Catatan Paman Tyo di Blg Gombal:
Bus Way: Lajur untuk Semua Bus :)
SEBUAH KEPINGAN POTRET ENDONESAH…
Barry dan kemudian Priyadi sudah mengusulkan cara menertibkan lajur khusus bus melalui upaya pemaksa.
Yah, itulah yang berlangsung: lajur khusus bus Transjakarta akhirnya dilintasi semua kendaraan.
Saya pun pernah ikut memanfaatkannya karena… diarahkan oleh polisiwan lalu-lintas dan lain kali oleh petugas Dishub. Kemarin saya masuk ke bus way karena disuruh oleh satpam Mangga Dua Square. Polisi diam saja.
Di mana pangkal masalah? Kita bisa menuding low enforcement, dan bukan law enforcement. Dasar republik lembek, apa pun bisa dikompromikan. Apa yang dilarang akan dilanggar — dan dibiarkan.
Baiklah, kita amini saja soal itu. Meskipun begitu saya ingin menyoal hal lain. Maaf tanpa merujuk data untuk memperkuat perbandingan, tapi saya mendapat kesan jumlah bus pengisi lajur khusus itu belum memadai. Ada lajur yang belum tentu dilintasi Transjakarta delapan menit sekali, misalnya trayek padat Kampung Rambutan - Kampung Melayu.
Yang sering saya lihat adalah lajur yang nganggur, padahal lajur lain sudah berjejal. Satu lajur dibangun dengan ongkos mahal, tapi tak termanfaatkan secara optimal, lantas buat apa?
Saya teringat usul seorang sopir taksi di blog lawas saya dua tahun lalu. Bus way, sesuai namanya, menurut Bang Taksi sebaiknya untuk semua bus dan hanya boleh berhenti sejenak di halte.
Tapi, huh, siapa yang akan mengontrol? Polisi saja tak berdaya menghadapi mikrolet M9 dan M11 yang keluar dari dari lajur berbarikade di mulut pertigaan Jalan Palmerah Utara - Slipi, Jakarta Barat. Barisan mikrolet semprul itu enak saja ngetem, menyita tiga lajur.
Bayangkan jika segala jenis angkutan umum dicemplungkan ke lajur khusus. Satu saja ngetem, buntutnya bisa lima kilometer. Berbahagialah wahai kaum yang kuat menahan kebelet pipisnya berjam-jam.
Kalau itu terjadi, kredit mobil pribadi akan semakin bersahabat. Jalanan kian berjejal. Parkir makin sesak (dan mahal). Polusi naik berlipat. Sebagian besar upah habis buat beli bensin dan merawat mobil (termasuk asuransi) — dan juga buat bayar joki 3-in-1.
So? Jangan hanya menambah bus way. Lipat gandakan juga armadanya. Undanglah konsorsium lain yang lebih sehat untuk memanfaatkan konsesi bus way.
busway, Jakarta, TransJakarta, koridor, halte, JPO, SWPA, HCB, Harmoni, Sarinah, denah, peta, DTK, BLU, BBG, bus, armada, separator, tiket, Jakcard, dishub
28.8.07
24.8.07
Tarik ulur tarif
Tarik Ulur Tarif Busway
Darmaningtyas
Transjakarta dengan segala minus malumnya telah menjadi angkutan umum massal alternatif bagi warga Jakarta untuk dapat sampai ke tujuan secara lebih cepat dan nyaman. Maka, meskipun layanan transjakarta sampai sekarang masih buruk, tetap menjadi angkutan umum primadona bagi warga Jakarta yang ingin sampai ke tujuan lebih cepat.
Sekarang tidak kurang dari 200.000 penumpang per hari dapat diangkut oleh bus transjakarta. Jumlah penumpang transjakarta dapat ditingkatkan bersamaan dengan bertambahnya jumlah koridor, bertambahnya jumlah armada, serta kebijakan tarif yang kompetitif.
Dapat saja terjadi, jumlah koridor dan armada bertambah, tapi jumlah penumpangnya secara relatif menurun, yaitu pada saat tarif transjakarta tidak kompetitif lagi sehingga masyarakat lebih memilih naik kendaraan pribadi, terutama sepeda motor karena dinilai lebih efisien dan efektif.
Mengingat masalah tarif transjakarta ini merupakan hal yang sensitif dan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja transjakarta secara keseluruhan, maka penentuan kenaikannya harus hati-hati. Jangan sampai hanya karena pertimbangan ekonomis, akhirnya aspek lain (pengurangan emisi, kemacetan, kesemrawutan, dan lain-lain) menjadi terabaikan. Yang jelas, harus dipahami oleh semua pihak bahwa tujuan dari pembangunan bus rapid transit (BRT)—di Jakarta dalam bentuk transjakarta (busway)—dimaksudkan untuk mendorong optimalisasi penggunaan angkutan umum massal sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan.
Keberhasilan pembangunan BRT adalah ketika keberadaan BRT tersebut mampu menarik pengguna kendaraan pribadi, terutama mobil, untuk pindah ke BRT sehingga ruang jalan yang ada dapat dikembangkan untuk optimalisasi angkutan umum massal lainnya serta pembangunan jalur kendaraan tidak bermotor.
Jadi, sistem BRT tidak hanya berhenti pada bangun busway, tapi juga harus sampai pada sistem pendukungnya, termasuk angkutan pengumpan (feeder transport). Transjakarta sekarang baru mampu memindahkan pengguna bus sebelumnya pada jalur yang sama, tapi belum mampu menarik pengguna mobil pribadi untuk pindah ke busway. Hal itu disebabkan transjakarta belum memberikan kenyamanan yang berarti bagi penumpang.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta, selaku pengelola transjakarta, adalah mempertahankan penumpang yang ada agar tidak beralih ke kendaraan pribadi (terutama motor) dan menarik pengguna mobil pribadi agar mau beralih ke transjakarta.
Upaya yang pertama dapat dilakukan dengan cara mempertahankan tarif busway agar tetap kompetitif jika dibandingkan dengan naik motor. Sementara upaya kedua dapat dilakukan dengan peningkatan pelayanan agar masa tunggu di halte tidak terlalu lama, tidak berjubel di dalam bus, dan tingkat keamanannya meningkat.
Upaya mempertahankan tarif agar tetap kompetitif dapat dilakukan dengan menciptakan efisiensi dan optimalisasi operasional transjakarta itu sendiri serta mempertahankan subsidi yang ada. Bagi masyarakat, subsidi untuk BLU Transjakarta tidak masalah karena itu bagian dari pelayanan umum.
Di semua kota di dunia yang namanya layanan umum disubsidi agar tetap survive. Masyarakat tak akan protes jika Pemda DKI Jakarta memberikan subsidi kepada BLU Transjakarta asalkan tarif busway tetap terjangkau dan pelayanannya bagus. Masyarakat akan protes ketika subsidi besar dan atau tarif tinggi, tapi pelayanannya buruk.
Jadi, ukuran keberhasilan pembangunan BRT di Jakarta sebetulnya terlihat dari seberapa besar animo masyarakat untuk menggunakan moda transportasi tersebut sebagai sarana mobilitas mereka.
Darmaningtyas Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia
Darmaningtyas
Transjakarta dengan segala minus malumnya telah menjadi angkutan umum massal alternatif bagi warga Jakarta untuk dapat sampai ke tujuan secara lebih cepat dan nyaman. Maka, meskipun layanan transjakarta sampai sekarang masih buruk, tetap menjadi angkutan umum primadona bagi warga Jakarta yang ingin sampai ke tujuan lebih cepat.
Sekarang tidak kurang dari 200.000 penumpang per hari dapat diangkut oleh bus transjakarta. Jumlah penumpang transjakarta dapat ditingkatkan bersamaan dengan bertambahnya jumlah koridor, bertambahnya jumlah armada, serta kebijakan tarif yang kompetitif.
Dapat saja terjadi, jumlah koridor dan armada bertambah, tapi jumlah penumpangnya secara relatif menurun, yaitu pada saat tarif transjakarta tidak kompetitif lagi sehingga masyarakat lebih memilih naik kendaraan pribadi, terutama sepeda motor karena dinilai lebih efisien dan efektif.
Mengingat masalah tarif transjakarta ini merupakan hal yang sensitif dan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja transjakarta secara keseluruhan, maka penentuan kenaikannya harus hati-hati. Jangan sampai hanya karena pertimbangan ekonomis, akhirnya aspek lain (pengurangan emisi, kemacetan, kesemrawutan, dan lain-lain) menjadi terabaikan. Yang jelas, harus dipahami oleh semua pihak bahwa tujuan dari pembangunan bus rapid transit (BRT)—di Jakarta dalam bentuk transjakarta (busway)—dimaksudkan untuk mendorong optimalisasi penggunaan angkutan umum massal sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan.
Keberhasilan pembangunan BRT adalah ketika keberadaan BRT tersebut mampu menarik pengguna kendaraan pribadi, terutama mobil, untuk pindah ke BRT sehingga ruang jalan yang ada dapat dikembangkan untuk optimalisasi angkutan umum massal lainnya serta pembangunan jalur kendaraan tidak bermotor.
Jadi, sistem BRT tidak hanya berhenti pada bangun busway, tapi juga harus sampai pada sistem pendukungnya, termasuk angkutan pengumpan (feeder transport). Transjakarta sekarang baru mampu memindahkan pengguna bus sebelumnya pada jalur yang sama, tapi belum mampu menarik pengguna mobil pribadi untuk pindah ke busway. Hal itu disebabkan transjakarta belum memberikan kenyamanan yang berarti bagi penumpang.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta, selaku pengelola transjakarta, adalah mempertahankan penumpang yang ada agar tidak beralih ke kendaraan pribadi (terutama motor) dan menarik pengguna mobil pribadi agar mau beralih ke transjakarta.
Upaya yang pertama dapat dilakukan dengan cara mempertahankan tarif busway agar tetap kompetitif jika dibandingkan dengan naik motor. Sementara upaya kedua dapat dilakukan dengan peningkatan pelayanan agar masa tunggu di halte tidak terlalu lama, tidak berjubel di dalam bus, dan tingkat keamanannya meningkat.
Upaya mempertahankan tarif agar tetap kompetitif dapat dilakukan dengan menciptakan efisiensi dan optimalisasi operasional transjakarta itu sendiri serta mempertahankan subsidi yang ada. Bagi masyarakat, subsidi untuk BLU Transjakarta tidak masalah karena itu bagian dari pelayanan umum.
Di semua kota di dunia yang namanya layanan umum disubsidi agar tetap survive. Masyarakat tak akan protes jika Pemda DKI Jakarta memberikan subsidi kepada BLU Transjakarta asalkan tarif busway tetap terjangkau dan pelayanannya bagus. Masyarakat akan protes ketika subsidi besar dan atau tarif tinggi, tapi pelayanannya buruk.
Jadi, ukuran keberhasilan pembangunan BRT di Jakarta sebetulnya terlihat dari seberapa besar animo masyarakat untuk menggunakan moda transportasi tersebut sebagai sarana mobilitas mereka.
Darmaningtyas Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia
23.8.07
Transjakarta sarang korupsi?
Dewan: TransJakarta Tak Beres
Diduga Sarang Korupsi, Bentuk Tim Independen
DPRD DKI Jakarta kian kencang menyoal buruknya pengelolaan TransJakarta. Pembahasan penentuan tarif baru belum beres, kalangan dewan mengendus ada yang tak beres di dalam manajemen badan layanan umum (BLU) ini.
Komisi C DPRD DKI Jakarta juga dibuat kaget saat menggelar audiensi dengan pihak manajemen busway. Ternyata dewan baru tahu bahwa gaji presiden direktur sebesar Rp 27 juta. Sementara gaji komisarisnya sebesar Rp 25 juta.
Fakta tersebut dianggap berlebihan mengingat selama ini kinerja BLU Transjakarta jauh dari kata maksimal. Sedangkan subsidi untuk biaya operasional terus membengkak dari tahun ke tahun. Untuk tahun ini saja, subsidi yang sudah digelontorkan mencapai Rp 203 miliar. Namun angka itu kemungkinan besar bakal bertambah mengingat biaya operasional dipastikan membengkak.
Di sisi lain, kualitas pelayanan busway kepada para penumpang bukannya semakin membaik tapi justru semakin menurun. Keamanan dan kenyamanan masih menjadi tanda tanya sejumlah pihak. Antrean panjang di setiap halte, jam tunggu yang masih lama, pencopetan, serta aksi sejumlah sopir busway yang kerap ugal-ugalan.
Menurunnya kualitas pelayanan angkutan busway bisa diukur selama delapan bulan terakhir. Data kualitas pelayanan itu akan dipergunakan sebagai patokan untuk menentukan besaran tarif yang bakal disesuaikan. Namun melihat kualitas yang terus merosot, anggota dewan mengusulkan adanya pengkajian ulang terkait besar tarif yang ditetapkan.
"Data-data itu harus banyak disempurnakan. Apalagi, data itu mereka kemukakan untuk prediksi awal tahun. Sementara hingga saat ini sudah berjalan delapan bulan," ujar Ketua Komisi C DPRD DKI Daniel Abdullah Sani usai melakukan pembahasan tarif busway di gedung dewan kemarin.
Tragisnya, selama delapan bulan tersebut, pelayanan masih tidak maksimal. Sehingga, usulan tarif yang bakal dibebankan kepada penumpang tak bisa diterapkan begitu saja. "Jadi harus diperbarui hingga besaran menjadi realistis," ungkapnya.
Merosotnya kualitas pelayanan busway itu sangat disayangkan mengingat selama ini kucuran subsidi sangat besar. Sehingga, ketika terungkap gaji presiden direktur TransJakarta mencapai Rp 27 juta kalangan dewan pun lantas bertanya-tanya. "Gaji dewan saja tidak sampai segitu. Ini jelas harus diaudit. Selama ini kami tak pernah mendapat laporan tersebut. Itu kan diambilkan dari APBD. Artinya kan duit rakyat," ujar Wakil DPRD DKI Ilal Ferhard menanggapi besarya gaji yang diterima para petinggi BLU tersebut.
Dalam waktu dekat ini, seluruh komisi yang ada di DPRD, kata dia, akan mencermati persoalan tersebut. Baik dari sisi organisasi BLU, biaya pengeluaran operasional, pemasukan, hasil penjualan tiket serta kualitas pelayanan. Pihaknya juga akan mengusulkan dibentuknya tim independen yang akan mengaudit BLU. Sebab, tingginya gaji yang diterima para petinggi BLU dengan mencermati kondisi yang ada sangat memungkinkan terjadinya korupsi di tubuh perusahaan daerah itu. "Kemungkinan besar menjadi sarang korupsi itu pasti ada. Makanya biar tim yang akan mengaudit. Kalau independen kan netral. Tidak di bawah eksekutif maupun dewan," ungkapnya. (aak)
Diduga Sarang Korupsi, Bentuk Tim Independen
DPRD DKI Jakarta kian kencang menyoal buruknya pengelolaan TransJakarta. Pembahasan penentuan tarif baru belum beres, kalangan dewan mengendus ada yang tak beres di dalam manajemen badan layanan umum (BLU) ini.
Komisi C DPRD DKI Jakarta juga dibuat kaget saat menggelar audiensi dengan pihak manajemen busway. Ternyata dewan baru tahu bahwa gaji presiden direktur sebesar Rp 27 juta. Sementara gaji komisarisnya sebesar Rp 25 juta.
Fakta tersebut dianggap berlebihan mengingat selama ini kinerja BLU Transjakarta jauh dari kata maksimal. Sedangkan subsidi untuk biaya operasional terus membengkak dari tahun ke tahun. Untuk tahun ini saja, subsidi yang sudah digelontorkan mencapai Rp 203 miliar. Namun angka itu kemungkinan besar bakal bertambah mengingat biaya operasional dipastikan membengkak.
Di sisi lain, kualitas pelayanan busway kepada para penumpang bukannya semakin membaik tapi justru semakin menurun. Keamanan dan kenyamanan masih menjadi tanda tanya sejumlah pihak. Antrean panjang di setiap halte, jam tunggu yang masih lama, pencopetan, serta aksi sejumlah sopir busway yang kerap ugal-ugalan.
Menurunnya kualitas pelayanan angkutan busway bisa diukur selama delapan bulan terakhir. Data kualitas pelayanan itu akan dipergunakan sebagai patokan untuk menentukan besaran tarif yang bakal disesuaikan. Namun melihat kualitas yang terus merosot, anggota dewan mengusulkan adanya pengkajian ulang terkait besar tarif yang ditetapkan.
"Data-data itu harus banyak disempurnakan. Apalagi, data itu mereka kemukakan untuk prediksi awal tahun. Sementara hingga saat ini sudah berjalan delapan bulan," ujar Ketua Komisi C DPRD DKI Daniel Abdullah Sani usai melakukan pembahasan tarif busway di gedung dewan kemarin.
Tragisnya, selama delapan bulan tersebut, pelayanan masih tidak maksimal. Sehingga, usulan tarif yang bakal dibebankan kepada penumpang tak bisa diterapkan begitu saja. "Jadi harus diperbarui hingga besaran menjadi realistis," ungkapnya.
Merosotnya kualitas pelayanan busway itu sangat disayangkan mengingat selama ini kucuran subsidi sangat besar. Sehingga, ketika terungkap gaji presiden direktur TransJakarta mencapai Rp 27 juta kalangan dewan pun lantas bertanya-tanya. "Gaji dewan saja tidak sampai segitu. Ini jelas harus diaudit. Selama ini kami tak pernah mendapat laporan tersebut. Itu kan diambilkan dari APBD. Artinya kan duit rakyat," ujar Wakil DPRD DKI Ilal Ferhard menanggapi besarya gaji yang diterima para petinggi BLU tersebut.
Dalam waktu dekat ini, seluruh komisi yang ada di DPRD, kata dia, akan mencermati persoalan tersebut. Baik dari sisi organisasi BLU, biaya pengeluaran operasional, pemasukan, hasil penjualan tiket serta kualitas pelayanan. Pihaknya juga akan mengusulkan dibentuknya tim independen yang akan mengaudit BLU. Sebab, tingginya gaji yang diterima para petinggi BLU dengan mencermati kondisi yang ada sangat memungkinkan terjadinya korupsi di tubuh perusahaan daerah itu. "Kemungkinan besar menjadi sarang korupsi itu pasti ada. Makanya biar tim yang akan mengaudit. Kalau independen kan netral. Tidak di bawah eksekutif maupun dewan," ungkapnya. (aak)
22.8.07
Tarif Tidak Naik
Tarif Bus Transjakarta Tak Perlu Naik
Jakarta, kompas - Rapat antara DPRD Provinsi DKI Jakarta bersama Dewan Transportasi Kota dan Badan Layanan Umum Transjakarta, Selasa (21/8), terpaksa ditunda lagi sampai batas yang tidak ditentukan. Akibatnya, masalah penentuan kenaikan tarif bus transjakarta pun kembali tidak jelas.
