan dengan baik. Upaya pemerintah menyiapkan infrastruktur dibarengi dengan kesiapan warga kotanya menjalani "kehidupan baru" mewujudkan kultur baru pula bagi kehidupan warga Kota Bogota.

Setidaknya, sebagai warga Jakarta yang demikian amburadul ini, kita cuma berharap semoga para pengelola Jakarta bisa belajar dari Bogota. Mungkin, salah satu pelajaran terbaik yang bisa dipetik dari pengalaman Bogota adalah bagaimana pemerintah mengajak warga kotanya untuk mengubah kotanya.

Soal ruang publik misalnya, Wali Kota Penalosa pernah menyatakan, "Ruang publik sangat perlu untuk hidup, melakukan bisnis, memadu kasih, dan bermain. Semua itu tidak bisa hanya dihitung secara ekonomis maupun matematik tetapi harus dengan perasaan dan nurani".

Infrastruktur kota yang baik sekalipun tidak akan cukup menjadikan sebuah kota menjadi nyaman, tanpa warga kotanya merasa terlibat dan menikmati semua itu....(Agus Hermawan)
more

Kemanjaan Bersepeda

"Cyclorrutas", Kemanjaan Bersepeda

KOMPAS - BOGOTA memang tidak memiliki pantai, tetapi dia memiliki jalur sepeda". Ungkapan itu lazim dikemukakan oleh warga Bogota untuk membanggakan jalur sepeda atau apa yang mereka sebut cyclorrutas. Di kota yang dalam rencana perkotaannya akan dikembangkan sebagai kota yang humanis (ciudad humana) itu, para pengguna sepeda maupun pejalan kaki sangatlah dimanjakan.

Lajur pedestrian dan sepeda menjadi bagian penting dari akses lalu lintas, yang sepertinya malah lebih penting dengan jalan raya. Bahkan, jalur-jalur pedestrian dan sepeda itu menembus berbagai kawasan, permukiman Bogota. Bukan saja jalur-jalur sepeda yang kompak, terintegrasi dengan akses sangat luas yang ada, Pemerintah Kota Bogota pun memanjakan para pejalan kaki dan pengguna sepeda dengan berbagai regulasi.

Setiap hari Minggu misalnya, sepanjang 153 kilometer (km) jalan raya dijadikan jalur khusus sepeda atau yang oleh warga setempat dikenal sebagai Ciclovias. Jalanan sepanjang itu tertutup untuk angkutan bermotor dan hanya diperbolehkan untuk pedestrian, pesepeda atau peseluncur (skater) dengan sepatu roda atau skateboard.

Itu belum termasuk jalur khusus sepeda yang telah terbangun sepanjang 270 km (dari 374 km yang direncanakan). Jalur sepeda sepanjang itu diklaim sebagai jalur khusus sepeda terpanjang di dunia. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya 43 km.

Makanya, ketika peserta seminar internasional Human Mobility diajak serta untuk ikut dalam acara bersepeda ria pada Minggu (9/2) pagi, banyak peserta tidak melewatkannya. Apalagi panitia menyiapkan sepeda dan semua perlengkapannya, termasuk helm. "Jangan ke luar dari rombongan. Kita akan bergabung dengan dua juta pesepeda lainnya dari seluruh Bogota," kata seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) Ciudad Humana Fundation (Yayasan Kota Humanis) yang memandu kami.

Mereka menyilakan kami memilih jalur 12,5 km atau 24 km yang akan menelusuri berbagai kawasan Bogota. Kebiasaan bersepeda pada hari Minggu, yang diikuti sekitar 2 juta orang warga kota itu, juga diklaim sebagai yang terbesar dalam gerakan bebas berkendaraan bermotor di dunia.

Begitulah kenyamanan tinggal di sebuah kota yang ramah, langsung menyergap ketika belum separuh jalan ditempuh dengan sepeda yang ringan terkayuh. Di jalur sepeda selebar 3 meteran maupun di jalan raya, termasuk jalan bebas hambatan, yang Minggu itu dikhususkan untuk sepeda, dipenuhi oleh keluarga, tua dan muda, warga Bogota yang bersepeda. Sejumlah lainnya mengasuh anak balitanya yang menggunakan sepatu roda atau sepeda mini.