Selasa pekan lalu Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Maringan Pangaribuan menunda rapat kenaikan tarif karena ketidakhadiran pimpinan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.
Alasan serupa dilontarkan lagi Selasa kemarin, yaitu pimpinan BLU sedang mengikuti pelatihan.
"Tarif transjakarta tidak perlu naik. Dari hasil perhitungan DTK (Dewan Transportasi Kota), dengan tarif yang berlaku saat ini dan subsidi pemerintah sebesar Rp 203 miliar per tahun, BLU Transjakarta masih surplus pendapatan. Hal ini sudah pernah dihitung bersama antara DTK dan BLU Transjakarta," kata Koordinator Penelitian dan Pengembangan Komisi II DTK Trisbiantara, kemarin.
DTK dan DPRD DKI Jakarta juga sepakat, yang perlu diubah dan diperbaiki adalah manajemen BLU Transjakarta. DPRD DKI menuntut dilakukan audit finansial, termasuk audit subsidi, dan audit kinerja. Dalam waktu dekat, perlu segera ada perbaikan pelayanan, seperti menambah kapasitas penumpang dengan bus gandeng.
Di masa depan, BLU Transjakarta harus diprivatisasi. Namun, bukan berarti tanpa subsidi pemerintah. Pemprov DKI dan pemerintah pusat hanya menyalurkan subsidi dalam bentuk pengadaan infrastruktur. "Subsidi ini hanya sekali dilakukan dan dianggap hilang," kata Trisbiantara. (nel)
Jakarta, kompas - Rapat antara DPRD Provinsi DKI Jakarta bersama Dewan Transportasi Kota dan Badan Layanan Umum Transjakarta, Selasa (21/8), terpaksa ditunda lagi sampai batas yang tidak ditentukan. Akibatnya, masalah penentuan kenaikan tarif bus transjakarta pun kembali tidak jelas.
Selasa pekan lalu Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Maringan Pangaribuan menunda rapat kenaikan tarif karena ketidakhadiran pimpinan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.
Alasan serupa dilontarkan lagi Selasa kemarin, yaitu pimpinan BLU sedang mengikuti pelatihan.
"Tarif transjakarta tidak perlu naik. Dari hasil perhitungan DTK (Dewan Transportasi Kota), dengan tarif yang berlaku saat ini dan subsidi pemerintah sebesar Rp 203 miliar per tahun, BLU Transjakarta masih surplus pendapatan. Hal ini sudah pernah dihitung bersama antara DTK dan BLU Transjakarta," kata Koordinator Penelitian dan Pengembangan Komisi II DTK Trisbiantara, kemarin.
DTK dan DPRD DKI Jakarta juga sepakat, yang perlu diubah dan diperbaiki adalah manajemen BLU Transjakarta. DPRD DKI menuntut dilakukan audit finansial, termasuk audit subsidi, dan audit kinerja. Dalam waktu dekat, perlu segera ada perbaikan pelayanan, seperti menambah kapasitas penumpang dengan bus gandeng.
Di masa depan, BLU Transjakarta harus diprivatisasi. Namun, bukan berarti tanpa subsidi pemerintah. Pemprov DKI dan pemerintah pusat hanya menyalurkan subsidi dalam bentuk pengadaan infrastruktur. "Subsidi ini hanya sekali dilakukan dan dianggap hilang," kata Trisbiantara. (nel)
Setiap Hari, 12 Bus TransJakarta Rusak
SINAR HARAPAN - Setiap hari sekitar 12 bus TransJakarta yang melintasi jalur Blok M- Kota rusak, meliputi 10 bus merek Daewoo dan dua bus Mercedes Benz. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah bus yang dioperasikan berkurang.
Hal itu dikemukakan Rene Nunumete, Manajer Pengendalian Bantuan Layanan Umum (BLU) TransJakarta kepada SH, baru-baru ini, di Balai Kota ketika dikonfirmasi mengenai pelayanan busway yang masih memprihatinkan karena lama penumpang harus menunggu bus di halte.
Menurut Rene, setiap hari sekitar 10 bus dari 114 bus merek Daewoo yang dioperasikan mengalami kerusakan. Akibatnya, bus-bus tersebut tidak dioperasikan karena harus menunggu perbaikan dan ini tentu berdampak pada pelayanan. Kerusakan bus Daewoo ini, biasanya pada bagian AC, pintu dan mesin.
Kerusakan bus juga terjadi pada bus Mercedes Benz yang dioperasikan di sepanjang jalur Blok M-Kota. Setiap hari rata-rata dua bus yang rusak. Hanya saja, kerusakan bus merek Mercedez pada umumnya kecil karena hanya berupa goresan.
Sisi lain yang menyebabkan penumpang harus berlama-lama menunggu bus, juga karena bus harus mengisi bahan bakar. Untuk mengisi bahan bakar dua kali sehari, memerlukan waktu dua jam. Sejam diperlukan untuk pergi mengisi gas dan sejam lagi untuk perjalanan pulang.
Ketika ditanya bagaimana dengan pembatasan atau pengurangan bus dalam upaya menghemat biaya karena kalau semua dioperasikan maka biaya sangat tinggi, Rene mengakui sampai saat ini masih ada pengurangan atau pembatasan pengoperasian bus. Hanya saja, jumlahnya sangat kecil dan itu pun terkait dengan sepinya penumpang pada saat tertentu.
Dia mengatakan, untuk koridor I dan III masih ada pengurangan bus saat-saat sepi penumpang. Pengurangan bus ini sifatnya sangat kondisional. Artinya, kalau sepi baru ditarik busnya. Saat ini, sebanyak 82 bus dioperasikan di koridor I dan 47 bus di koridor III.
Sementara itu, koridor II Pulo Gadung-Harmoni, dari 47 bus tidak ada pengurangan. Alasannya, sepanjang jalur ini banyak penumpang sehingga tidak dikurangi. Koridor VII sebanyak dua bus dikurangi dari 30 bus yang dioperasikan dan koridor V, sebanyak dua unit dikurangi dari 34 bus yang dioperasikan.
Koridor VI sebanyak 31 unit dan koridor IV sebanyak 30 unit yang dioperasikan, tidak ada pengurangan bus karena padat penumpang di jalur-jalur ini.
Mengenai bus kosong yang terus melaju melewati halte-halte yang banyak penumpang sedang menunggu bus, Rene mengatakan, itu bukan suatu kesengajaan untuk tidak mengangkut penumpang. Bus itu tidak berhenti di halte karena harus segera pulang mengisi gas.
Sementara itu, rencana kenaikan tarif busway sampai sekarang belum ada keputusan. Bahkan, Gubernur Jakarta Sutiyoso mengatakan, masalah kenaikan tarif sebaiknya ditanyakan ke DPRD Jakarta. Alasannya, dia sudah memberikan tiga alternatif kenaikan tarif, Rp 5.000, Rp 5.500 dan Rp 6.000. Hingga kini DPRD Jakarta belum menyetujui kenaikan tarif busway. (andreas piatu)
Hal itu dikemukakan Rene Nunumete, Manajer Pengendalian Bantuan Layanan Umum (BLU) TransJakarta kepada SH, baru-baru ini, di Balai Kota ketika dikonfirmasi mengenai pelayanan busway yang masih memprihatinkan karena lama penumpang harus menunggu bus di halte.
Menurut Rene, setiap hari sekitar 10 bus dari 114 bus merek Daewoo yang dioperasikan mengalami kerusakan. Akibatnya, bus-bus tersebut tidak dioperasikan karena harus menunggu perbaikan dan ini tentu berdampak pada pelayanan. Kerusakan bus Daewoo ini, biasanya pada bagian AC, pintu dan mesin.
Kerusakan bus juga terjadi pada bus Mercedes Benz yang dioperasikan di sepanjang jalur Blok M-Kota. Setiap hari rata-rata dua bus yang rusak. Hanya saja, kerusakan bus merek Mercedez pada umumnya kecil karena hanya berupa goresan.
Sisi lain yang menyebabkan penumpang harus berlama-lama menunggu bus, juga karena bus harus mengisi bahan bakar. Untuk mengisi bahan bakar dua kali sehari, memerlukan waktu dua jam. Sejam diperlukan untuk pergi mengisi gas dan sejam lagi untuk perjalanan pulang.
Ketika ditanya bagaimana dengan pembatasan atau pengurangan bus dalam upaya menghemat biaya karena kalau semua dioperasikan maka biaya sangat tinggi, Rene mengakui sampai saat ini masih ada pengurangan atau pembatasan pengoperasian bus. Hanya saja, jumlahnya sangat kecil dan itu pun terkait dengan sepinya penumpang pada saat tertentu.
Dia mengatakan, untuk koridor I dan III masih ada pengurangan bus saat-saat sepi penumpang. Pengurangan bus ini sifatnya sangat kondisional. Artinya, kalau sepi baru ditarik busnya. Saat ini, sebanyak 82 bus dioperasikan di koridor I dan 47 bus di koridor III.
Sementara itu, koridor II Pulo Gadung-Harmoni, dari 47 bus tidak ada pengurangan. Alasannya, sepanjang jalur ini banyak penumpang sehingga tidak dikurangi. Koridor VII sebanyak dua bus dikurangi dari 30 bus yang dioperasikan dan koridor V, sebanyak dua unit dikurangi dari 34 bus yang dioperasikan.
Koridor VI sebanyak 31 unit dan koridor IV sebanyak 30 unit yang dioperasikan, tidak ada pengurangan bus karena padat penumpang di jalur-jalur ini.
Mengenai bus kosong yang terus melaju melewati halte-halte yang banyak penumpang sedang menunggu bus, Rene mengatakan, itu bukan suatu kesengajaan untuk tidak mengangkut penumpang. Bus itu tidak berhenti di halte karena harus segera pulang mengisi gas.
Sementara itu, rencana kenaikan tarif busway sampai sekarang belum ada keputusan. Bahkan, Gubernur Jakarta Sutiyoso mengatakan, masalah kenaikan tarif sebaiknya ditanyakan ke DPRD Jakarta. Alasannya, dia sudah memberikan tiga alternatif kenaikan tarif, Rp 5.000, Rp 5.500 dan Rp 6.000. Hingga kini DPRD Jakarta belum menyetujui kenaikan tarif busway. (andreas piatu)
19.8.07
187 busgandeng Volvo untuk busway
Melihat pelaksanaan sistem BRT di luarnegeri terkadang kita jadi iri. Rancangannya tampak lebih terencana, transparan, masyarakat dilibatkan — karena ya sasarannya memang untuk masyarakat, kenyamanan masyarakat. Pelaksanaannya lebih serius dan fokus, bukan model tambal sulam seperti yang kita jalani puluhan tahun ini.
Rancangan monorel mungkin menarik bagi semua orang. Subway? Yang terbayang mahalnya biaya dan lamanya pembangunan, sehingga kemacetan akan terus ada hingga tahun 2020, 2050, 2100. Bukankah biaya untuk monorel dan subway lebih baik digunakan untuk menyempurnakan sistem busway dan ruangpublik?
Busway jelas-jelas sudah berjalan dan sejenak kita pernah alami masa nyamannya transportasi publik di Jakarta. Sebaiknya diinvestasikan untuk hal-hal yang mendukung busway. Membeli bus yang lebih nyaman, jumlah bus yang pantas, insentif agar tercapai masa tunggu sependek mungkin, fasilitas Park and Ride yang memadai, ruang-ruang publik yang mendorong orang untuk meninggalkan mobilnya, kampanye, public exposition, dll. Satu urusan bisa jadi akan selesai tuntas dalam setahun ke depan.
Apakah suara para master transportasi publik kita kalah oleh suara pengusaha dan politikus? Sebaiknya masyarakat dilibatkan. Minta bantuan dari publik. Terkadang orang meremehkan publik yang dalam gambaran besarnya bagai kurang terdidik —karena kurangnya sosialisasi. Padahal banyak sekali Phd. Dr. DR. dan lainnya dengan keahliannya masing-masing yang bersedia menyumbang pemikirannya, demi kepentingan bersama...
187 busgandeng Volvo ini bukan untuk Jakarta, tapi untuk Santiago de Cali, Kolumbia (beda dengan Santiago di Chili). Dipesan pada Mei 2007 lalu. Luas kotanya sekitar 5juta km2 (Jakarta lebih dari 6,5juta km2), populasi hanya duajuta lebih jiwa.
Sistem transportasinya dinamakan Masivo Integrado de Occidente (MIO) yang dirancang 2004 dan mulai dibangun April 2006. Anggarannya 308juta dollar untuk: 49km busway (dari 78km jalan utama dan 116km jalan sekunder); 5 terminal utama, 4 terminal 77 stasiun; 655 halte; 31 jembatan penyeberangan; dll.
Koridor utama (troncale) dirancang khusus untuk busgandeng dengan kapasitas 60ribu penumpang per hari. Satu-satunya koridor dengan jalur khusus (busway). Ditopang dengan koridor-koridor Pretroncale dan Complementario tanpa busway.
Pengembangan MIO ini juga dibarengi dengan kampanye kultur bertansportasi, karena banyak hal baru yang perlu dipahami betul oleh masyarakat. Ini sebetulnya kelalaian yang sudah kita alami sendiri. Denah busway Jakarta saja —yang paling utama— baru diedarkan setelah tiga tahun berjalan (dan bukan oleh Pemda), apalagi hal-hal lain seperti tertib antri, akses penyandang cacat dsb.
Seharusnya ada gambaran konkrit, Jakarta yang seperti apa yang ingin dikembangkan. Disosialisasikan agar dipahami publik. Disiplin mulai ditegakkan. Hilangkan segala bentuk toleransi untuk suatu kesalahan. Gandeng masyarakat untuk ikut mengawal agar sasarannya tercapai.
Jika semuanya transparan, publik tentu memilih yang baik untuk publik secara utuh. Bukan untuk kepentingan segelintir pengusaha atau politik.
Rancangan monorel mungkin menarik bagi semua orang. Subway? Yang terbayang mahalnya biaya dan lamanya pembangunan, sehingga kemacetan akan terus ada hingga tahun 2020, 2050, 2100. Bukankah biaya untuk monorel dan subway lebih baik digunakan untuk menyempurnakan sistem busway dan ruangpublik?
Busway jelas-jelas sudah berjalan dan sejenak kita pernah alami masa nyamannya transportasi publik di Jakarta. Sebaiknya diinvestasikan untuk hal-hal yang mendukung busway. Membeli bus yang lebih nyaman, jumlah bus yang pantas, insentif agar tercapai masa tunggu sependek mungkin, fasilitas Park and Ride yang memadai, ruang-ruang publik yang mendorong orang untuk meninggalkan mobilnya, kampanye, public exposition, dll. Satu urusan bisa jadi akan selesai tuntas dalam setahun ke depan.
Apakah suara para master transportasi publik kita kalah oleh suara pengusaha dan politikus? Sebaiknya masyarakat dilibatkan. Minta bantuan dari publik. Terkadang orang meremehkan publik yang dalam gambaran besarnya bagai kurang terdidik —karena kurangnya sosialisasi. Padahal banyak sekali Phd. Dr. DR. dan lainnya dengan keahliannya masing-masing yang bersedia menyumbang pemikirannya, demi kepentingan bersama...
187 busgandeng Volvo ini bukan untuk Jakarta, tapi untuk Santiago de Cali, Kolumbia (beda dengan Santiago di Chili). Dipesan pada Mei 2007 lalu. Luas kotanya sekitar 5juta km2 (Jakarta lebih dari 6,5juta km2), populasi hanya duajuta lebih jiwa.
Sistem transportasinya dinamakan Masivo Integrado de Occidente (MIO) yang dirancang 2004 dan mulai dibangun April 2006. Anggarannya 308juta dollar untuk: 49km busway (dari 78km jalan utama dan 116km jalan sekunder); 5 terminal utama, 4 terminal 77 stasiun; 655 halte; 31 jembatan penyeberangan; dll.
Koridor utama (troncale) dirancang khusus untuk busgandeng dengan kapasitas 60ribu penumpang per hari. Satu-satunya koridor dengan jalur khusus (busway). Ditopang dengan koridor-koridor Pretroncale dan Complementario tanpa busway.
Pengembangan MIO ini juga dibarengi dengan kampanye kultur bertansportasi, karena banyak hal baru yang perlu dipahami betul oleh masyarakat. Ini sebetulnya kelalaian yang sudah kita alami sendiri. Denah busway Jakarta saja —yang paling utama— baru diedarkan setelah tiga tahun berjalan (dan bukan oleh Pemda), apalagi hal-hal lain seperti tertib antri, akses penyandang cacat dsb.
Seharusnya ada gambaran konkrit, Jakarta yang seperti apa yang ingin dikembangkan. Disosialisasikan agar dipahami publik. Disiplin mulai ditegakkan. Hilangkan segala bentuk toleransi untuk suatu kesalahan. Gandeng masyarakat untuk ikut mengawal agar sasarannya tercapai.
Jika semuanya transparan, publik tentu memilih yang baik untuk publik secara utuh. Bukan untuk kepentingan segelintir pengusaha atau politik.
15.8.07
Sistem tiket dan tarif
Pemda Diminta Perbaiki Sistem Tiket “Busway”
SINAR HARAPAN - Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, meminta Pemda Jakarta tidak sekadarnya saja menaikkan tarif busway. Gubernur Sutiyoso diharapkan memberlakukan sistem tiket yang jelas sebelum ongkos busway baru dibebankan kepada penumpang.
“Jangan buru-buru menaikkan tarif. Gubernur harus memberikan kejelasan dan menetapkan dulu sistem ticketing sebelum menaikkan tarif. Jangan sampai memberatkan penumpang,” kata Tigor ketika dihubungi SH, Selasa (14/8) siang.
Dia menyebutkan, ada banyak sistem tiket yang telah diterapkan di sejumlah negara yang dapat diaplikasikan di Jakarta. Misalnya sistem tiket di Australia. Di Negeri Kanguru ini berlaku tarif tiket yang disesuaikan pada waktu. Satu tiket hanya berlaku untuk satu jam saja. Sistem semacam ini dapat diterapkan di Jakarta, asalkan diiringi dengan sistem waktu yang jelas.
“Untuk memberlakukan sistem ini harus diiringi perbaikan sistem waktu. Sebab, sistem waktu busway di Jakarta masih belum jelas dan harus ikut dibenahi,” katanya.
Sementara itu, sistem tiket pada transportasi kereta api di Jepang yang berlaku berdasarkan region juga bisa diterapkan di Jakarta. Misalnya, satu tiket berlaku untuk satu koridor. Untuk pindah ke koridor lain, penumpang harus kembali membayar tiket baru.
Sebelum menaikkan tarif, pemerintah diharapkan melakukan audit keuangan badan layanan umum (BLU) Transjakarta. Subsidi sebesar Rp 210 miliar dari Pemda Jakarta kepada BLU sepatutnya dapat menutupi seluruh pengeluaran dan beban BLU. Menurut penghitungan Organda Jakarta, harga tiket Rp 3.500 per orang masih cukup mahal dengan perhitungan bahwa per kilometer penumpang hanya dibebankan sekitar Rp 2.800.
Pembahasan Gagal
Sementara itu, DPRD Jakarta kembali menunda pembahasan tarif TransJakarta karena baru mendapat data pendukung dari Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta pada rapat yang berlangsung di Gedung DPRD Jakarta, Selasa (14/8) siang.
Wakil Ketua DPRD Jakarta, Maringan Pangaribuan usai rapat yang dihadiri juga dari Dishub Jakarta, Pemda Jakarta serta Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta mengatakan, Dewan belum bisa memutuskan soal tarif baru TransJakarta karena angka-angka dan data baru baru diterima Selasa siang.
Dia menambahkan, pembicaraan mengenai rencana kenaikan tarif TransJakarta itu baru akan dilanjutkan Selasa pekan depan.
Sedangkan, Kepala Dishub Jakarta Nurrachman usai rapat mengatakan, pihaknya siap melengkapi semua data yang dibutuhkan DPRD Jakarta sehingga pembahasan pada Selasa pekan depan berlangsung lancar.
(romauli)
SINAR HARAPAN - Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, meminta Pemda Jakarta tidak sekadarnya saja menaikkan tarif busway. Gubernur Sutiyoso diharapkan memberlakukan sistem tiket yang jelas sebelum ongkos busway baru dibebankan kepada penumpang.
“Jangan buru-buru menaikkan tarif. Gubernur harus memberikan kejelasan dan menetapkan dulu sistem ticketing sebelum menaikkan tarif. Jangan sampai memberatkan penumpang,” kata Tigor ketika dihubungi SH, Selasa (14/8) siang.
Dia menyebutkan, ada banyak sistem tiket yang telah diterapkan di sejumlah negara yang dapat diaplikasikan di Jakarta. Misalnya sistem tiket di Australia. Di Negeri Kanguru ini berlaku tarif tiket yang disesuaikan pada waktu. Satu tiket hanya berlaku untuk satu jam saja. Sistem semacam ini dapat diterapkan di Jakarta, asalkan diiringi dengan sistem waktu yang jelas.
“Untuk memberlakukan sistem ini harus diiringi perbaikan sistem waktu. Sebab, sistem waktu busway di Jakarta masih belum jelas dan harus ikut dibenahi,” katanya.
Sementara itu, sistem tiket pada transportasi kereta api di Jepang yang berlaku berdasarkan region juga bisa diterapkan di Jakarta. Misalnya, satu tiket berlaku untuk satu koridor. Untuk pindah ke koridor lain, penumpang harus kembali membayar tiket baru.
Sebelum menaikkan tarif, pemerintah diharapkan melakukan audit keuangan badan layanan umum (BLU) Transjakarta. Subsidi sebesar Rp 210 miliar dari Pemda Jakarta kepada BLU sepatutnya dapat menutupi seluruh pengeluaran dan beban BLU. Menurut penghitungan Organda Jakarta, harga tiket Rp 3.500 per orang masih cukup mahal dengan perhitungan bahwa per kilometer penumpang hanya dibebankan sekitar Rp 2.800.
Pembahasan Gagal
Sementara itu, DPRD Jakarta kembali menunda pembahasan tarif TransJakarta karena baru mendapat data pendukung dari Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta pada rapat yang berlangsung di Gedung DPRD Jakarta, Selasa (14/8) siang.
Wakil Ketua DPRD Jakarta, Maringan Pangaribuan usai rapat yang dihadiri juga dari Dishub Jakarta, Pemda Jakarta serta Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta mengatakan, Dewan belum bisa memutuskan soal tarif baru TransJakarta karena angka-angka dan data baru baru diterima Selasa siang.
Dia menambahkan, pembicaraan mengenai rencana kenaikan tarif TransJakarta itu baru akan dilanjutkan Selasa pekan depan.
Sedangkan, Kepala Dishub Jakarta Nurrachman usai rapat mengatakan, pihaknya siap melengkapi semua data yang dibutuhkan DPRD Jakarta sehingga pembahasan pada Selasa pekan depan berlangsung lancar.
(romauli)
14.8.07
Paradigma Kampungan
Sutiyoso: Ubah Paradigma Kampungan ke Metropolitan
Warga disarankan lebih banyak memanfaatkan kendaraan publik.
REPUBLIKA -- Masyarakat diminta mengubah paradigma dalam tertib lalu lintas. Selain itu, warga juga disarankan lebih banyak memanfaatkan kendaraan publik dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, perubahan paradigma dalam tertib lalu lintas ini menyusul upaya pemerintah provinsi (pemprov) yang sudah mencanangkan pola transportasi makro (PTM). Dengan demikian, masyarakat tidak lagi direpotkan dengan fasilitas transportasi publik yang terus dikembangkan.
''Paradigma kampungan harus diubah ke paradigma metropolitan. Dalam pemanfaatan transportasi publik harus diimbangi dengan pelayanan yang prima, seperti di Terminal Kalideres kali ini sudah tersedia rest area maupun park and Ride (area istirahat dan lahan parkir),'' ujar Sutiyoso dalam sambutan peresmian rest area dan peletakan batu pertama park and ride di Terminal Kalideres, Jakarta, Senin (13/8). Dengan demikian, lanjutnya, masyarakat pengguna bus TransJakarta bisa memarkir kendaraannya di terminal.
Sutiyoso menjelaskan, dalam pola PTM, pemerintah sudah optimal meningkatkan pelayanan transportasi publik. Untuk bus TransJakarta, saat ini sudah tersedia tujuh koridor, dan tahun ini ditarget menjadi 10 koridor. Kemudian proyek waterway sudah berjalan, meski belum efektif. Selanjutnya proyek subway. Untuk proyek ini ada bank di Jepang yang sudah siap membantu pendanaan. ''Kemudian proyek monorel tiang pancang sudah disediakan, dan Insya Allah akan terwujud.
Perubahan paradigma juga disoroti mengenai penggunaan jalur bus TransJakarta. Sutiyoso mengaku saat menuju ke Terminal Kalideres, melihat dua kendaraan sepeda motor yang melaju ke jalur busway. Maka tidak heran, katanya, dua hari lalu dia mendengar ada informasi dua warga tewas ketika melaju di jalur bus TransJakarta.
''Paradigma ini yang harus diubah, pemerintah menyediakan sarana masyarakat harus ikut menertibkan dan mematuhi peraturan lalu lintas. Saya juga meminta petugas polantas dan petugas Dishub menindak tegas pengguna jalan yang melaju ke jalur busway. Begitu juga masyarakat saatnya beralih ke transportasi publik,'' paparnya.
Sutiyoso mengatakan guna menambah kenyamanan pengguna bus TransJakarta tapi menggunakan kendaraan pribadi, saat ini di Terminal Kalideres telah disediakan lapangan parkir kendaraan pribadi seluas 3.820 meter persegi. Penumpang kendaraan pribadi yang ingin naik bus TransJakarta dapat memarkirkan kendaraannya terlebih dahulu.
Kepala Dinas Perhubungan Nurachman, menjelaskan, kawasan park and ride ini berkapasitas 122 unit kendaraan roda empat ditambah 36 unit parkir kendaraan roda dua serta 20 lahan parkir sepeda biasa.
Sutiyoso menjelaskan, park and ride diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai area parkir saja tetapi dapat dikembangkan sebagai tempat fasilitas penunjang seperti pertokoan, rest area serta area makanan. Untuk rest area (tempat releks) berada di 1.200 meter persegi, yang tersedia 12 ruang usaha, sepuluh di antaranya food court, tempat ATM serta toko berbagai assesoris.
"Akhir tahun ini akan dikembangkan di Terminal Kampung Rambutan dan Ragunan. Tahun depan akan disediakan di Terminal Rawa Buaya," jelas Sutiyoso.
Fakta Angka: 3.820 M2 Luas lapangan parkir untuk kendaraan pribadi
Warga disarankan lebih banyak memanfaatkan kendaraan publik.
REPUBLIKA -- Masyarakat diminta mengubah paradigma dalam tertib lalu lintas. Selain itu, warga juga disarankan lebih banyak memanfaatkan kendaraan publik dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, perubahan paradigma dalam tertib lalu lintas ini menyusul upaya pemerintah provinsi (pemprov) yang sudah mencanangkan pola transportasi makro (PTM). Dengan demikian, masyarakat tidak lagi direpotkan dengan fasilitas transportasi publik yang terus dikembangkan.
''Paradigma kampungan harus diubah ke paradigma metropolitan. Dalam pemanfaatan transportasi publik harus diimbangi dengan pelayanan yang prima, seperti di Terminal Kalideres kali ini sudah tersedia rest area maupun park and Ride (area istirahat dan lahan parkir),'' ujar Sutiyoso dalam sambutan peresmian rest area dan peletakan batu pertama park and ride di Terminal Kalideres, Jakarta, Senin (13/8). Dengan demikian, lanjutnya, masyarakat pengguna bus TransJakarta bisa memarkir kendaraannya di terminal.
Sutiyoso menjelaskan, dalam pola PTM, pemerintah sudah optimal meningkatkan pelayanan transportasi publik. Untuk bus TransJakarta, saat ini sudah tersedia tujuh koridor, dan tahun ini ditarget menjadi 10 koridor. Kemudian proyek waterway sudah berjalan, meski belum efektif. Selanjutnya proyek subway. Untuk proyek ini ada bank di Jepang yang sudah siap membantu pendanaan. ''Kemudian proyek monorel tiang pancang sudah disediakan, dan Insya Allah akan terwujud.
Perubahan paradigma juga disoroti mengenai penggunaan jalur bus TransJakarta. Sutiyoso mengaku saat menuju ke Terminal Kalideres, melihat dua kendaraan sepeda motor yang melaju ke jalur busway. Maka tidak heran, katanya, dua hari lalu dia mendengar ada informasi dua warga tewas ketika melaju di jalur bus TransJakarta.
''Paradigma ini yang harus diubah, pemerintah menyediakan sarana masyarakat harus ikut menertibkan dan mematuhi peraturan lalu lintas. Saya juga meminta petugas polantas dan petugas Dishub menindak tegas pengguna jalan yang melaju ke jalur busway. Begitu juga masyarakat saatnya beralih ke transportasi publik,'' paparnya.
Sutiyoso mengatakan guna menambah kenyamanan pengguna bus TransJakarta tapi menggunakan kendaraan pribadi, saat ini di Terminal Kalideres telah disediakan lapangan parkir kendaraan pribadi seluas 3.820 meter persegi. Penumpang kendaraan pribadi yang ingin naik bus TransJakarta dapat memarkirkan kendaraannya terlebih dahulu.
Kepala Dinas Perhubungan Nurachman, menjelaskan, kawasan park and ride ini berkapasitas 122 unit kendaraan roda empat ditambah 36 unit parkir kendaraan roda dua serta 20 lahan parkir sepeda biasa.
Sutiyoso menjelaskan, park and ride diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai area parkir saja tetapi dapat dikembangkan sebagai tempat fasilitas penunjang seperti pertokoan, rest area serta area makanan. Untuk rest area (tempat releks) berada di 1.200 meter persegi, yang tersedia 12 ruang usaha, sepuluh di antaranya food court, tempat ATM serta toko berbagai assesoris.
"Akhir tahun ini akan dikembangkan di Terminal Kampung Rambutan dan Ragunan. Tahun depan akan disediakan di Terminal Rawa Buaya," jelas Sutiyoso.
Fakta Angka: 3.820 M2 Luas lapangan parkir untuk kendaraan pribadi
Warga Italia tewas
Wanita Italia Tewas Ditabrak Busway
TEMPO Interaktif, Jakarta: Daria Fusco, 31 tahun, seorang guru berkebangsaan Itali tewas setelah tertabrak busway di jalan Medan Merdeka Barat kemarin sore, Senin (13/8) pukul 16.15 wib. Menurut laporan Traffic Management Center Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya perempuan itu tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Menurut petugas dari Polsek Gambir Aiptu Cahaerudin saat itu korban baru saja turun dari sebuah taxi melalui pintu di sebelah kanan dan hendak menyebrang. Namun pada saat yang bersamaan Busway dengan nomor polisi B 7743 IS sedang melaju ke arah utara.
Lokasi kejadian, menurut Cahaerudin, berada di depan kantor Departemen Pertahanan RI. Pada saat kejadian arus lalu lintas di jalur arteri cukup padat. "Diduga pengemudi bus kurang hati-hati sehingga menabrak penyeberang jalan," lapornya.
Daria yang beralamat di jalan Diponegoro 45 Menteng Jakarta Pusat itu mengalami luka pecah di bagian kepala dan luka robek di kening. Sementara supir busway Euguene Theodore Rosidi, 35 tahun warga Kampung Paragajen desa Cibeureum Rt.01/06 Cisarua Bogor.| Kartika Candra
TEMPO Interaktif, Jakarta: Daria Fusco, 31 tahun, seorang guru berkebangsaan Itali tewas setelah tertabrak busway di jalan Medan Merdeka Barat kemarin sore, Senin (13/8) pukul 16.15 wib. Menurut laporan Traffic Management Center Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya perempuan itu tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Menurut petugas dari Polsek Gambir Aiptu Cahaerudin saat itu korban baru saja turun dari sebuah taxi melalui pintu di sebelah kanan dan hendak menyebrang. Namun pada saat yang bersamaan Busway dengan nomor polisi B 7743 IS sedang melaju ke arah utara.
Lokasi kejadian, menurut Cahaerudin, berada di depan kantor Departemen Pertahanan RI. Pada saat kejadian arus lalu lintas di jalur arteri cukup padat. "Diduga pengemudi bus kurang hati-hati sehingga menabrak penyeberang jalan," lapornya.
Daria yang beralamat di jalan Diponegoro 45 Menteng Jakarta Pusat itu mengalami luka pecah di bagian kepala dan luka robek di kening. Sementara supir busway Euguene Theodore Rosidi, 35 tahun warga Kampung Paragajen desa Cibeureum Rt.01/06 Cisarua Bogor.| Kartika Candra
Bola tarif ada di DPRD
Sutiyoso Minta DPRD Tak Gantung Tarif Busway
Suara Karya: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meminta DPRD DKI Jakarta untuk segera mengambil keputusan penetapan kenaikan tarif busway.
"Dewan jangan menggantung masalah tarif busway yang kita diusulkan," kata Sutiyoso di sela-sela peresmian Rest & Area dan peletakan batu pertama pembangunan Park & Ride di Terminal Antarkota Antarprovinsi (AKAP) Kalideres, Jakbar, Senin (13/8).
Sutiyoso menegaskan, sekarang ini para pengguna bus Transjakarta harus lama menunggu di setiap halte busway. Hal ini, kata dia, karena adanya pengurangan jumlah armada. "Pengurangan armada itu dilakukan untuk mengurangi beban subsidi karena pemasukan dari penjualan tiket lebih kecil dari pengeluaran untuk operasional," kata dia.
Sutiyoso menambahkan, pihaknya mengusulkan kepada DPRD untuk menaikkan tarif busway atau menambah subsidi yang saat ini mencapai Rp 203 miliar untuk tarif Rp 3.500 per tiket.
"Bila tiketnya tetap Rp 3.500, maka kita harus menambah subsidi sebesar Rp 55 miliar," katanya. "Dan bila diambil jalan tengah, yakni tarif dinaikkan menjadi Rp 5.000, maka subsidi yang dibutuhkan hanya Rp 18 miliar," katanya.
Bila tarif busway tetap Rp 3.500 dan subsidi yang dikeluarkan juga tetap sebesar Rp 203 miliar, sementara armada, sopir, dan petugas keamanannya bertambah, maka Transjakarta akan merugi.
"Mana ada perusahaan yang mau merugi, tapi tetap beroperasi," kata Sutiyoso lagi. "Dan untuk tetap beroperasi maka armadanya terpaksa dikurangi," imbuhnya. Oleh karena itu, Sutiyoso mendesak DPRD jangan menggantung masalah kenaikan tarif busway tersebut.
Pemprov, kata dia, tidak akan mengambil untung dari program transportasi makro (PTM) busway itu.
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna sebelumnya mengatakan, pihaknya sedang membentuk tim khusus yang mengkaji kemungkinan kenaikan tarif busway tersebut.
"Kita masih menunggu kerja tim DPRD yang terdiri dari Komisi D dan A, tetapi mereka juga belum bisa membuat keputusan karena masih menunggu evaluasi dari BLU Transjakarta dan tim independen yang sampai saat ini belum diberikan. Kita jangan disalahkan melulu, dong. Mana mungkin kita putuskan sebelum ada evaluasi dari BLU," kata Ade Surapriatna. (Yon Parjiyono)
Tarif Busway Naik
Harus Ada Perubahan Pengelolaan Busway
[SUARA PEMBARUAN] Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus memastikan adanya perubahan pengelolaan bus jalur khusus (busway), baik dari sistem manajemen, pelayanan dan tiket, sebelum mematok tarif baru.
Menurut Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRD DKI Jakarta, Sayogo Hendrosubroto, perubahan sistem manajemen, pelayanan, dan tiket sangat penting agar tidak terjadi lagi persoalan yang membuat pelayanan busway memburuk dan masyarakat terus dibebani kenaikan tarif.
Dia mengungkapkan, persoalan yang dialami BLU TransJakarta selaku pengelola busway, bukan disebabkan tarif busway yang murah, tetapi sistem manajemen yang tidak transparan, pelayanan yang tidak memiliki standardisasi, dan sistem tiket yang manual dan flat fare (harga tetap) untuk semua koridor.
"Jadi, persoalannya bukan menaikkan tarif atau tidak, tetapi apa jaminan dari Pemprov DKI untuk pelayanan setelah tarif busway dinaikkan? Kalau tidak ada perubahan sistem manajemen, pelayanan, dan tiket, berarti enggak adil dong bagi masyarakat," kata Sayogo, kepada SP, di Jakarta, Selasa (14/8).
Seperti diketahui, Pemprov DKI memberikan tiga usulan kenaikan tarif busway, yakni Rp 5.000, atau Rp 5.500, atau Rp 6.000/penumpang. Usulan tersebut, disesuaikan dengan besaran subsidi yang diberikan untuk operasional busway, antara lain untuk subsidi tiket. Usulan tersebut, telah disampaikan Pemprov DKI kepada DPRD DKI sejak pertengahan Juli 2007.
Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berharap, dalam minggu ini DPRD DKI sudah dapat memberikan persetujuan kenaikan tarif busway dan menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. "Kalau bisa dalam minggu ini, dewan sudah membuat keputusan soal kenaikan tarif busway, supaya persoalan yang ada dapat segera diatasi," kata Sutiyoso, di sela-sela acara peresmian Rest Area dan peletakan batu pertama park and ride busway di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Senin (13/8) siang.
Namun Sayogo menegaskan, keputusan DPRD untuk menyetujui usulan kenaikan tarif busway yang diajukan Pemprov DKI, akan sangat bergantung pada penjelasan unit terkait tentang pengelolaan busway selama ini. Selain mempertimbangkan kemampuan APBD DKI untuk memberikan subsidi, dewan juga akan mempertimbangkan kemampuan atau daya beli masyarakat terhadap tarif tiket busway.
Terkait dengan itu, dewan juga akan menilai sejauh mana efisiensi betul-betul diterapkan BLU TransJakarta, terutama untuk operasional busway pada jam kosong dan hari libur.
Penyelewengan
Sayogo menilai, salah satu penyebab persoalan yang dialami BLU TransJakarta adalah belum adanya perubahan sistem tiket. Penanganan sistem tiket secara manual, sangat rentan dengan penyelewengan dan sulit untuk diawasi.
"Kalau sistem tiketnya terkomputerisasi, kita bisa pantau berapa pemasukan dari penjualan tiket secara real. Kita juga bisa melihat jumlah penumpangnya, mana yang naik satu koridor, mana yang berpindah koridor. Bukan seperti sekarang, data-datanya tidak jelas, hanya perkiraan," kata Sayogo.
Terkait dengan itu, dia mengusulkan, Pemprov DKI segera mengubah sistem tiket. Sebaiknya, ada pembedaan untuk penumpang yang menggunakan satu koridor saja (single trip) dan penumpang yang menggunakan dua koridor atau lebih (multi trip).
Pembedaan tersebut, dapat dilakukan pada harga tiket untuk satu trip dan beberapa trip. Penumpang nantinya diberi pilihan apakah mau membeli tiket satu trip atau lebih.
"Jadi tarif yang diberikan lebih adil. Masyarakat yang menumpang busway di satu koridor saja, tentu tidak mau harga tiketnya sama dengan penumpang yang berpindah-pindah koridor," ujar Sayogo.
Dia menambahkan, perbedaan sistem tiket satu trip dan lebih dari stau trip, juga akan mempermudah pengawasan terhadap pemasukan dari penjualan tiket dan jumlah pengguna busway yang berpindah koridor atau tidak. [J-9]
Suara Karya: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meminta DPRD DKI Jakarta untuk segera mengambil keputusan penetapan kenaikan tarif busway.
"Dewan jangan menggantung masalah tarif busway yang kita diusulkan," kata Sutiyoso di sela-sela peresmian Rest & Area dan peletakan batu pertama pembangunan Park & Ride di Terminal Antarkota Antarprovinsi (AKAP) Kalideres, Jakbar, Senin (13/8).
Sutiyoso menegaskan, sekarang ini para pengguna bus Transjakarta harus lama menunggu di setiap halte busway. Hal ini, kata dia, karena adanya pengurangan jumlah armada. "Pengurangan armada itu dilakukan untuk mengurangi beban subsidi karena pemasukan dari penjualan tiket lebih kecil dari pengeluaran untuk operasional," kata dia.
Sutiyoso menambahkan, pihaknya mengusulkan kepada DPRD untuk menaikkan tarif busway atau menambah subsidi yang saat ini mencapai Rp 203 miliar untuk tarif Rp 3.500 per tiket.
"Bila tiketnya tetap Rp 3.500, maka kita harus menambah subsidi sebesar Rp 55 miliar," katanya. "Dan bila diambil jalan tengah, yakni tarif dinaikkan menjadi Rp 5.000, maka subsidi yang dibutuhkan hanya Rp 18 miliar," katanya.
Bila tarif busway tetap Rp 3.500 dan subsidi yang dikeluarkan juga tetap sebesar Rp 203 miliar, sementara armada, sopir, dan petugas keamanannya bertambah, maka Transjakarta akan merugi.
"Mana ada perusahaan yang mau merugi, tapi tetap beroperasi," kata Sutiyoso lagi. "Dan untuk tetap beroperasi maka armadanya terpaksa dikurangi," imbuhnya. Oleh karena itu, Sutiyoso mendesak DPRD jangan menggantung masalah kenaikan tarif busway tersebut.
Pemprov, kata dia, tidak akan mengambil untung dari program transportasi makro (PTM) busway itu.
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna sebelumnya mengatakan, pihaknya sedang membentuk tim khusus yang mengkaji kemungkinan kenaikan tarif busway tersebut.
"Kita masih menunggu kerja tim DPRD yang terdiri dari Komisi D dan A, tetapi mereka juga belum bisa membuat keputusan karena masih menunggu evaluasi dari BLU Transjakarta dan tim independen yang sampai saat ini belum diberikan. Kita jangan disalahkan melulu, dong. Mana mungkin kita putuskan sebelum ada evaluasi dari BLU," kata Ade Surapriatna. (Yon Parjiyono)
Tarif Busway Naik
Harus Ada Perubahan Pengelolaan Busway
[SUARA PEMBARUAN] Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus memastikan adanya perubahan pengelolaan bus jalur khusus (busway), baik dari sistem manajemen, pelayanan dan tiket, sebelum mematok tarif baru.
Menurut Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRD DKI Jakarta, Sayogo Hendrosubroto, perubahan sistem manajemen, pelayanan, dan tiket sangat penting agar tidak terjadi lagi persoalan yang membuat pelayanan busway memburuk dan masyarakat terus dibebani kenaikan tarif.
Dia mengungkapkan, persoalan yang dialami BLU TransJakarta selaku pengelola busway, bukan disebabkan tarif busway yang murah, tetapi sistem manajemen yang tidak transparan, pelayanan yang tidak memiliki standardisasi, dan sistem tiket yang manual dan flat fare (harga tetap) untuk semua koridor.
"Jadi, persoalannya bukan menaikkan tarif atau tidak, tetapi apa jaminan dari Pemprov DKI untuk pelayanan setelah tarif busway dinaikkan? Kalau tidak ada perubahan sistem manajemen, pelayanan, dan tiket, berarti enggak adil dong bagi masyarakat," kata Sayogo, kepada SP, di Jakarta, Selasa (14/8).
Seperti diketahui, Pemprov DKI memberikan tiga usulan kenaikan tarif busway, yakni Rp 5.000, atau Rp 5.500, atau Rp 6.000/penumpang. Usulan tersebut, disesuaikan dengan besaran subsidi yang diberikan untuk operasional busway, antara lain untuk subsidi tiket. Usulan tersebut, telah disampaikan Pemprov DKI kepada DPRD DKI sejak pertengahan Juli 2007.
Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berharap, dalam minggu ini DPRD DKI sudah dapat memberikan persetujuan kenaikan tarif busway dan menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. "Kalau bisa dalam minggu ini, dewan sudah membuat keputusan soal kenaikan tarif busway, supaya persoalan yang ada dapat segera diatasi," kata Sutiyoso, di sela-sela acara peresmian Rest Area dan peletakan batu pertama park and ride busway di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Senin (13/8) siang.
Namun Sayogo menegaskan, keputusan DPRD untuk menyetujui usulan kenaikan tarif busway yang diajukan Pemprov DKI, akan sangat bergantung pada penjelasan unit terkait tentang pengelolaan busway selama ini. Selain mempertimbangkan kemampuan APBD DKI untuk memberikan subsidi, dewan juga akan mempertimbangkan kemampuan atau daya beli masyarakat terhadap tarif tiket busway.
Terkait dengan itu, dewan juga akan menilai sejauh mana efisiensi betul-betul diterapkan BLU TransJakarta, terutama untuk operasional busway pada jam kosong dan hari libur.
Penyelewengan
Sayogo menilai, salah satu penyebab persoalan yang dialami BLU TransJakarta adalah belum adanya perubahan sistem tiket. Penanganan sistem tiket secara manual, sangat rentan dengan penyelewengan dan sulit untuk diawasi.
"Kalau sistem tiketnya terkomputerisasi, kita bisa pantau berapa pemasukan dari penjualan tiket secara real. Kita juga bisa melihat jumlah penumpangnya, mana yang naik satu koridor, mana yang berpindah koridor. Bukan seperti sekarang, data-datanya tidak jelas, hanya perkiraan," kata Sayogo.
Terkait dengan itu, dia mengusulkan, Pemprov DKI segera mengubah sistem tiket. Sebaiknya, ada pembedaan untuk penumpang yang menggunakan satu koridor saja (single trip) dan penumpang yang menggunakan dua koridor atau lebih (multi trip).
Pembedaan tersebut, dapat dilakukan pada harga tiket untuk satu trip dan beberapa trip. Penumpang nantinya diberi pilihan apakah mau membeli tiket satu trip atau lebih.
"Jadi tarif yang diberikan lebih adil. Masyarakat yang menumpang busway di satu koridor saja, tentu tidak mau harga tiketnya sama dengan penumpang yang berpindah-pindah koridor," ujar Sayogo.
Dia menambahkan, perbedaan sistem tiket satu trip dan lebih dari stau trip, juga akan mempermudah pengawasan terhadap pemasukan dari penjualan tiket dan jumlah pengguna busway yang berpindah koridor atau tidak. [J-9]
Parkir Massal
Parkir Massal Dibangun
Pengendara dari Tangerang agar Beralih ke Bus Transjakarta
KOMPAS - Tempat parkir massal bagi pengendara kendaraan pribadi yang ingin beralih ke bus transjakarta (park and ride) dibangun di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Para pengendara kendaraan pribadi dari Jakarta Barat dan Tangerang diharapkan berganti ke bus transjakarta agar kemacetan berkurang.
Pembangunan tempat parkir massal itu ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Senin (13/8) di Jakarta Barat.
Tempat parkir massal itu dibangun pada lahan seluas 3.820 meter persegi dan mampu menampung 122 mobil, 36 sepeda motor, dan 20 sepeda. Mobil mendapat porsi lebih besar karena menjadi target utama perubahan penggunaan moda angkutan.
Menurut Sutiyoso, dengan tempat parkir itu, pengendara kendaraan pribadi dapat beralih moda angkutan dengan nyaman. Tempat parkir akan dijaga agar aman sehingga pemilik kendaraan tidak perlu waswas.
Jika jumlah pengendara yang ingin pindah meningkat, ujarnya, tempat parkir itu akan dibangun vertikal sehingga daya tampungnya bertambah. Tempat parkir itu menjadi solusi bagi pengendara yang rumahnya tidak dilintasi kendaraan umum, tetapi ingin menggunakan bus transjakarta.
Tempat parkir itu juga dilengkapi dengan area istirahat. Area istirahat itu menyediakan 10 tempat makan, ATM, minimarket, dan toilet umum. Tempat istirahat sudah tersedia dan tempat parkir massal akan selesai dibangun pada November 2007.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurahman mengatakan, sistem pembayaran di tempat parkir itu akan menggunakan kartu cerdas yang dapat juga digunakan untuk pembayaran bus transjakarta. Kartu cerdas itu saat ini baru disediakan oleh Bank DKI dengan nama Jakcard.
Sampai akhir 2007, tempat parkir massal, kata Nurahman, juga akan dibangun di Terminal Kampung Rambutan dan Ragunan. Pada 2008, pembangunan park and ride juga akan dibangun di Terminal Pulo Gadung.
"Pemerintah juga ingin membangun di Blok M dan Harmoni, tetapi tidak ada lahan yang tersedia," kata Nurahman.
Tarif bus transjakarta
Sementara itu, Sutiyoso meminta agar DPRD segera menyetujui kenaikan tarif bus transjakarta dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000. Kenaikan diperlukan karena jumlah bus meningkat dan subsidi Rp 203 miliar pada tahun 2007 tidak lagi memadai.
Namun, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dari Universitas Trisakti, F Trisbiantara, justru meminta usulan kenaikan itu ditunda. Selama ini, rencana monitor dan evaluasi kinerja keuangan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta tidak pernah dilaksanakan.
"DTKJ tidak pernah mendapatkan data detail pemasukan dan pengeluaran BLU Transjakarta sehingga tidak dapat diukur kerugiannya," kata Trisbiantara.
Pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Ir Sutanto Soehodo MEng, yang ditemui Kompas kemarin, mengatakan, pemerintah kota dan pemerintah provinsi di daerah penyangga Jakarta, seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi, harus membangun sistem transportasi terpadu dan terintegrasi dengan Jakarta. Selama transportasi dibangun parsial, itu tak akan mampu memecahkan solusi transportasi di Jabodetabek.
"Misalnya busway. Seharusnya busway di Pasar Minggu dilanjutkan hingga ke Depok. Saya yakin busway akan menjadi primadona warga Depok jika jalurnya diteruskan lewat UI dan Jalan Margonda," kata Sutanto. (ECA/KSP)
Pengendara dari Tangerang agar Beralih ke Bus Transjakarta
KOMPAS - Tempat parkir massal bagi pengendara kendaraan pribadi yang ingin beralih ke bus transjakarta (park and ride) dibangun di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. Para pengendara kendaraan pribadi dari Jakarta Barat dan Tangerang diharapkan berganti ke bus transjakarta agar kemacetan berkurang.
Pembangunan tempat parkir massal itu ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Senin (13/8) di Jakarta Barat.
Tempat parkir massal itu dibangun pada lahan seluas 3.820 meter persegi dan mampu menampung 122 mobil, 36 sepeda motor, dan 20 sepeda. Mobil mendapat porsi lebih besar karena menjadi target utama perubahan penggunaan moda angkutan.
Menurut Sutiyoso, dengan tempat parkir itu, pengendara kendaraan pribadi dapat beralih moda angkutan dengan nyaman. Tempat parkir akan dijaga agar aman sehingga pemilik kendaraan tidak perlu waswas.
Jika jumlah pengendara yang ingin pindah meningkat, ujarnya, tempat parkir itu akan dibangun vertikal sehingga daya tampungnya bertambah. Tempat parkir itu menjadi solusi bagi pengendara yang rumahnya tidak dilintasi kendaraan umum, tetapi ingin menggunakan bus transjakarta.
Tempat parkir itu juga dilengkapi dengan area istirahat. Area istirahat itu menyediakan 10 tempat makan, ATM, minimarket, dan toilet umum. Tempat istirahat sudah tersedia dan tempat parkir massal akan selesai dibangun pada November 2007.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurahman mengatakan, sistem pembayaran di tempat parkir itu akan menggunakan kartu cerdas yang dapat juga digunakan untuk pembayaran bus transjakarta. Kartu cerdas itu saat ini baru disediakan oleh Bank DKI dengan nama Jakcard.
Sampai akhir 2007, tempat parkir massal, kata Nurahman, juga akan dibangun di Terminal Kampung Rambutan dan Ragunan. Pada 2008, pembangunan park and ride juga akan dibangun di Terminal Pulo Gadung.
"Pemerintah juga ingin membangun di Blok M dan Harmoni, tetapi tidak ada lahan yang tersedia," kata Nurahman.
Tarif bus transjakarta
Sementara itu, Sutiyoso meminta agar DPRD segera menyetujui kenaikan tarif bus transjakarta dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000. Kenaikan diperlukan karena jumlah bus meningkat dan subsidi Rp 203 miliar pada tahun 2007 tidak lagi memadai.
Namun, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dari Universitas Trisakti, F Trisbiantara, justru meminta usulan kenaikan itu ditunda. Selama ini, rencana monitor dan evaluasi kinerja keuangan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta tidak pernah dilaksanakan.
"DTKJ tidak pernah mendapatkan data detail pemasukan dan pengeluaran BLU Transjakarta sehingga tidak dapat diukur kerugiannya," kata Trisbiantara.
Pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Ir Sutanto Soehodo MEng, yang ditemui Kompas kemarin, mengatakan, pemerintah kota dan pemerintah provinsi di daerah penyangga Jakarta, seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi, harus membangun sistem transportasi terpadu dan terintegrasi dengan Jakarta. Selama transportasi dibangun parsial, itu tak akan mampu memecahkan solusi transportasi di Jabodetabek.
"Misalnya busway. Seharusnya busway di Pasar Minggu dilanjutkan hingga ke Depok. Saya yakin busway akan menjadi primadona warga Depok jika jalurnya diteruskan lewat UI dan Jalan Margonda," kata Sutanto. (ECA/KSP)
Busway parking improved
Busway parking improved to up ridership
Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post, Jakarta
With an eye toward encouraging commuters to take the busway, the city administration plans to increase the space for parking vehicles in terminals.
Governor Sutiyoso on Monday officiated at the groundbreaking ceremony of a 3,820-square-meter parking lot near Kalideres bus terminal, West Jakarta.
Sutiyoso said: "commuters will be able to arrive at their destinations on time, without worrying about their vehicles parked back at the terminal".
Sutiyoso was accompanied by Deputy Governor Fauzi Bowo, who symbolically placed the first stone although construction work does not officially begin until November.
According to city transportation agency head Nurachman, who also attended the ceremony, the parking lot will be able to accommodate 122 cars, 36 motorcycles and 20 bicycles.
"We are also making sure the site will later be able to support vertical parking space so as to accommodate more vehicles," he said.
Apart from parking space, the administration has already established 12 business shelters comprising 10 food-and-drink stalls, one mini market and one cafe, as well as room for automatic teller machines, four pushcarts selling accessories and restrooms.
All of the business shelters stand on 1,200 square meters of land, right in the middle of the busway U-turn, and are operational.
"We are providing an alternative place for people to transit," said Nurachman.
Sutiyoso said: "It is time for us to change our paradigm. Our communal facilities must be kept orderly".
"Hopefully, foreign tourists, who will also enjoy the facilities we've provided, will be pleased."
Sutiyoso said the administration, through city-owned Bank DKI, would issue a smart card, the "Jakcard", which would function as a transaction card for the payment of parking fees and purchases in the terminal's business hub.
The administration is also planning to operate similar facilities in Ragunan bus terminal, South Jakarta, and Kampung Rambutan bus terminal, East Jakarta, by the end of this year, according to Nurachman.
"Ideally, we should have such facilities in Pulo Gadung bus terminal (East Jakarta) and in Blok M bus terminal (South Jakarta) but we don't have enough space," he said.
"The area size of the lot in Ragunan will be similar to the one in Kalideres, while the one in Kampung Rambutan will be twice as big as the one in Kalideres."
Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post, Jakarta
With an eye toward encouraging commuters to take the busway, the city administration plans to increase the space for parking vehicles in terminals.
Governor Sutiyoso on Monday officiated at the groundbreaking ceremony of a 3,820-square-meter parking lot near Kalideres bus terminal, West Jakarta.
Sutiyoso said: "commuters will be able to arrive at their destinations on time, without worrying about their vehicles parked back at the terminal".
Sutiyoso was accompanied by Deputy Governor Fauzi Bowo, who symbolically placed the first stone although construction work does not officially begin until November.