Keceriaan rekreasi mereka seperti tidak menunjukkan bahwa dua hari sebelumnya terjadi peledakan bom di kelab mewah El Nogal, yang menewaskan 32 orang dan mencederai 160-an orang lainnya. "Kondisi normal yang kami perlihatkan ini menjadikan tindakan-tindakan teroris dan kriminal menjadi tidak efektif," kata seorang warga saat ditanya kok sepertinya ledakan bom tidak mempengaruhi mereka.

Maka dua juta warga Bogota yang diperkirakan bersepeda setiap akhir pekan itu juga menjadi warna lain kota dingin dengan suhu 6-20 derajat Celcius di ketinggian 2.640 meter di atas permukaan laut yang dilingkungi pegunungan itu. Berbeda dengan gaya bersepeda keseharian seperti yang biasa terlihat di Beijing, bahkan Yogyakarta maupun Kudus, Jawa Tengah, para pesepeda di Bogota pada hari minggu menikmati betul sebagai bagian dari rekreasi keluarga.

Warung-warung minum atau makanan ringan, bengkel sepeda sementara sepanjang jalan sepeda, yang hanya buka saat Ciclovias (hari bersepeda) berlangsung, siap menerima para pengayuh sepeda yang ingin melepas lelah. Begitu juga bengkel sepeda dadakan siap menerima reparasi ringan sepeda warga. Sepintas tenda-tenda itu mengingatkan kepada apa yang kita lihat di kawasan Parkir Timur Senayan, namun lebih tertata dan apik.

Para sukarelawan Ciclovias pun selalu sedia membantu, mengarahkan jalan serta menyetop kendaraan bermotor yang akan melintas untuk mengutamakan para pejalan kaki atau pesepeda. Para sukarelawan tersebut sebagai tim pendukung utama bagi pelaksanaan program bersepeda di hari Minggu itu.

Kemanjaan para pengguna sepeda terasa benar di Bogota. Selain jalanan yang kompak, rimbun dan menyenangkan jalur sepeda juga menembus berbagai pelosok permukiman. Sejenak terpikir proyek perbaikan kampung Mohammad Husni Thamrin (MHT) di Jakarta mengapa tidak dirancang seperti di Bogota sini? Pemerintah kota dengan udara sejuk itu benar-benar mempersiapkan infrastruktur yang sangat dibutuhkan warganya.

PEMERINTAH Kota Bogota berniat keras mengurangi polusi kotanya dan meningkatkan pengguna kendaraan non-bermotor di kotanya. Upaya ke arah itu dilakukan secara terencana dengan berbagai langkah yang jelas dan sistematis. Kampanye bahwa sepeda itu modis dan enggak ketinggalan zaman misalnya, dilakukan dengan peragaan para aktor atau aktris idola yang dalam penampilannya menggunakan atau membawa sepeda. "Kami harus meyakinkan warga kami bahwa sepeda itu juga modis," kata Ricardo Montezuma, dari Human Ciudad Fundation.

Langkah memanjakan pejalan kaki dan pesepeda itu, bukan saja dicerminkan dengan pembangunan jalan yang nyaman, yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, namun juga berbagai fasilitas pendukungnya mulai dari toilet, bangku tempat mengaso hingga ke tempat parkir sepeda yang dibangun kompak dengan arsitektur kotanya. Bahkan, jembatan penyeberangan pun yang dibuat meliuk-liuk berseni menghias kota, walaupun panjang namun tidak melelahkan untuk dijalani atau ditempuh dengan sepeda. Arsitek dan perencana kota rupanya sudah menghitung benar apa yang dibutuhkan warganya. Berjalan kaki, bersepeda adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati.

Konon, ketika buruknya pedestrian dan tidak adanya jalur bersepeda dipertanyakan mengapa tidak terjadi di Jakarta, seorang pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dengan enteng menjawab, "Saya tidak melihat bersepeda sebagai kebiasaan warga Jakarta. Mengapa harus repot-repot menyediakan rute sepeda".