According to city transportation agency head Nurachman, who also attended the ceremony, the parking lot will be able to accommodate 122 cars, 36 motorcycles and 20 bicycles.
"We are also making sure the site will later be able to support vertical parking space so as to accommodate more vehicles," he said.
Apart from parking space, the administration has already established 12 business shelters comprising 10 food-and-drink stalls, one mini market and one cafe, as well as room for automatic teller machines, four pushcarts selling accessories and restrooms.
All of the business shelters stand on 1,200 square meters of land, right in the middle of the busway U-turn, and are operational.
"We are providing an alternative place for people to transit," said Nurachman.
Sutiyoso said: "It is time for us to change our paradigm. Our communal facilities must be kept orderly".
"Hopefully, foreign tourists, who will also enjoy the facilities we've provided, will be pleased."
Sutiyoso said the administration, through city-owned Bank DKI, would issue a smart card, the "Jakcard", which would function as a transaction card for the payment of parking fees and purchases in the terminal's business hub.
The administration is also planning to operate similar facilities in Ragunan bus terminal, South Jakarta, and Kampung Rambutan bus terminal, East Jakarta, by the end of this year, according to Nurachman.
"Ideally, we should have such facilities in Pulo Gadung bus terminal (East Jakarta) and in Blok M bus terminal (South Jakarta) but we don't have enough space," he said.
"The area size of the lot in Ragunan will be similar to the one in Kalideres, while the one in Kampung Rambutan will be twice as big as the one in Kalideres."
13.8.07
Park and Ride
Akses bagi Pemilik Kendaraan Pribadi Akan Dipermudah
Suara Karya: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas dengan menekan pemakaian kendaraan pribadi, telah membangun fasilitas yang mempermudah pengguna mobil pribadi berpindah moda ke bus TransJakarta.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono di Jakarta, Minggu, memaparkan bahwa pada 2007 sejumlah terminal angkutan darat di Jakarta yang dilalui jalur TransJakarta akan memiliki fasilitas park and ride.
Foto: La Tan
"Fasilitas itu memungkinkan para pemilik kendaraan pribadi seperti mobil dan motor memarkirkan kendaraannya di lokasi tersebut dan berpindah moda menggunakan bus TransJakarta," katanya.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada Senin (13/8) dijadwalkan akan meresmikan fasilitas tempat istirahat dan park and ride di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. "Untuk fasilitas park and ride yang ada di Terminal Kalideres itu akan mampu menampung 122 mobil, 36 sepeda motor, dan 20 sepeda. Untuk rest area akan dilengkapi dengan minimarket dan tempat makan," ujarnya.
Merasa Aman
Pristono menambahkan, park and ride seluas 3.820 meter persegi di Terminal Kalideres itu sistem perparkirannya akan mengadopsi pola gateway parking seperti yang telah ada di parkir IRTI Monas. Demikian juga tarif parkir yang diberlakukan.
"Memang tarifnya tidak flat dan akan bertambah seiring dengan jam, tarifnya sama seperti di IRTI Monas. Yang paling penting, warga yang menggunakan moda bus TransJakarta merasa aman me-markirkan mobilnya," cetusnya.
Penggunaan park and ride di Terminal Kalideres dapat digunakan secara efektif pada November 2007. Selain di Terminal Kalideres, sistem serupa juga akan dibuat di Terminal Ragunan dan Kampung Rambutan, yang diharapkan selesai pada akhir 2007. Sementara untuk 2008 direncanakan akan dibangun fasilitas itu di Terminal Rawa Buaya dan Terminal Lebak Bulus.
"Dengan adanya fasilitas tersebut, bila selama ini pengguna TransJakarta baru sebatas pada warga yang menggunakan kendaraan umum, kini mereka yang memiliki kendaraan pribadi pun akan kita dorong untuk berpindah menggunakan TransJakarta," katanya tegas.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta sendiri mengharapkan seluruh terminal dan lokasi-lokasi strategis lainnya dapat memiliki fasilitas park and ride untuk tahun-tahun mendatang sebagai upaya untuk mendorong penggunaan transportasi umum sebagai upaya mengatasi masalah kemacetan lalu lintas akibat penggunaan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan di Ibu Kota.
"Kita tidak memiliki target khusus berapa pengguna kendaraan pribadi yang harus berpindah ke bus TransJakarta. Kita hanya ingin mensosialisasikan adanya fasilitas ini, yang dapat mempermudah aksesibilitas warga ke TransJakarta," kata Pristono. (Ant/Dwi Putro AA)
Suara Karya: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas dengan menekan pemakaian kendaraan pribadi, telah membangun fasilitas yang mempermudah pengguna mobil pribadi berpindah moda ke bus TransJakarta.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono di Jakarta, Minggu, memaparkan bahwa pada 2007 sejumlah terminal angkutan darat di Jakarta yang dilalui jalur TransJakarta akan memiliki fasilitas park and ride.
Foto: La Tan
"Fasilitas itu memungkinkan para pemilik kendaraan pribadi seperti mobil dan motor memarkirkan kendaraannya di lokasi tersebut dan berpindah moda menggunakan bus TransJakarta," katanya.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada Senin (13/8) dijadwalkan akan meresmikan fasilitas tempat istirahat dan park and ride di Terminal Kalideres, Jakarta Barat. "Untuk fasilitas park and ride yang ada di Terminal Kalideres itu akan mampu menampung 122 mobil, 36 sepeda motor, dan 20 sepeda. Untuk rest area akan dilengkapi dengan minimarket dan tempat makan," ujarnya.
Merasa Aman
Pristono menambahkan, park and ride seluas 3.820 meter persegi di Terminal Kalideres itu sistem perparkirannya akan mengadopsi pola gateway parking seperti yang telah ada di parkir IRTI Monas. Demikian juga tarif parkir yang diberlakukan.
"Memang tarifnya tidak flat dan akan bertambah seiring dengan jam, tarifnya sama seperti di IRTI Monas. Yang paling penting, warga yang menggunakan moda bus TransJakarta merasa aman me-markirkan mobilnya," cetusnya.
Penggunaan park and ride di Terminal Kalideres dapat digunakan secara efektif pada November 2007. Selain di Terminal Kalideres, sistem serupa juga akan dibuat di Terminal Ragunan dan Kampung Rambutan, yang diharapkan selesai pada akhir 2007. Sementara untuk 2008 direncanakan akan dibangun fasilitas itu di Terminal Rawa Buaya dan Terminal Lebak Bulus.
"Dengan adanya fasilitas tersebut, bila selama ini pengguna TransJakarta baru sebatas pada warga yang menggunakan kendaraan umum, kini mereka yang memiliki kendaraan pribadi pun akan kita dorong untuk berpindah menggunakan TransJakarta," katanya tegas.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta sendiri mengharapkan seluruh terminal dan lokasi-lokasi strategis lainnya dapat memiliki fasilitas park and ride untuk tahun-tahun mendatang sebagai upaya untuk mendorong penggunaan transportasi umum sebagai upaya mengatasi masalah kemacetan lalu lintas akibat penggunaan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan di Ibu Kota.
"Kita tidak memiliki target khusus berapa pengguna kendaraan pribadi yang harus berpindah ke bus TransJakarta. Kita hanya ingin mensosialisasikan adanya fasilitas ini, yang dapat mempermudah aksesibilitas warga ke TransJakarta," kata Pristono. (Ant/Dwi Putro AA)
Rumusan tarif tidak tepat
Siap-siap Tarif Busway Rp 5.000
WARTA KOTA - Kenaikan tarif busway kemungkinan akan berada pada kisaran Rp 5.000 per penumpang. Penghitungan besaran tarif itu dibuat berdasarkan rumusan tarif penumpang bus kota reguler non subsidi.
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) F. Trisbiantara, yang juga salah satu anggota tim evaluasi busway yang dibentuk Dinas Perhubungan DKI untuk membahas masalah tarif, membenarkan kemungkinan tersebut. Pekan ini, akan digelar rapat pleno seluruh anggota tim evaluasi sebelum membuat keputusan dan rekomendasi. "Kita tunggu Pak Tanto (Soetanto Soehodo, Ketua DTKJ-Red) pulang dari Australia," ujar Trisbiantara.
Menurut pakar transportasi dari Universitas Trisakti itu, dengan rumusan yang dibuat sesuai SK Dirjen Perhubungan Darat Dephub, tarif busway itu mencapai Rp 5.331,50 per penumpang. Tarif itu bisa menjadi Rp 5.864 per penumpang jika memperhitungkan keuntungan 10 persen bagi pemilik investasi. "Di situ masalahnya. Karakteristik lalu lintas dan bisnis busway itu berbeda dari bus kota biasa. Sehingga sebenarnya rumusan itu nggak bisa diterapkan untuk menghitung tarif busway," ujar Trisbiantara.
Ada beberapa alasan mengapa rumusan penghitungan tarif versi SK Dirjen Perhubungan Darat Dephub itu tak cocok untuk menghitung dan menetapkan tarif busway. Di antaranya, kekhususan busway yang berdampak pada efisiensi biaya operasionalnya. "Busway punya jalur tersendiri dan hanya berhenti di halte-halte tertentu. Hal ini berbeda dari bus kota reguler yang nggak punya exclusive line dan berhenti di sembarang tempat. Operasional busway menjadi lebih murah, dan lebih hemat dibandingkan bus reguler yang harus terjebak macet dan lebih boros bahan bakar," ujar Trisbiantara.
Selain itu, dalam segi bisnis busway dan bus kota reguler juga berbeda. Karena dalam manajemen busway ada komponen subsidi yang cukup besar jumlahnya. Sementara dalam bisnis bus kota, komponen subsidi itu tak ada. "Kalau rumusan itu dipakai untuk tarif busway akan berakibat pada over estimasi tarif," ujar Master of Public Transportation tersebut.
Tim evaluasi busway sejauh ini belum sepakat mengenai penghitungan tarif penumpang tersebut. Pekan ini, masih akan digelar rapat pleno untuk membahas kembali tarif yang dianggap layak dengan kemampuan mayoritas pengguna busway Ibu Kota. "Sebagian anggota tim yang tidak setuju tarif naik menginginkan kalaupun tarif busway nantinya terpaksa tetap naik, maka harus dengan persyaratan. Harus ada audit dari BPK tentang keuangan BLU Transjakarta, karena di sana ada penggunaan dana APBD. Dan kedua audit kinerja operasional BLU Transjakarta oleh pihak yang berpengalaman di bidang ini," ujar Trisbiantara.
Sementara itu, Selasa (14/8) besok, komisi gabungan DPRD DKI akan memulai pembahasan usulan kenaikan tarif busway dengan memanggil Dinas Perhubungan DKI dan BLU Transjakarta. Pembahasan itu dilakukan menyusul surat Gubernur DKI Sutiyoso mengenai usulan kenaikan tarif yang dilayangkan 20 Juli lalu. Dalam surat tersebut, Pemprov mengajukan sejumlah alternatif tarif yang berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per penumpang. Pertimbangan kenaikan tarif didasarkan pada upaya menyeimbangkan antara besaran subsidi dan tingkat kualitas layanan yang diinginkan.
Tarif busway saat ini Rp 3.500 per penumpang, dan besaran subsidi yang dialokasikan dari APBD mencapai Rp 203 miliar. Jumlah subsidi itu dianggap tidak mencukupi untuk menutup keseluruhan operasional 316 armada busway yang ada. (dra)
WARTA KOTA - Kenaikan tarif busway kemungkinan akan berada pada kisaran Rp 5.000 per penumpang. Penghitungan besaran tarif itu dibuat berdasarkan rumusan tarif penumpang bus kota reguler non subsidi.
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) F. Trisbiantara, yang juga salah satu anggota tim evaluasi busway yang dibentuk Dinas Perhubungan DKI untuk membahas masalah tarif, membenarkan kemungkinan tersebut. Pekan ini, akan digelar rapat pleno seluruh anggota tim evaluasi sebelum membuat keputusan dan rekomendasi. "Kita tunggu Pak Tanto (Soetanto Soehodo, Ketua DTKJ-Red) pulang dari Australia," ujar Trisbiantara.
Menurut pakar transportasi dari Universitas Trisakti itu, dengan rumusan yang dibuat sesuai SK Dirjen Perhubungan Darat Dephub, tarif busway itu mencapai Rp 5.331,50 per penumpang. Tarif itu bisa menjadi Rp 5.864 per penumpang jika memperhitungkan keuntungan 10 persen bagi pemilik investasi. "Di situ masalahnya. Karakteristik lalu lintas dan bisnis busway itu berbeda dari bus kota biasa. Sehingga sebenarnya rumusan itu nggak bisa diterapkan untuk menghitung tarif busway," ujar Trisbiantara.
Ada beberapa alasan mengapa rumusan penghitungan tarif versi SK Dirjen Perhubungan Darat Dephub itu tak cocok untuk menghitung dan menetapkan tarif busway. Di antaranya, kekhususan busway yang berdampak pada efisiensi biaya operasionalnya. "Busway punya jalur tersendiri dan hanya berhenti di halte-halte tertentu. Hal ini berbeda dari bus kota reguler yang nggak punya exclusive line dan berhenti di sembarang tempat. Operasional busway menjadi lebih murah, dan lebih hemat dibandingkan bus reguler yang harus terjebak macet dan lebih boros bahan bakar," ujar Trisbiantara.
Selain itu, dalam segi bisnis busway dan bus kota reguler juga berbeda. Karena dalam manajemen busway ada komponen subsidi yang cukup besar jumlahnya. Sementara dalam bisnis bus kota, komponen subsidi itu tak ada. "Kalau rumusan itu dipakai untuk tarif busway akan berakibat pada over estimasi tarif," ujar Master of Public Transportation tersebut.
Tim evaluasi busway sejauh ini belum sepakat mengenai penghitungan tarif penumpang tersebut. Pekan ini, masih akan digelar rapat pleno untuk membahas kembali tarif yang dianggap layak dengan kemampuan mayoritas pengguna busway Ibu Kota. "Sebagian anggota tim yang tidak setuju tarif naik menginginkan kalaupun tarif busway nantinya terpaksa tetap naik, maka harus dengan persyaratan. Harus ada audit dari BPK tentang keuangan BLU Transjakarta, karena di sana ada penggunaan dana APBD. Dan kedua audit kinerja operasional BLU Transjakarta oleh pihak yang berpengalaman di bidang ini," ujar Trisbiantara.
Sementara itu, Selasa (14/8) besok, komisi gabungan DPRD DKI akan memulai pembahasan usulan kenaikan tarif busway dengan memanggil Dinas Perhubungan DKI dan BLU Transjakarta. Pembahasan itu dilakukan menyusul surat Gubernur DKI Sutiyoso mengenai usulan kenaikan tarif yang dilayangkan 20 Juli lalu. Dalam surat tersebut, Pemprov mengajukan sejumlah alternatif tarif yang berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per penumpang. Pertimbangan kenaikan tarif didasarkan pada upaya menyeimbangkan antara besaran subsidi dan tingkat kualitas layanan yang diinginkan.
Tarif busway saat ini Rp 3.500 per penumpang, dan besaran subsidi yang dialokasikan dari APBD mencapai Rp 203 miliar. Jumlah subsidi itu dianggap tidak mencukupi untuk menutup keseluruhan operasional 316 armada busway yang ada. (dra)
Kalideres Park and Ride
Dari agenda Gubernur, hari ini jam 14:00, beliau dijadwalkan meresmikan Rest Area dan Peletakan Batu Pertama Pembangunan Park and Ride di Terminal Kalideres.
Meski terkesan tambal sulam, namun tetap merupakan hal yang menggembirakan. Park and Ride (P+R) sebagai fasilitas pelengkap sistem BRT akan memberi kemudahan bagi pengendara mobil pribadi. Mereka yang tinggal agak jauh dari akses busway bisa mengendarai mobil, meninggalkannya di P+R, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus.
Umumnya sudah dipraktekkan penumpang busway dengan fasilitas seadanya di beberapa tempat seperti di Ragunan, Blok M atau oleh penumpang KRL di Depok misalnya.
Sepatutnya beberapa P+R ini sudah tersedia di lingkar luar sistem busway berbarengan dengan peresmian koridor. Dengan demikian berkurangnya kendaraan pribadi di pusat kota cukup signifikan.
Seperti di Nantes, Prancis, misalnya. Ada 17 P+R untuk sebuah kota dengan populasi hanya 600ribu jiwa, busway yang hanya satu koridor saja difasilitasi 3 P+R dan dua tempat parkir biasa.
Tetapi melihat perkembangan jumlah penumpang Jakarta yang tidak sebanding dengan perkembangan kapasitas, efektifitas P+R tentu menjadi pertanyaan.
Agar lebih persuasif, biaya parkir di P+R umumnya lebih murah dibanding di pusat kota. Jika kemudian kapasitas P+R tidak lagi memadai, biasanya akan terbentuk komunitas-komunitas yang saling bergilir menggunakan satu kendaraan bersama —guna menghemat biaya dan ruang parkir.
Dari sana tercipta kebutuhan akan rest area, dimana menunggu rekan seperjalanan menjadi lebih nyaman, sekaligus sebagai tempat melengkapi kebutuhan-kebutuhan mendesak. P+R juga bisa berkembang menjadi pusat kegiatan dan informasi yang berkaitan dengan kalangan commuters.
Park and Ride memiliki potensi untuk menciptakan kultur baru bertranportasi yang berkarakter efisiensi dan gotong royong. [foto: La Tan]
Meski terkesan tambal sulam, namun tetap merupakan hal yang menggembirakan. Park and Ride (P+R) sebagai fasilitas pelengkap sistem BRT akan memberi kemudahan bagi pengendara mobil pribadi. Mereka yang tinggal agak jauh dari akses busway bisa mengendarai mobil, meninggalkannya di P+R, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus.
Umumnya sudah dipraktekkan penumpang busway dengan fasilitas seadanya di beberapa tempat seperti di Ragunan, Blok M atau oleh penumpang KRL di Depok misalnya.
Sepatutnya beberapa P+R ini sudah tersedia di lingkar luar sistem busway berbarengan dengan peresmian koridor. Dengan demikian berkurangnya kendaraan pribadi di pusat kota cukup signifikan.
Seperti di Nantes, Prancis, misalnya. Ada 17 P+R untuk sebuah kota dengan populasi hanya 600ribu jiwa, busway yang hanya satu koridor saja difasilitasi 3 P+R dan dua tempat parkir biasa.
Tetapi melihat perkembangan jumlah penumpang Jakarta yang tidak sebanding dengan perkembangan kapasitas, efektifitas P+R tentu menjadi pertanyaan.
Agar lebih persuasif, biaya parkir di P+R umumnya lebih murah dibanding di pusat kota. Jika kemudian kapasitas P+R tidak lagi memadai, biasanya akan terbentuk komunitas-komunitas yang saling bergilir menggunakan satu kendaraan bersama —guna menghemat biaya dan ruang parkir.
Dari sana tercipta kebutuhan akan rest area, dimana menunggu rekan seperjalanan menjadi lebih nyaman, sekaligus sebagai tempat melengkapi kebutuhan-kebutuhan mendesak. P+R juga bisa berkembang menjadi pusat kegiatan dan informasi yang berkaitan dengan kalangan commuters.
Park and Ride memiliki potensi untuk menciptakan kultur baru bertranportasi yang berkarakter efisiensi dan gotong royong. [foto: La Tan]
12.8.07
Koridor IV-VII Mengkhawatirkan
Dishub Akan Bersikap Tegas terhadap Operator Penyedia Armada
Jakarta, Kompas - Realisasi proyek bus transjakarta dengan jalur khusus atau busway lanjutan untuk Koridor IV, V, VI, dan VII mengkhawatirkan. Berpijak pengalaman koridor sebelumnya, terdapat berbagai hambatan yang tidak teratasi dengan baik.
"Masalah yang paling utama, sesuai komitmen, adalah penyediaan armada bus transjakarta harus berbahan bakar gas. Padahal, suplai maupun kualitas bahan bakar gas masih menjadi persoalan pihak operator bus transjakarta," kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Soetanto Soehodho, Jumat (11/8).
Selanjutnya, hambatan itu terletak pada konsistensi penyediaan jumlah armada setiap koridor. Soetanto mengatakan, jangan sampai infrastruktur Koridor IV, V, VI, dan VII nanti selesai dibangun, tetapi kesiapan 203 bus yang dibutuhkan itu tersendat.
Berkaca pada Koridor II dan III dengan operator dari konsorsium Transbatavia yang memiliki kewajiban menyediakan 126 armada bus, tetapi hingga kini hanya tersedia 63 bus dan akhir bulan nanti diperkirakan bertambah lima armada bus lagi. "Sebelum melangkah pada koridor berikutnya, seharusnya ada monitor dan evaluasi pada koridor yang sudah ada," kata Soetanto.
Kelemahan pada ketersediaan armada bus disebabkan penunjukan anggota konsorsium yang terbatas pada perusahaan penyedia angkutan umum yang berimpitan dengan jalur bus transjakarta. Menurut Soetanto, ke depan perlu dibuka peluang bagi investor yang benar-benar mampu secara konsisten memenuhi kewajibannya.
"Investor dari perusahaan taksi, misalnya. Perusahaan itu juga mungkin menjadi anggota konsorsium operator bus transjakarta," kata Soetanto.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman mengatakan, masalah ketersediaan armada bus transjakarta yang lambat pada Koridor II dan III memang sepenuhnya tanggung jawab anggota-anggota konsorsium. "Dinas Perhubungan akan bersikap tegas dengan memberi batas waktu pemenuhan armada sebagai kewajiban anggota-anggota konsorsium," katanya.
Saat ini ketersediaan bus transjakarta untuk Koridor I menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI. Untuk Koridor II dan III menjadi tanggung jawab konsorsium Transbatavia dengan anggota perusahaan Mayasari Bhakti, Metro Mini, PPD, dan Steady Safe.
Menurut Nurachman, hanya Mayasari Bhakti yang sudah memenuhi kewajibannya dalam menyediakan armada bus bagi Koridor II dan III. Ini akan disusul Metro Mini yang akan menyerahkan lima armada bus akhir bulan nanti.
Sementara itu, juru bicara PT Kereta Api (KA) Daops I dan Divisi Jabotabek, Achmad Sujadi, mengatakan, sebenarnya jembatan perlintasan Gunung Sahari yang disebut-sebut menjadi kendala pembangunan Koridor V tak perlu terlalu dirisaukan. Tetap selalu ada jalan keluar jika Pemprov DKI dan pelaksana proyek itu melakukan koordinasi dengan Bagian Jalan dan Jembatan pada Daops I PT KA untuk mengatasinya. Pihak PT KA bersedia meninggikan atau menaikkan jembatan perlintasan tersebut.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Whisnu Subagyo mengatakan, saat ini dia sedang melakukan koordinasi dengan Nurachman untuk uji coba bus transjakarta melewati kolong jembatan itu. (NAW/CAL)
Jakarta, Kompas - Realisasi proyek bus transjakarta dengan jalur khusus atau busway lanjutan untuk Koridor IV, V, VI, dan VII mengkhawatirkan. Berpijak pengalaman koridor sebelumnya, terdapat berbagai hambatan yang tidak teratasi dengan baik.
"Masalah yang paling utama, sesuai komitmen, adalah penyediaan armada bus transjakarta harus berbahan bakar gas. Padahal, suplai maupun kualitas bahan bakar gas masih menjadi persoalan pihak operator bus transjakarta," kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Soetanto Soehodho, Jumat (11/8).
Selanjutnya, hambatan itu terletak pada konsistensi penyediaan jumlah armada setiap koridor. Soetanto mengatakan, jangan sampai infrastruktur Koridor IV, V, VI, dan VII nanti selesai dibangun, tetapi kesiapan 203 bus yang dibutuhkan itu tersendat.
Berkaca pada Koridor II dan III dengan operator dari konsorsium Transbatavia yang memiliki kewajiban menyediakan 126 armada bus, tetapi hingga kini hanya tersedia 63 bus dan akhir bulan nanti diperkirakan bertambah lima armada bus lagi. "Sebelum melangkah pada koridor berikutnya, seharusnya ada monitor dan evaluasi pada koridor yang sudah ada," kata Soetanto.
Kelemahan pada ketersediaan armada bus disebabkan penunjukan anggota konsorsium yang terbatas pada perusahaan penyedia angkutan umum yang berimpitan dengan jalur bus transjakarta. Menurut Soetanto, ke depan perlu dibuka peluang bagi investor yang benar-benar mampu secara konsisten memenuhi kewajibannya.
"Investor dari perusahaan taksi, misalnya. Perusahaan itu juga mungkin menjadi anggota konsorsium operator bus transjakarta," kata Soetanto.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman mengatakan, masalah ketersediaan armada bus transjakarta yang lambat pada Koridor II dan III memang sepenuhnya tanggung jawab anggota-anggota konsorsium. "Dinas Perhubungan akan bersikap tegas dengan memberi batas waktu pemenuhan armada sebagai kewajiban anggota-anggota konsorsium," katanya.
Saat ini ketersediaan bus transjakarta untuk Koridor I menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI. Untuk Koridor II dan III menjadi tanggung jawab konsorsium Transbatavia dengan anggota perusahaan Mayasari Bhakti, Metro Mini, PPD, dan Steady Safe.
Menurut Nurachman, hanya Mayasari Bhakti yang sudah memenuhi kewajibannya dalam menyediakan armada bus bagi Koridor II dan III. Ini akan disusul Metro Mini yang akan menyerahkan lima armada bus akhir bulan nanti.
Sementara itu, juru bicara PT Kereta Api (KA) Daops I dan Divisi Jabotabek, Achmad Sujadi, mengatakan, sebenarnya jembatan perlintasan Gunung Sahari yang disebut-sebut menjadi kendala pembangunan Koridor V tak perlu terlalu dirisaukan. Tetap selalu ada jalan keluar jika Pemprov DKI dan pelaksana proyek itu melakukan koordinasi dengan Bagian Jalan dan Jembatan pada Daops I PT KA untuk mengatasinya. Pihak PT KA bersedia meninggikan atau menaikkan jembatan perlintasan tersebut.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Whisnu Subagyo mengatakan, saat ini dia sedang melakukan koordinasi dengan Nurachman untuk uji coba bus transjakarta melewati kolong jembatan itu. (NAW/CAL)
11.8.07
Mulai koridor 4 tidak ada kajian
Busway Menyimpang
Implementasi Pola Transportasi Makro Makin Kabur
Kemacetan parah akibat pembangunan jalur khusus bus (busway) belakangan ini, ternyata terkait erat dengan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Akibatnya, busway yang sejak awal dirancang mengurangi kemacetan, justru penjadi pemicu kemacetan luar biasa.
"Kondisi ini terjadi karena banyak penyimpangan dari rencana awal serta dari pola asli yang ditiru," kata sumber SP, yang sempat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan Pola Transportasi Makro (PTM), di Jakarta, Kamis (8/11).
Jika konsep Transmilenio di Bogota, Kolombia, yang diadopsi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi busway, diteliti lebih dalam, sangat mudah menganalisis mengapa proyek busway di Jakarta justru menjadi penyebab kemacetan. "Sejak pembangunan Koridor I (Blok M-Kota), tanda-tanda ketidakberesan sudah tampak. Kesan tergesa-gesa sangat jelas terlihat dan tidak bisa disembunyikan," ujarnya.
Contohnya, hingga saat ini tidak terlihat tanda-tanda keberadaan bus pengumpan (feeder). Padahal, elemen ini merupakan bagian vital dari sistem Bus Rapid Transit (BRT), atau busway, yang diterapkan dengan mengacu pada konsep Transmilenio itu.
Elemen lain yang terlupakan adalah manajemen lalu lintas. Di Koridor I, manajemen lalu lintas, seperti three in one, diterapkan guna mendukung koridor Blok M-Kota. Namun, untuk Koridor II sampai VII, hal ini sama sekali tidak diperhatikan.
"Belum lagi kalau berbicara soal ketersediaan bus yang sangat minim, yang membuat calon penumpang harus menunggu berjam-jam hingga bus datang. Kondisi ini sangat tidak ideal, karena waktu jeda antarbus yang dirancang Pemprov DKI hanya 1,5 hingga lima menit," ujarnya.
Hingga saat ini, tidak terlihat tanda-tanda keberadaan bus pengumpan (feeder). Padahal, elemen moda yang satu ini merupakan bagian vital dari busway, sebagaimana yang diterapkan dengan baik oleh Transmilenio.
Infrastruktur lain yang terlupakan adalah perlunya fasilitas parkir bagi kendaraan pribadi milik warga dari luar yang hendak bekerja di Jakarta. Fasilitas ini sangat penting supaya kendaraan pribadi dapat tertahan di luar kota, dan warga masuk ke Jakarta dengan menggunakan busway, sehingga tekanan volume kendaraan di dalam kota berkurang.
"Tingkat ketelitian dalam mengimplementasikan Pola Transportasi Makro lewat busway semakin lama kian kabur. Waktu Koridor I akan dimulai, banyak kajian dilakukan. Tetapi ketelitian ini semakin berkurang sampai Koridor III. Setelah itu, mulai dari Koridor IV, kajian-kajian sepertinya tidak ada lagi dan langsung dibangun infrastruktur," katanya.
Melihat kondisi yang ada sekarang, hal lain yang mendesak adalah secepatnya menyelesaikan pekerjaan infrastruktur Koridor VIII-XI dan tidak memaksakan untuk membangun Koridor XII-XV, sebelum perbaikan menyeluruh terhadap sistem busway yang selama ini berjalan.
Dua Faktor
Secara terpisah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menjelaskan, ada dua faktor yang mempengaruhi kemacetan di Jakarta, yakni adalah ruas jalan terbatas dan pertumbuhan kendaraan tak sebanding dengan ruas jalan.
"Kita tidak bisa batasi pertumbuhan kendaraan karena itu berada di kewenangan pemerintah pusat. Kalau kita minta pembelian kendaraan dibatasi, itu mempengaruhi pertumbuhan industri otomotif yang jadi salah satu andalan devisa. Sedangkan kalau kita menambah ruas jalan, itu pun butuh waktu yang lama dan ketersediaan lahan di Jakarta tidak memungkinkan. Makanya pilihannya adalah membatasi penggunaan kendaraan pribadi, tetapi itu baru bisa dilakukan kalau kita sudah menyediakan angkutan umum yang layak," ujar Fauzi Bowo.
Gubernur menjelaskan, dalam satu hari ada 17 juta trip atau perjalanan yang terjadi di Jakarta. Dari jumlah tersebut, sekitar 12-13 juta trip dilakukan melalui kendaraan pribadi. Sedangkan sekitar 4 juta hingga 5 juta oleh angkutan umum. Dari jumlah tersebut yang terlayani busway baru sekitar 200-250 trip per hari. [E-7/M-16/J-9]
Implementasi Pola Transportasi Makro Makin Kabur
Kemacetan parah akibat pembangunan jalur khusus bus (busway) belakangan ini, ternyata terkait erat dengan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Akibatnya, busway yang sejak awal dirancang mengurangi kemacetan, justru penjadi pemicu kemacetan luar biasa.
"Kondisi ini terjadi karena banyak penyimpangan dari rencana awal serta dari pola asli yang ditiru," kata sumber SP, yang sempat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan Pola Transportasi Makro (PTM), di Jakarta, Kamis (8/11).
Jika konsep Transmilenio di Bogota, Kolombia, yang diadopsi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi busway, diteliti lebih dalam, sangat mudah menganalisis mengapa proyek busway di Jakarta justru menjadi penyebab kemacetan. "Sejak pembangunan Koridor I (Blok M-Kota), tanda-tanda ketidakberesan sudah tampak. Kesan tergesa-gesa sangat jelas terlihat dan tidak bisa disembunyikan," ujarnya.
Contohnya, hingga saat ini tidak terlihat tanda-tanda keberadaan bus pengumpan (feeder). Padahal, elemen ini merupakan bagian vital dari sistem Bus Rapid Transit (BRT), atau busway, yang diterapkan dengan mengacu pada konsep Transmilenio itu.
Elemen lain yang terlupakan adalah manajemen lalu lintas. Di Koridor I, manajemen lalu lintas, seperti three in one, diterapkan guna mendukung koridor Blok M-Kota. Namun, untuk Koridor II sampai VII, hal ini sama sekali tidak diperhatikan.
"Belum lagi kalau berbicara soal ketersediaan bus yang sangat minim, yang membuat calon penumpang harus menunggu berjam-jam hingga bus datang. Kondisi ini sangat tidak ideal, karena waktu jeda antarbus yang dirancang Pemprov DKI hanya 1,5 hingga lima menit," ujarnya.
Hingga saat ini, tidak terlihat tanda-tanda keberadaan bus pengumpan (feeder). Padahal, elemen moda yang satu ini merupakan bagian vital dari busway, sebagaimana yang diterapkan dengan baik oleh Transmilenio.
Infrastruktur lain yang terlupakan adalah perlunya fasilitas parkir bagi kendaraan pribadi milik warga dari luar yang hendak bekerja di Jakarta. Fasilitas ini sangat penting supaya kendaraan pribadi dapat tertahan di luar kota, dan warga masuk ke Jakarta dengan menggunakan busway, sehingga tekanan volume kendaraan di dalam kota berkurang.
"Tingkat ketelitian dalam mengimplementasikan Pola Transportasi Makro lewat busway semakin lama kian kabur. Waktu Koridor I akan dimulai, banyak kajian dilakukan. Tetapi ketelitian ini semakin berkurang sampai Koridor III. Setelah itu, mulai dari Koridor IV, kajian-kajian sepertinya tidak ada lagi dan langsung dibangun infrastruktur," katanya.
Melihat kondisi yang ada sekarang, hal lain yang mendesak adalah secepatnya menyelesaikan pekerjaan infrastruktur Koridor VIII-XI dan tidak memaksakan untuk membangun Koridor XII-XV, sebelum perbaikan menyeluruh terhadap sistem busway yang selama ini berjalan.
Dua Faktor
Secara terpisah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menjelaskan, ada dua faktor yang mempengaruhi kemacetan di Jakarta, yakni adalah ruas jalan terbatas dan pertumbuhan kendaraan tak sebanding dengan ruas jalan.
"Kita tidak bisa batasi pertumbuhan kendaraan karena itu berada di kewenangan pemerintah pusat. Kalau kita minta pembelian kendaraan dibatasi, itu mempengaruhi pertumbuhan industri otomotif yang jadi salah satu andalan devisa. Sedangkan kalau kita menambah ruas jalan, itu pun butuh waktu yang lama dan ketersediaan lahan di Jakarta tidak memungkinkan. Makanya pilihannya adalah membatasi penggunaan kendaraan pribadi, tetapi itu baru bisa dilakukan kalau kita sudah menyediakan angkutan umum yang layak," ujar Fauzi Bowo.
Gubernur menjelaskan, dalam satu hari ada 17 juta trip atau perjalanan yang terjadi di Jakarta. Dari jumlah tersebut, sekitar 12-13 juta trip dilakukan melalui kendaraan pribadi. Sedangkan sekitar 4 juta hingga 5 juta oleh angkutan umum. Dari jumlah tersebut yang terlayani busway baru sekitar 200-250 trip per hari. [E-7/M-16/J-9]
8.8.07
Dewan Transportasi Kota dilangkahi
Soal Tarif “Busway”, Pemda Langkahi Dewan Transportasi Kota
Oleh Andreas Piatu
SINAR HARAPAN - Pemda Jakarta dinilai telah melangkahi Dewan Transportasi Kota (DTK) menyangkut rencana kenaikan tarif busway.
Pemda sudah mengusulkan kenaikan tarif ke DPRD, padahal DTK sama sekali belum mengusulkan kenaikan tarif.
Anggota DTK, Trisbiantara ketika dihubungi SH, Selasa (7/8) siang, menegaskan bahwa sesuai ketentuan, kenaikan tarif yang berkaitan dengan subsidi APBD memiliki aturan main yang harus diikuti. DTK mengusulkan kenaikan tarif dan Gubernur Jakarta yang menetapkan atas dasar persetujuan DPRD Jakarta.
Sampai saat ini, kata Trisbiantara, DTK sama sekali belum mengusulkan tarif kepada Gubernur Jakarta. Tetapi, Pemda tiba-tiba saja sudah mengusulkan kenaikan tarif busway ke DPRD Jakarta belum lama ini. Ada tiga alternatif kenaikan tarif yang diajukan, Rp 5.000, Rp 5.500 dan Rp 6.000.
Trisbiantara mengatakan, sampai sekarang, pihaknya belum melakukan monitoring lapangan mengenai manajemen busway. Karena itu, usulan kenaikan tarif pun belum dilaksanakan. “Bagaimana mungkin monitoring belum dilaksanakan, kenaikan tarif busway sudah diajukan. Pengajuan kenaikan tarif harus berdasarkan pertimbangan dan fakta-fakta lapangan,” katanya.
Sejauh ini, lanjut Trisbiantara, pihaknya baru sebatas rapat-rapat dengan pihak TransJakarta dan belum sampai pada pemantauan di lapangan. “Sampai saat ini, masih rapat-rapat dan omong-omong saja. Belum tahu kapan akan dilaksanakan pemantauan lapangan,” ujarnya.
Secara terpisah, Gubernur Jakarta Sutiyoso menegaskan, sampai sekarang pembahasan, evaluasi dan kenaikan tarif busway belum dilaksanakan karena masih konsentrasi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta.