Tidak heran, kejadian sebaliknya terjadi di Jakarta, mereka yang memiliki kendaraan pribadilah yang dimanjakan di Jakarta. Jalan tol dibangun di mana-mana dan siap dipadati kendaraan pribadi. Pedestrian atau jalan tol pun sudah lama dirampas para pengendara motor, bahkan bengkel atau bangunan salah fungsi lainnya.

Dan, ketika warga dengan sendirinya menggunakan protokol Jalan Sudirman-Jalan MH Thamrin untuk berolaraga. Apa yang dilakukan pejabat Pemprov DKI? Mereka berencana menutupnya. Sebuah ironi.(ush)
more

Subway ke busway

Senin, 24 Februari 2003

Penataan Angkutan Umum Jakarta
"Subway" ke "Busway-buswayan"

KOMPAS - DESEMBER 2002 lalu, tiba-tiba saja mereka yang biasa melewati jalur Jalan Sudirman-Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, menemui pemandangan baru. Salah satu lajur di jalur cepat jalan protokol itu tiba-tiba saja bermunculan kotak-kotak berukuran sekitar tiga meter persegi, berabur cat warna merah. Ada juga rambu lalu lintas baru dari aluminium berwarna dasar hijau dengan tulisan putih "Jalur Khusus Bus Way", jalur khusus bus.

SAMA sekali tidak ada conditioning sebelumnya apa dan bagaimana busway itu akan dilaksanakan. Apakah sama dengan jalur khusus bus di Jalan Pramuka yang selama ini atau di Jalan Sudirman-Jalan Thamrin beberapa tahun lalu? Ataukah, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan menerapkan sebuah angkutan umum baru?

Wartawan yang mencari tahu ke pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta akhirnya mendapat sedikit informasi pada awal Januari, Jakarta akan menerapkan sistem angkutan umum baru (busway) di jalur Blok M–Kota sepanjang 12,9 kilometer (km). Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pun menyatakan tidak tahu-menahu rencana tersebut. Mereka mengaku tidak pernah diajak bicara oleh Pemprov DKI Jakarta.

Berita pun menjadi simpang siur dan sepotong-sepotong karena para pejabat DKI sama sekali tidak memberi keterangan rinci mengenai rencana tersebut. Bagaimana jenis busnya, pintunya di sebelah kiri atau kanan, halte busnya di tengah jalan atau bagaimana, bagaimana sistem pembayarannya, fasilitasnya, bagaimana nasib para pengusaha bus yang selama ini menjalani rute tersebut, bagaimana load jalan tersebut, apakah kemacetan akan semakin parah atau membaik di jalur busway? Pertanyaan-pertanyaan lain masih cukup banyak dan tidak terjawab.

Katanya, untuk itu telah disiapkan anggaran pada tahun 2002 sebanyak Rp 54 milyar. Dari jumlah itu yang terealisasi Rp 2,4 milyar untuk mengecat marka jalan dan pembuatan rambu busway, yang belakangan dikhawatirkan mubazir. Belakangan, anggaran untuk busway pada tahun anggaran 2003 membengkak hingga Rp 86,25 milyar.

Berdasarkan laporan kegiatan Bus Demonstration Project Busway Blok M-Kota yang dikeluarkan Dinas Perhubungan DKI, sistem itu akan menggunakan bus berpendingin udara dengan desain khusus berkapasitas 85 penumpang, 30 penumpang duduk, dan 55 penumpang berdiri, ber-AC, dan memiliki radio komunikasi dan sound system.

Bus ini hanya akan menaikkan dan menurunkan penumpang di halte-halte khusus yang tingginya sama dengan pintu bus sekitar satu hingga satu setengah meter. Bus berhenti 1,5 menit pada jam sibuk, sedangkan di luar jam sibuk 5 menit. Sebelum masuk bus, penumpang harus membeli karcis seharga Rp 2.500 di halte bus.

Di jalur Sudirman-MH Thamrin permintaan penumpang sangat tinggi mencapai 12.600 penumpang per jam per jurusan. Sedangkan bus bisa mengangkut 3.400 penumpang per jam per jurusan atau per harinya bisa mengangkut 30.600 penumpang per hari.