Seperti diketahui, waktu yang diberikan kepada tim evaluasi yang terdiri dari Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta, Maysarakat Transportasi Indonesia dan Dewan Transportasi Kota, dua minggu untuk melakukan evaluasi sebelum tarif baru busway ditetapkan.
Waktu yang diberikan sudah selesai. Bahkan, saat ini sudah lebih dari tiga minggu belum ada keputusan mengenai kenaikan tarif. “Molor-molor karena konsentrasi pada Pilkada,” kata Sutiyoso, Selasa (7/8), di Balai Kota.
Ketua DPRD Jakarta, Ade Surapriatna, belum lama ini mengatakan, pihaknya telah menerima usulan kenaikan tarif yang diajukan gubernur Jakarta. Bahkan, sudah melakukan rapat, tapi belum membahas lebih lanjut dengan komisi terkait.
Menurut Ade, meskipun usulan kenaikan tarif sudah diajukan, sebaiknya kenaikan tarif busway dilaksanakan setelah Pilkada DKI Jakarta. “Sebaiknya, kenaikan tarif busway dilaksanakan setelah Pilkada,” kata Ade belum lama ini kepada SH di gedung DPRD Jakarta. n
Oleh Andreas Piatu
SINAR HARAPAN - Pemda Jakarta dinilai telah melangkahi Dewan Transportasi Kota (DTK) menyangkut rencana kenaikan tarif busway.
Pemda sudah mengusulkan kenaikan tarif ke DPRD, padahal DTK sama sekali belum mengusulkan kenaikan tarif.
Anggota DTK, Trisbiantara ketika dihubungi SH, Selasa (7/8) siang, menegaskan bahwa sesuai ketentuan, kenaikan tarif yang berkaitan dengan subsidi APBD memiliki aturan main yang harus diikuti. DTK mengusulkan kenaikan tarif dan Gubernur Jakarta yang menetapkan atas dasar persetujuan DPRD Jakarta.
Sampai saat ini, kata Trisbiantara, DTK sama sekali belum mengusulkan tarif kepada Gubernur Jakarta. Tetapi, Pemda tiba-tiba saja sudah mengusulkan kenaikan tarif busway ke DPRD Jakarta belum lama ini. Ada tiga alternatif kenaikan tarif yang diajukan, Rp 5.000, Rp 5.500 dan Rp 6.000.
Trisbiantara mengatakan, sampai sekarang, pihaknya belum melakukan monitoring lapangan mengenai manajemen busway. Karena itu, usulan kenaikan tarif pun belum dilaksanakan. “Bagaimana mungkin monitoring belum dilaksanakan, kenaikan tarif busway sudah diajukan. Pengajuan kenaikan tarif harus berdasarkan pertimbangan dan fakta-fakta lapangan,” katanya.
Sejauh ini, lanjut Trisbiantara, pihaknya baru sebatas rapat-rapat dengan pihak TransJakarta dan belum sampai pada pemantauan di lapangan. “Sampai saat ini, masih rapat-rapat dan omong-omong saja. Belum tahu kapan akan dilaksanakan pemantauan lapangan,” ujarnya.
Secara terpisah, Gubernur Jakarta Sutiyoso menegaskan, sampai sekarang pembahasan, evaluasi dan kenaikan tarif busway belum dilaksanakan karena masih konsentrasi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta.
Seperti diketahui, waktu yang diberikan kepada tim evaluasi yang terdiri dari Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta, Maysarakat Transportasi Indonesia dan Dewan Transportasi Kota, dua minggu untuk melakukan evaluasi sebelum tarif baru busway ditetapkan.
Waktu yang diberikan sudah selesai. Bahkan, saat ini sudah lebih dari tiga minggu belum ada keputusan mengenai kenaikan tarif. “Molor-molor karena konsentrasi pada Pilkada,” kata Sutiyoso, Selasa (7/8), di Balai Kota.
Ketua DPRD Jakarta, Ade Surapriatna, belum lama ini mengatakan, pihaknya telah menerima usulan kenaikan tarif yang diajukan gubernur Jakarta. Bahkan, sudah melakukan rapat, tapi belum membahas lebih lanjut dengan komisi terkait.
Menurut Ade, meskipun usulan kenaikan tarif sudah diajukan, sebaiknya kenaikan tarif busway dilaksanakan setelah Pilkada DKI Jakarta. “Sebaiknya, kenaikan tarif busway dilaksanakan setelah Pilkada,” kata Ade belum lama ini kepada SH di gedung DPRD Jakarta. n
Pelanggaran yang ditolerir. Sampai kapan?
Foto: threeayu
david chyn |o7 Agustus :
Pagi ini kembali detik.com menurunkan berita tentang penyerobotan jalur di Kor VI.
Pagi ini jalur Kor II antara Galur dan underpass Senen juga diserobot oleh motor dan kemudian mobil.
Kedua peristiwa tersebut memang sering terjadi, tetapi penyerobotan di Kor II ini di motori oleh pagawai cap tugu dengan motor B 8435 xx.
Ini adalah contoh yang buruk.
Salam (dc)
Andrayogi | 07 Agustus :
Terakhir saya lihat hari Minggu lalu, kl ga salah sekitar jam 21.30-an, jalur busway dari mulai depan TA lebih macet dari pada jalur reguler, eh tau2nya di ujung jalur busway yg sebelum flyover Citraland ada 3 pak polisi yang menyetop satu persatu kendaraan pribadi yg masuk jalur busway, saya ga tau apakah ditilang atau ga, tp ini salah satu kemajuan yang sudah dilakukan pak polisi dalam mensterilkan jalur busway. Tinggal jalur daan mogot aja nich yg masih parah.
david chyn |o7 Agustus :
Pagi ini kembali detik.com menurunkan berita tentang penyerobotan jalur di Kor VI.
Pagi ini jalur Kor II antara Galur dan underpass Senen juga diserobot oleh motor dan kemudian mobil.
Kedua peristiwa tersebut memang sering terjadi, tetapi penyerobotan di Kor II ini di motori oleh pagawai cap tugu dengan motor B 8435 xx.
Ini adalah contoh yang buruk.
Salam (dc)
Andrayogi | 07 Agustus :
Terakhir saya lihat hari Minggu lalu, kl ga salah sekitar jam 21.30-an, jalur busway dari mulai depan TA lebih macet dari pada jalur reguler, eh tau2nya di ujung jalur busway yg sebelum flyover Citraland ada 3 pak polisi yang menyetop satu persatu kendaraan pribadi yg masuk jalur busway, saya ga tau apakah ditilang atau ga, tp ini salah satu kemajuan yang sudah dilakukan pak polisi dalam mensterilkan jalur busway. Tinggal jalur daan mogot aja nich yg masih parah.
6.8.07
Pelayanan Buruk Busway
KOMPAS | Sebelumnya saya salut kepada Gubernur DKI Sutiyoso atas program transportasi busway untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Sayang, saat ini pelayanan dari pengelolaan bus transjakarta terlihat buruk. Jadi perlu ada evaluasi terhadap kinerja manajemen bus transjakarta.
Hal-hal yang perlu diperbaiki, antara lain, adalah kualitas pelayanan karyawan yang sangat rendah dan sering bersikap kasar terhadap penumpang, kualitas halte, dan jembatan penyeberangan yang sangat kotor. Sampah juga mengotori sepanjang jembatan dan area sekitar jembatan. Juga ada lantai jembatan yang tak berpelat baja dan banyak atap penyeberangan yang hilang, seperti di jembatan halte Cempaka Timur, Jakarta Pusat. Jembatan halte itu seolah tidak terurus. Lintasan jalan banyak yang tidak terurus dan kotor, bahkan ada rumput-rumput liar yang tumbuh di trotoar, seperti di depan Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan.
Selain itu, banyak halte yang tidak terurus atau kurang terawat, seperti halte Harmoni, Jakarta Pusat, yang kotor dan banyak jaring laba-laba. Halte Pecenongan, Jakarta Pusat, tanpa lampu dan hanya diterangi lilin. Saat saya tanya, sudah lima hari tanpa penerangan lampu dan AC untuk loket. Juga genset yang ada tak berfungsi karena tidak ada solar, ini sangat memalukan.
Di samping itu, penumpukan penumpang di setiap halte transfer perlu dipikirkan pengaturan bus yang jelas, terarah, dan tepat waktu. Perlu pula dipikirkan pengaturan kendaraan bus di setiap halte transfer dan bus jangan menumpuk di pool atau disesuaikan kebutuhan jumlah penumpang di setiap halte.
Tidak perlu ada alasan-alasan di belakangnya, yang perlu diutamakan adalah pelayanan publik, mengurangi kemacetan, dan target penumpang terpenuhi. Untuk karyawan, perlu ada pengaturan karyawan di halte, bus, dan pool yang lebih terarah karena terlihat mereka sering bergerombol dan mengobrol, bercanda tanpa ada arah dan kerja yang jelas. Ini sangat berpengaruh terhadap iklim dan suasana kerja yang tidak profesional dan kondusif.
Perlu juga diatur pengisian bahan bakar pada jam-jam sibuk (rush hour) karena saya pernah menunggu di halte transfer yang dipadati penumpang, tetapi bus kosong lewat begitu saja, bahkan sampai dua-tiga bus kosong, dengan alasan akan mengisi bahan bakar.
JAMHUR
Jalan Tambak,
Menteng, Jakarta
Hal-hal yang perlu diperbaiki, antara lain, adalah kualitas pelayanan karyawan yang sangat rendah dan sering bersikap kasar terhadap penumpang, kualitas halte, dan jembatan penyeberangan yang sangat kotor. Sampah juga mengotori sepanjang jembatan dan area sekitar jembatan. Juga ada lantai jembatan yang tak berpelat baja dan banyak atap penyeberangan yang hilang, seperti di jembatan halte Cempaka Timur, Jakarta Pusat. Jembatan halte itu seolah tidak terurus. Lintasan jalan banyak yang tidak terurus dan kotor, bahkan ada rumput-rumput liar yang tumbuh di trotoar, seperti di depan Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan.
Selain itu, banyak halte yang tidak terurus atau kurang terawat, seperti halte Harmoni, Jakarta Pusat, yang kotor dan banyak jaring laba-laba. Halte Pecenongan, Jakarta Pusat, tanpa lampu dan hanya diterangi lilin. Saat saya tanya, sudah lima hari tanpa penerangan lampu dan AC untuk loket. Juga genset yang ada tak berfungsi karena tidak ada solar, ini sangat memalukan.
Di samping itu, penumpukan penumpang di setiap halte transfer perlu dipikirkan pengaturan bus yang jelas, terarah, dan tepat waktu. Perlu pula dipikirkan pengaturan kendaraan bus di setiap halte transfer dan bus jangan menumpuk di pool atau disesuaikan kebutuhan jumlah penumpang di setiap halte.
Tidak perlu ada alasan-alasan di belakangnya, yang perlu diutamakan adalah pelayanan publik, mengurangi kemacetan, dan target penumpang terpenuhi. Untuk karyawan, perlu ada pengaturan karyawan di halte, bus, dan pool yang lebih terarah karena terlihat mereka sering bergerombol dan mengobrol, bercanda tanpa ada arah dan kerja yang jelas. Ini sangat berpengaruh terhadap iklim dan suasana kerja yang tidak profesional dan kondusif.
Perlu juga diatur pengisian bahan bakar pada jam-jam sibuk (rush hour) karena saya pernah menunggu di halte transfer yang dipadati penumpang, tetapi bus kosong lewat begitu saja, bahkan sampai dua-tiga bus kosong, dengan alasan akan mengisi bahan bakar.
JAMHUR
Jalan Tambak,
Menteng, Jakarta
4.8.07
Rp.3,2 M hutang
Busway Ngaku Utang Rp 3,2 M
WARTA KOTA - Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta menyatakan jumlah kekurangan biaya jasa pengoperasian armada busway yang belum dibayarkan hanya Rp 3,1 miliar. Tunggakan itu pun hanya untuk koridor IV-VII antara bulan Januari-Mei 2007. "Sisa kekurangan jasa operator busway yang akan dibayarkan BLU itu besarnya Rp 3,1 miliar, bukan Rp 33,4 miliar. Pembayaran 80 persen itu hanya Januari-Mei, mulai Juni sudah dibayar penuh," ujar Pelaksana Harian Kepala BLU Transjakarta Anton Rante Parura kepada Warta Kota, Jumat (3/7).
Menurut Anton, pihaknya telah melakukan perhitungan berdasarkan jumlah armada di empat koridor itu sejak awal beroperasi atau Januari 2007 hingga yang ada saat ini. "Kami menghitung berdasarkan jumlah bus mereka," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua DPD Organda DKI Herry JC Rotty mengatakan, sejak Januari-Juli 2007, BLU Transjakarta belum membayar sisa tarif sekitar Rp 33,4 miliar. "Hitungannya, 238 bus x Rp 12.885/km x 20% = Rp 159.469.760 sehari, sebulan Rp 4,7 miliar," katanya (Warta Kota, 2/8).
Para pengusaha juga menolak rencana pelelangan pengadaan 74 armada busway oleh BLU Transjakarta. Mereka menilai pengoperasian 238 unit bus Transjakarta saja belum jelas landasan hukumnya. "Kami hanya menerima surat perintah kerja (SPK) dari pemda," ujar Sekretaris Organda DKI, TR Panjaitan, Rabu (1/8).
Anton menambahkan, keputusan membayar 80 persen jasa operator merupakan kebijakan BLU. Begitu pula mengenai dasar hukum bagi kontrak kerja operator armada busway. "Bukan Biro Perlengkapan Pemprov DKI yang memutuskan persentase pembayaran, melainkan kami dari BLU. Tapi, Biro Perlengkapan yang mengeluarkan surat keputusan mengenai besarnya rupiah per kilometer berdasarkan hasil kesepakatan pihak-pihak terkait," ujarnya.
Kepala Biro Perlengkapan DKI Riyanto mengatakan, kesepakatan penentuan besaran jasa pengoperasian bus untuk koridor IV-VII berlangsung cukup alot. Pasalnya, ada perbedaan pandangan antara pengusaha, pemprov, dan konsultan. "Makanya baru bisa selesai," ujar Riyanto saat mendampingi Gubernur Sutiyoso dalam kunjungan kerja ke Semarang, kemarin.
Jalur IV-VII diresmikan Gubernur Sutiyoso pada Minggu (28/1). Pengadaan bus untuk empat koridor diserahkan kepada dua konsorsium, yaitu PT Jakarta Trans Megapolitan (koridor IV dan VI) dan PT Jakarta Mega Trans (koridor V dan VII).
Jumlah bus pada empat koridor, yaitu koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), V (Kampungmelayu-Ancol), VI (Ragunan-Kuningan), dan koridor VII (Kampungmelayu-Kampungrambutan) adalah 173 bus biasa dan 34 bus gandeng. Konsorsium akan mendapat pembayaran dari BLU Transjakarta berdarkan jumlah bus yang beroperasi, bukan bus yang disediakan. Karena itu, semakin banyak bus yang beroperasi maka semakin besar biaya yang dibayar BLU Transjakarta.
Menurut Anton, pembayaran tersebut belum semua karena pengusaha, Pemprov DKI, dan konsultan baru menemukan kesepakatan harga pada Juni 2007 sebesar Rp 12.885 per kilometer per bus. (dra)
WARTA KOTA - Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta menyatakan jumlah kekurangan biaya jasa pengoperasian armada busway yang belum dibayarkan hanya Rp 3,1 miliar. Tunggakan itu pun hanya untuk koridor IV-VII antara bulan Januari-Mei 2007. "Sisa kekurangan jasa operator busway yang akan dibayarkan BLU itu besarnya Rp 3,1 miliar, bukan Rp 33,4 miliar. Pembayaran 80 persen itu hanya Januari-Mei, mulai Juni sudah dibayar penuh," ujar Pelaksana Harian Kepala BLU Transjakarta Anton Rante Parura kepada Warta Kota, Jumat (3/7).
Menurut Anton, pihaknya telah melakukan perhitungan berdasarkan jumlah armada di empat koridor itu sejak awal beroperasi atau Januari 2007 hingga yang ada saat ini. "Kami menghitung berdasarkan jumlah bus mereka," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua DPD Organda DKI Herry JC Rotty mengatakan, sejak Januari-Juli 2007, BLU Transjakarta belum membayar sisa tarif sekitar Rp 33,4 miliar. "Hitungannya, 238 bus x Rp 12.885/km x 20% = Rp 159.469.760 sehari, sebulan Rp 4,7 miliar," katanya (Warta Kota, 2/8).
Para pengusaha juga menolak rencana pelelangan pengadaan 74 armada busway oleh BLU Transjakarta. Mereka menilai pengoperasian 238 unit bus Transjakarta saja belum jelas landasan hukumnya. "Kami hanya menerima surat perintah kerja (SPK) dari pemda," ujar Sekretaris Organda DKI, TR Panjaitan, Rabu (1/8).
Anton menambahkan, keputusan membayar 80 persen jasa operator merupakan kebijakan BLU. Begitu pula mengenai dasar hukum bagi kontrak kerja operator armada busway. "Bukan Biro Perlengkapan Pemprov DKI yang memutuskan persentase pembayaran, melainkan kami dari BLU. Tapi, Biro Perlengkapan yang mengeluarkan surat keputusan mengenai besarnya rupiah per kilometer berdasarkan hasil kesepakatan pihak-pihak terkait," ujarnya.
Kepala Biro Perlengkapan DKI Riyanto mengatakan, kesepakatan penentuan besaran jasa pengoperasian bus untuk koridor IV-VII berlangsung cukup alot. Pasalnya, ada perbedaan pandangan antara pengusaha, pemprov, dan konsultan. "Makanya baru bisa selesai," ujar Riyanto saat mendampingi Gubernur Sutiyoso dalam kunjungan kerja ke Semarang, kemarin.
Jalur IV-VII diresmikan Gubernur Sutiyoso pada Minggu (28/1). Pengadaan bus untuk empat koridor diserahkan kepada dua konsorsium, yaitu PT Jakarta Trans Megapolitan (koridor IV dan VI) dan PT Jakarta Mega Trans (koridor V dan VII).
Jumlah bus pada empat koridor, yaitu koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), V (Kampungmelayu-Ancol), VI (Ragunan-Kuningan), dan koridor VII (Kampungmelayu-Kampungrambutan) adalah 173 bus biasa dan 34 bus gandeng. Konsorsium akan mendapat pembayaran dari BLU Transjakarta berdarkan jumlah bus yang beroperasi, bukan bus yang disediakan. Karena itu, semakin banyak bus yang beroperasi maka semakin besar biaya yang dibayar BLU Transjakarta.