Nyamannya bus di jalur khusus bus serta kemacetan di lajur lainnya diharapkan bisa memancing pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke bus umum. Para pengguna kendaraan pribadi bisa memarkir kendaraannya di kawasan Blok M atau Kota untuk selanjutnya menggunakan bus khusus di busway menuju kantornya.

Sedangkan, bus-bus kota yang selama ini trayeknya melintasi atau melayani Blok M-Kota akan dialihkan rutenya dan akan menjadi pendukung (feeder bus) dari busway.

Sebuah rencana yang menarik. Namun, jika kita menelisik bagaimana pelaksanaan sistem itu akan direalisasikan ternyata semuanya kabur. Salah satu hal misalnya, bagaimana manajemen bisnis antara busway dengan feeder yang selama ini dilakukan oleh para operator atau pengelola bus swasta, seperti Mayasari Bhakti atau lainnya? Apakah mereka akan disingkirkan atau diikutsertakan dalam sistem baru?

Ketidaksiapan Pemprov DKI Jakarta melaksanakan sistem itu semakin terbukti. Bulan Januari telah lewat. Namun di bulan yang dijanjikan sistem busway akan mulai diujicobakan ternyata berlalu begitu saja. Bahkan, belakangan dikabarkan, Pemda DKI menyatakan menunda sistem busway itu pada bulan Oktober 2003. Dan, seperti biasa, hingga kini bagaimana kelanjutan sistem tersebut akan dilaksanakan tidak jelas terdengar.

Manajer Program Transportasi Pelangi Jack Sumabrata mengkhawatirkan, Pemprov DKI Jakarta bukan saja tertutup, namun yang lebih mengkhawatirkan mereka justru tidak memiliki konsep yang matang mengenai busway tersebut. "Kalau sekadar tertutup, sih, mending, karena konsepnya ada. Namun, jika tidak ada konsep, kan, itu sama dengan celaka," kata Jack, yang LSM-nya bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, New York) menggiatkan Indonesia Livable Communities Initiative, yang mendorong penggunaan angkutan untuk mengurangi polusi udara.

Ketidakjelasan konsep itu bukan saja, tercermin dari tidak adanya sosialisasi proyek, namun juga masing-masing instansi seperti memiliki rencana langkah sendiri-sendiri. "Padahal, seharusnya mereka berada dalam satu tujuan yang jelas dan sistematis," kata Jack.

NIAT baik Pemprov DKI Jakarta untuk membenahi angkutan umum itu semoga saja benar adanya. "Kami harus mulai sekarang, kalau tidak kapan lagi. Kondisi lalu lintas Jakarta dan transportasi angkutan umum sudah saatnya dibenahi," kata Kepala Sub-Dinas Teknik Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI U Pristono seperti juga disampaikan KepalaSub-Dinas Pengembangan Sistem Dishub DKI DA Rini.

Kondisi transportasi angkutan umum saatnya dibenahi, semua warga Ibu Kota setuju. Warga Ibu Kota, terutama para pengguna angkutan umum sudah terlalu lama mendambakan sebuah sistem pelayanan angkutan umum yang baik dengan jadwal yang tepat waktu.

Tentu saja, masyarakat semua menyambut setiap niat baik Pemprov DKI Jakarta meningkatkan pelayanan angkutan umum atau membenahi perlalulintasan Ibu Kota yang sudah demikian amburadul. Apalagi sejauh ini, rencana-rencana Pemprov DKI-gubernur berganti gubernur-untuk meningkatkan angkutan umum, membangun subway, mass rapid transit (MRT), hingga triple decker cuma sebatas janji yang tak pernah terwujud. Sejumlah studi atau kajian mengenai itu juga sudah dilaksanakan yang tentu saja mengeluarkan waktu dan uang yang tidak sedikit. "Warga kota mendambakan pelayanan angkutan umum yang baik tidak seperti sekarang, warga pengguna angkutan umum seperti saya, sepertinya diabaikan," kata Tulus Abadi, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Warga tentu berharap jika sistem busway cuma sekadar mengejar proyek, menghabiskan anggaran, para pejabat Pemprov DKI sebaiknya berpikir ulang. Bahkan, mereka mestinya malu karena janji-janji peningkatan angkutan umum tidak pernah terwujud secara tuntas. Saatnya mereka memikirkan sistem perlalulintasan yang terpadu atau terintegrasi yang benar-benar bermaksud memecahkan kesemrawutan lalu lintas dan pelayanan angkutan umum Ibu Kota.

Sebenarnya jika melihat kondisi perlalulintasan, termasuk angkutan umum di DKI Jakarta tidak ada hal baru. Bahkan, data-data yang disampaikan oleh Rini di depan peserta seminar internasional Human Mobility di Bogota, Kolombia awal Februari merupakan data-data lama yang belum diperbarui (update). Kondisi saat ini tentu saja lebih parah. Apalagi belum ada terobosan-terobosan baru, kecuali sejumlah studi dan rencana proyek, untuk memecahkan persoalan transportasi dan angkutan umum di Jakarta.

Jumlah penumpang 10 juta orang per hari, termasuk 25 persen di antaranya penumpang dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 50,7 persen di antaranya menggunakan angkutan umum dan sisanya angkutan pribadi.

Saat ini jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan mencapai 4,5 juta unit dengan jumlah angkutan umum hanya 1,3 persennya saja. Selebihnya, kendaraan pribadi 1,6 juta unit (35,3 persen) dan sepeda motor 2,4 juta unit (54,1 persen) dan sisanya kendaraan barang (9,2 persen). Pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 6 persen (1997-2001) atau hampir enam kali lipat dibandingkan pertumbuhan jalan yang kurang dari 1 persen, yang saat ini panjangnya mencapai 6,630 km. Bahkan menurut Rini, pertumbuhan angkutan pribadi mencapai 10 persen per tahun, jauh lebih besar dibandingkan angkutan umum yang merayap 2 persen saja.

"Pemprov DKI Jakarta tidak bisa memecahkan persoalan lalu lintas sendirian. Dia harus melibatkan daerah-daerah di sekitarnya. Tidak bisa sepotong-sepotong, harus terintegrasi, " kata Bambang Susantono, Sekretaris Jenderal SUSTRAN (Sustainable Transport Action Network for Asia and the Pasific). Dia menyatakan pesimismenya, Pemprov DKI Jakarta bisa menyelesaikan persoalan transportasi maupun pelayanan angkutan umum jika mereka hanya memikirkan penyelesaian sepotong-sepotong.

Bahkan, Bambang dan Jack menilai moda angkutan umum di Jakarta-termasuk jaringan KRL/KRD Jabotabek-sebenarnya cukup memadai dan tinggal dioptimalkan. Masalahnya setiap instansi, berjalan sendiri-sendiri tidak dalam sistem angkutan umum yang terintegrasi dan menyeluruh. Akibatnya, potensi kereta api, bus kota, mikrolet seperti terpecah-pecah mengatasi persoalan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya. Sinisme yang kemudian muncul adalah, kesemrawutan yang saat ini terjadi memang sengaja dibiarkan karena memang menguntungan bagi sejumlah oknum tertentu.

Salah satu pemecahan yang bisa ditempuh adalah kemungkinan pemerintah atau Pemprov DKI memiliki suatu badan otoritas yang menangani masalah transportasi. Badan itu terdiri dari semua unsur masyarakat, termasuk pengusaha bus atau investor dan sebagainya. Mereka itulah yang secara utuh mengendalikan, merancang proyek penyelesaian transportasi, termasuk busway sehingga tidak simpang siur. "Selama ini masyarakat tidak pernah dilibatkan untuk berpartisipasi dalam setiap bidang pengelolaan kota. Kalaupun ada yang dibilang sosialisasi program yang ada cuma top down, di mana orang pemda menyampaikan bahwa mereka akan melaksanakan ini-itu tanpa meminta masukan dari warga," kata Azas Tigor Nainggolan, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta).

Dua orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Julianson PN Purba (Sekretaris Komisi D) dan Herdin Darlys Silalahi yang hadir dalam seminar Human Mobility di Bogota, juga mengharapkan, Pemprov DKI Jakarta benar-benar menjalankan semua prosedur bagaimana seharusnya sebuah sistem busway dilaksanakan. Semuanya harus kita pertanggungjawabkan kepada rakyat, " kata Julianson.

Repotnya, Pemprov DKI dengan pendekatan proyek, tampaknya belum memiliki tim yang kuat, solid dan kapabel bisa melaksanakan sistem BRT. Pelaksanaan busway di DKI Jakarta itu hanya ditangani oleh para pejabat Dinas Perhubungan DKI. Padahal, pelaksanaan sistem itu seharusnya melibatkan banyak pihak, dinas pertamanan, dinas humas, hukum dan seterusnya. Dinas-dinas lain semestinya juga dilibatkan dan sama-sama bertanggung jawab menangani persoalan perlalulintasan DKI Jakarta. "Keberhasilan pelaksanaan pelaksanaan sistem BRT, 99 persen tergantung tim yang mendukungnya. Sedangkan 1 persen baru yang lain-lainnya, termasuk teknik," kata Edgar Enrique Sandoval, seorang manajer TransMilenio, Bogota.

MENCERMATI apa yang seharusnya dilakukan jika sistem BRT atau busway dilaksanakan dan mencoba mengamati apa yang akan dilaksanakan Pemprov DKI saat ini memang masih jauh panggang dari api. Setidaknya ada berapa tahap untuk menjalankan sistem bus rapid transit (BRT) itu. Empat aspek yang seharusnya dilalui oleh Pemprov
more

4.2.03

Sutiyoso to go to Colombia

Busway again postponed, Sutiyoso to go to Colombia
Ahmad Junaidi, The Jakarta Post, Jakarta

Due to a lack of preparation, the city administration decided on Monday to postpone launching the controversial busway project at least until the end of this year.
"We will not force a launch this year, but when and if all the preparatory steps have been completed," governor Sutiyoso told reporters at City Hall.

He said the Rp 83 billion (US$9.2 million) already allocated towards the busway in the 2003 city budget would be retained if the project was not launched this year.

To conduct further preparation, Sutiyoso revealed that he and city officials planned to visit Bogota, Columbia, next month to conduct a study of a similar busway system.
"Bogota has been applying the busway system and it runs well. The Bogota mayor has invited us (for the comparative study)," Sutiyoso said.

The project, which will run along the right-hand side of Jl. M.H. Thamrin and Jl. Sudirman in Central Jakarta, was scheduled to be launched in September 2002. It has been delayed twice already due to lack of preparation.
The city administration then announced its plan to launch the trial run by the end of this month, claiming that two types of buses -- the German-made Mercedes and Japan-made Hino -- were being prepared for the trial.

City Transportation Agency head Rustam Effendy said earlier this month that the Mercedes and Hino buses were being assembled in Magelang, Central Java, and Sukabumi in West Java respectively, and would arrive on Jan. 27.
But Rustam said Monday that the buses had been returned for reassembly, since the modified vehicles did not fulfill the order.

"The busway project may be launched by the end of this year, at the very least," Rustam told reporters.
Buses for the project, which had been planned since 2000 by transportation experts from Yogyakarta-based Gadjah Mada University, should be modified as they would use the fast lane of the road. The buses are to have doors on the right to pick up and drop off passengers on the median strip.

Besides purchasing at least 50 buses, the administration needs to build more pedestrian overpasses and new bus shelters along the median.
Recently, the administration spent Rp 2.5 billion to paint red squares and routes along Thamrin and Sudirman and to install traffic signs for the project.

The project is believed to add to the city's traffic congestion, especially along the city's two thoroughfares, on which skyscrapers, government offices and hotels are located.
Besides worsened traffic, it is feared the project will damage the environment, since many large trees along the road may be cut down to provide room for the busway.

The Indonesian Democratic Party of Struggle faction at the city council said in its statement on Friday that the project should be well-organized to avoid more problems.
"The administration should consider studying the project further to avoid failure," the party's faction spokesman Maringan Pangaribuan said during the council's plenary session.
more