Menurut Anton, pembayaran tersebut belum semua karena pengusaha, Pemprov DKI, dan konsultan baru menemukan kesepakatan harga pada Juni 2007 sebesar Rp 12.885 per kilometer per bus. (dra)
3.8.07
Kendaraan Pribadi Dibatasi
Adang Daradjatun
Busway Diperluas dan Kendaraan Pribadi Dibatasi Penggunaannya
KOMPAS | Pembenahan sektor transportasi di Jakarta mengacu pada konsep dan indikator kota berkelanjutan. Karena itu, pembenahan yang akan dilakukan menggunakan delapan indikator sustainable city transportation system, yaitu penurunan penggunaan mobil per kapita, peningkatan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda, serta penurunan jumlah pelaju atau komuter dari dan ke tempat kerja dengan kendaraan.
Selain itu, akan dilakukan peningkatan pelayanan perjalanan terhadap jalan yang ada, peningkatan cost recovery perjalanan, penurunan ruang parkir per 1.000 pekerja di pusat bisnis, dan peningkatan jalur sepeda. Fokus utama, penyediaan moda transportasi massal yang aman, nyaman, murah, dan cepat.
Busway adalah sarana efektif untuk mendorong menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman, dan cepat melalui bus rapid transportation (BRT) system. Busway adalah moda transportasi yang bisa diharapkan untuk mengalihkan pengguna mobil pribadi ke moda transportasi umum. Karena itu, melanjutkan program busway dan mengatasi kendala keterbatasan bus untuk mendukung sistem ini menjadi prioritas.
Busway harus dilihat sebagai suatu sistem dan bukan cuma penyediaan jalur dan pengadaan bus. Perbaikan manajemen akan dilakukan sehingga operasional berjalan lancar, mengurangi keterlambatan, menambah frekuensi bus, serta menutup pintu korupsi dan penyimpangan dalam pengelolaan busway.
Harus diperbaiki pula kualitas halte dan jalur busway yang sudah rusak. Kualitas pelayanan petugas busway ditingkatkan melalui pelatihan service excellent.
Optimalisasi dan pembenahan busway sebagai BRT dan pembenahan sarana transportasi umum akan diikuti dengan merintis penetapan tarif untuk mobil pribadi yang melewati jalan tertentu secara elektronik. Mekanisme ini diharapkan efektif mengurangi kepadatan mobil pribadi di jalan utama Ibu Kota.
Akan didorong kerja sama dengan pihak swasta pengelola angkutan umum dan pengembang perumahan untuk penyediaan bus pengumpan (feeder) yang mendukung keberadaan busway.
Sebagai bagian dari kerja sama membangun busway sebagai suatu sistem, akan disediakan lahan parkir di pintu masuk kota untuk perpindahan kendaraan pribadi ke busway atau feeder. Dengan lahan itu, diharapkan pengguna mobil pribadi dari komuter luar kota meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke busway atau feeder busway ketika masuk ke Jakarta. Tujuannya mengurangi kepadatan mobil di ruas jalan Ibu Kota.
Saya akan mengoptimalkan sarana perkeretaapian melalui kerja sama dengan PT Kereta Api (KA) yang dimungkinkan Undang-Undang Perkeretaapian. Akan dirintis pengoperasian KRL AC yang menghubungkan Jakarta dengan daerah satelitnya. KA masih sarana transportasi massal yang efektif untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak, cepat, dan murah. (KSP/ONG)
Busway Diperluas dan Kendaraan Pribadi Dibatasi Penggunaannya
KOMPAS | Pembenahan sektor transportasi di Jakarta mengacu pada konsep dan indikator kota berkelanjutan. Karena itu, pembenahan yang akan dilakukan menggunakan delapan indikator sustainable city transportation system, yaitu penurunan penggunaan mobil per kapita, peningkatan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda, serta penurunan jumlah pelaju atau komuter dari dan ke tempat kerja dengan kendaraan.
Selain itu, akan dilakukan peningkatan pelayanan perjalanan terhadap jalan yang ada, peningkatan cost recovery perjalanan, penurunan ruang parkir per 1.000 pekerja di pusat bisnis, dan peningkatan jalur sepeda. Fokus utama, penyediaan moda transportasi massal yang aman, nyaman, murah, dan cepat.
Busway adalah sarana efektif untuk mendorong menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman, dan cepat melalui bus rapid transportation (BRT) system. Busway adalah moda transportasi yang bisa diharapkan untuk mengalihkan pengguna mobil pribadi ke moda transportasi umum. Karena itu, melanjutkan program busway dan mengatasi kendala keterbatasan bus untuk mendukung sistem ini menjadi prioritas.
Busway harus dilihat sebagai suatu sistem dan bukan cuma penyediaan jalur dan pengadaan bus. Perbaikan manajemen akan dilakukan sehingga operasional berjalan lancar, mengurangi keterlambatan, menambah frekuensi bus, serta menutup pintu korupsi dan penyimpangan dalam pengelolaan busway.
Harus diperbaiki pula kualitas halte dan jalur busway yang sudah rusak. Kualitas pelayanan petugas busway ditingkatkan melalui pelatihan service excellent.
Optimalisasi dan pembenahan busway sebagai BRT dan pembenahan sarana transportasi umum akan diikuti dengan merintis penetapan tarif untuk mobil pribadi yang melewati jalan tertentu secara elektronik. Mekanisme ini diharapkan efektif mengurangi kepadatan mobil pribadi di jalan utama Ibu Kota.
Akan didorong kerja sama dengan pihak swasta pengelola angkutan umum dan pengembang perumahan untuk penyediaan bus pengumpan (feeder) yang mendukung keberadaan busway.
Sebagai bagian dari kerja sama membangun busway sebagai suatu sistem, akan disediakan lahan parkir di pintu masuk kota untuk perpindahan kendaraan pribadi ke busway atau feeder. Dengan lahan itu, diharapkan pengguna mobil pribadi dari komuter luar kota meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke busway atau feeder busway ketika masuk ke Jakarta. Tujuannya mengurangi kepadatan mobil di ruas jalan Ibu Kota.
Saya akan mengoptimalkan sarana perkeretaapian melalui kerja sama dengan PT Kereta Api (KA) yang dimungkinkan Undang-Undang Perkeretaapian. Akan dirintis pengoperasian KRL AC yang menghubungkan Jakarta dengan daerah satelitnya. KA masih sarana transportasi massal yang efektif untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak, cepat, dan murah. (KSP/ONG)
Benahi dulu manajemen BLU
Rencana pelelangan pengadaan 74 armada busway oleh Badan Layanan Umum (BLU) transjakarta diprotes para konsorsium operator bus angkutan massal dan Organda. Mereka menilai pengoperasian 238 unit bus transjakarta saja belum jelas landasan hukumnya.
“Kita hanya menerima SPK (surat perintah kerja) dari Pemda,” ujar Sekretaris Organda DKI Jakarta, TR Panjaitan, Rabu (1/8)
Menurut Dirut PT Jakarta Trans Metropolitan (JMT) Agus Sugiarto, lelang pengadaan 74 unit bus atau 40 persen armada busway untuk memenuhi kebutuhan angkutan yang mempunyai jalan khusus di tujuh koridor itu, justru akan menambah masalah baru.
“Benahi dulu manajemen BLU dan berikan hak-hak operator yang selama ini sudah berinvestasi dan melayani penumpang. Tarif yang diterima operator dari BLU pun baru dibayar 80 persen sejak Januari–Juli 2007,” katanya.
Sedangkan menurut Ketua DPD Organda DKI Herry JC Rotty, para operator busway itu, tidak mau menyebut angka utang sisa tarif yang belum dibayar Pemda.
Namun, Herry merinci sejak Januari–Juli 2007, Pemprov DKI belum membayar sisa tarif sekitar Rp 33,4 miliar. “Hitungannya, 238 bus x Rp12.885/km x 20% = Rp 159.469.760 sehari, sebulan sudah Rp 4,7 miliar,” kata Herry Rotty ketika dihubungi via telepon.
Sementara itu, Direktur PT Trans Batavia, Surahmat dan Dirut Jakarta Mega Trans, H Sutisna mengatakan, dari 238 armada busway yang sudah dipenuhi para konsorsium belum dioperasikan seluruhnya.
“Ini artinya masih ada kelebihan armada, kenapa musti ditambah armada. Dasar hukum lelang pengadaan armada pun tidak jelas,” ujarnya.
“Selama ini 238 bus yang ada pun tidak dioperasional semuanya dengan alasan menghemat dana subsidi APBD. Bagaimana kalau ditambah padahal modal yang sudah diinvestasikan harus kami kembalikan ke bank,” tambahnya. [beritajakarta.com]
Jumlah bus pada empat koridor, yaitu koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), V (Kampungmelayu-Ancol), VI (Ragunan-Kuningan), dan koridor VII (Kampungmelayu-Kampungrambutan) adalah 173 bus biasa dan 34 bus gandeng. Konsorsium akan mendapat pembayaran dari BLU Transjakarta berdarkan jumlah bus yang beroperasi, bukan bus yang disediakan. Karena itu, semakin banyak bus yang beroperasi maka semakin besar biaya yang dibayar BLU Transjakarta.
Menurut Anton, pembayaran tersebut belum semua karena pengusaha, Pemprov DKI, dan konsultan baru menemukan kesepakatan harga pada Juni 2007 sebesar Rp 12.885 per kilometer per bus. [Wartakota]
“Kita hanya menerima SPK (surat perintah kerja) dari Pemda,” ujar Sekretaris Organda DKI Jakarta, TR Panjaitan, Rabu (1/8)
Menurut Dirut PT Jakarta Trans Metropolitan (JMT) Agus Sugiarto, lelang pengadaan 74 unit bus atau 40 persen armada busway untuk memenuhi kebutuhan angkutan yang mempunyai jalan khusus di tujuh koridor itu, justru akan menambah masalah baru.
“Benahi dulu manajemen BLU dan berikan hak-hak operator yang selama ini sudah berinvestasi dan melayani penumpang. Tarif yang diterima operator dari BLU pun baru dibayar 80 persen sejak Januari–Juli 2007,” katanya.
Sedangkan menurut Ketua DPD Organda DKI Herry JC Rotty, para operator busway itu, tidak mau menyebut angka utang sisa tarif yang belum dibayar Pemda.
Namun, Herry merinci sejak Januari–Juli 2007, Pemprov DKI belum membayar sisa tarif sekitar Rp 33,4 miliar. “Hitungannya, 238 bus x Rp12.885/km x 20% = Rp 159.469.760 sehari, sebulan sudah Rp 4,7 miliar,” kata Herry Rotty ketika dihubungi via telepon.
Sementara itu, Direktur PT Trans Batavia, Surahmat dan Dirut Jakarta Mega Trans, H Sutisna mengatakan, dari 238 armada busway yang sudah dipenuhi para konsorsium belum dioperasikan seluruhnya.
“Ini artinya masih ada kelebihan armada, kenapa musti ditambah armada. Dasar hukum lelang pengadaan armada pun tidak jelas,” ujarnya.
“Selama ini 238 bus yang ada pun tidak dioperasional semuanya dengan alasan menghemat dana subsidi APBD. Bagaimana kalau ditambah padahal modal yang sudah diinvestasikan harus kami kembalikan ke bank,” tambahnya. [beritajakarta.com]
Jumlah bus pada empat koridor, yaitu koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), V (Kampungmelayu-Ancol), VI (Ragunan-Kuningan), dan koridor VII (Kampungmelayu-Kampungrambutan) adalah 173 bus biasa dan 34 bus gandeng. Konsorsium akan mendapat pembayaran dari BLU Transjakarta berdarkan jumlah bus yang beroperasi, bukan bus yang disediakan. Karena itu, semakin banyak bus yang beroperasi maka semakin besar biaya yang dibayar BLU Transjakarta.
Menurut Anton, pembayaran tersebut belum semua karena pengusaha, Pemprov DKI, dan konsultan baru menemukan kesepakatan harga pada Juni 2007 sebesar Rp 12.885 per kilometer per bus. [Wartakota]
2.8.07
Protes dari konsorsium
Konsorsium Protes Lelang Penambahan Armada Busway
JAKARTA (Suara Karya): Di tengah-tengah sorotan rencana kenaikan tarif busway, persoalan baru muncul lagi. Sejumlah konsorsium busway memrotes kebijakan Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta yang akan menggelar lelang penambahan armada untuk koridor IV-VII pada Jumat (3/8).
Anggota konsorsium yang protes lelang tersebut antara lain PT TransBatavia dan PT Jakarta Mega Trans. Tak hanya konsorsium, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Provinsi DKI Jakarta juga memprotes rencana lelang tersebut.
"Rencana lelang itu mengada-ada. Kondisi konsorsium busway sekarang ini cukup memprihatinkan karena dana 20 persen yang menjadi hak mereka harus terima dari BLU sampai sekarang belum dibayar. Tapi mau ditinggalkan, tidak diikutsertakan lelang. Mereka sudah bersusah-payah menyediakan armada sesuai yang diminta, tetapi tidak semua dioperasionalkan, mengapa sekarang mau melakukan lelang penambahan armada. Rencana lelang itu benar-benar tidak bisa kita dipahami," ujar Sekjen DPD Organda Provinsi DKI, TR Panjaitan, Rabu (1/8).
Lebih lanjut TR Panjaitan menambahkan, pada awal 2006 konsorsium dipaksa mengadakan armada busway, agar launcing pada 27 Januari 2007 oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso seluruh armada yang diminta sudah disiapkan. Padahal, banyak masalah yang dihadapi, antara lain perjanjian kerja sama (PKS) belum ada sehingga hak dan kewajiban para pihak tidak jelas.
"Kita ingin ada evaluasi secara transparan manajemen BLU TransJakarta. Berapa besar pendapatan tiket busway. Berapa besar biaya operasional busway koridor 4-7, dan berapa besar subsidi dari APBD. Apa alasannya lelang menambah armada, sementara yang ada saja tidak dioperasikan semua," kata TR Panjaitan lagi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Jakarta Mega Trans (JMG) Agus Sugiarto mempertanyakan dasar hukum lelang penambahan armada busway untuk empat koridor tersebut. "Kita ingin menyukseskan program busway ini sehingga kita berinvestasi tanpa dasar hukum yang kuat pun dijalankan. Saat ini hanya perjanjian kerja sama tiap tiga bulan diperpanjang. Kita ingin lelang ditunda dulu," ujar Agus.
Senada dengan Agus, Direktur Keuangan PT TransBatavia, Surahmad, mengatakan, macetnya tagihan dana 20 persen dari BLU itu membuat kondisi perusahaannya "Senin-Kamis" karena ia harus membayar biaya-biaya yang tidak mungkin kita hindari," kata Surahmad. (Yon Parjiyono)
JAKARTA (Suara Karya): Di tengah-tengah sorotan rencana kenaikan tarif busway, persoalan baru muncul lagi. Sejumlah konsorsium busway memrotes kebijakan Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta yang akan menggelar lelang penambahan armada untuk koridor IV-VII pada Jumat (3/8).
Anggota konsorsium yang protes lelang tersebut antara lain PT TransBatavia dan PT Jakarta Mega Trans. Tak hanya konsorsium, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Provinsi DKI Jakarta juga memprotes rencana lelang tersebut.
"Rencana lelang itu mengada-ada. Kondisi konsorsium busway sekarang ini cukup memprihatinkan karena dana 20 persen yang menjadi hak mereka harus terima dari BLU sampai sekarang belum dibayar. Tapi mau ditinggalkan, tidak diikutsertakan lelang. Mereka sudah bersusah-payah menyediakan armada sesuai yang diminta, tetapi tidak semua dioperasionalkan, mengapa sekarang mau melakukan lelang penambahan armada. Rencana lelang itu benar-benar tidak bisa kita dipahami," ujar Sekjen DPD Organda Provinsi DKI, TR Panjaitan, Rabu (1/8).
Lebih lanjut TR Panjaitan menambahkan, pada awal 2006 konsorsium dipaksa mengadakan armada busway, agar launcing pada 27 Januari 2007 oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso seluruh armada yang diminta sudah disiapkan. Padahal, banyak masalah yang dihadapi, antara lain perjanjian kerja sama (PKS) belum ada sehingga hak dan kewajiban para pihak tidak jelas.
"Kita ingin ada evaluasi secara transparan manajemen BLU TransJakarta. Berapa besar pendapatan tiket busway. Berapa besar biaya operasional busway koridor 4-7, dan berapa besar subsidi dari APBD. Apa alasannya lelang menambah armada, sementara yang ada saja tidak dioperasikan semua," kata TR Panjaitan lagi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Jakarta Mega Trans (JMG) Agus Sugiarto mempertanyakan dasar hukum lelang penambahan armada busway untuk empat koridor tersebut. "Kita ingin menyukseskan program busway ini sehingga kita berinvestasi tanpa dasar hukum yang kuat pun dijalankan. Saat ini hanya perjanjian kerja sama tiap tiga bulan diperpanjang. Kita ingin lelang ditunda dulu," ujar Agus.
Senada dengan Agus, Direktur Keuangan PT TransBatavia, Surahmad, mengatakan, macetnya tagihan dana 20 persen dari BLU itu membuat kondisi perusahaannya "Senin-Kamis" karena ia harus membayar biaya-biaya yang tidak mungkin kita hindari," kata Surahmad. (Yon Parjiyono)
Pemilihan Dewan Transportasi Kota
Seleksi Dewan Transportasi Kota Dibuka
Koran Tempo - Seleksi pendaftaran Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dibuka pada 6-16 Agustus mendatang. Panitia akan memilih 13 anggota Dewan dan menunjuk dua orang dari Dinas Perhubungan dan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
"DTKJ dipilih dari delapan unsur," kata Ketua Panitia Ellen Tankudung. Delapan unsur itu antara lain perguruan tinggi, pakar transportasi, pengusaha angkutan, masyarakat pengguna jasa transportasi, lembaga swadaya masyarakat bidang transportasi, dan satu wakil dari awak angkutan.
Wakil Ketua Panitia Seleksi Azas Tigor Nainggolan berharap anggota DTKJ yang terpilih nanti tidak sekadar menjadi tukang stempel kebijakan transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "DTKJ periode kedua diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah transportasi," ujarnya. [SOFIAN]
MEDIA INDONESIA - 31 Juli 2007
Dewan Transportasi Kota Jakarta 'Mandul'
Penulis: Emir Chairullah
Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dianggap tidak berfungsi optimal dalam mengatasi persoalan transportasi di ibukota.
DTKJ sering hanya menjadi 'cap stempel' kebijakan Gubernur DKI Jakarta.
"Banyak kebijakan pemprov yang sebenarnya tidak sesuai dengan studi yang dilakukan. Tapi DTKJ tidak punya kekuatan untuk melawan itu," kata Wakil Ketua DTKJ Azas Tigor Nainggolan saat memaparkan rencana seleksi calon anggota DTKJ periode 2007-2009 di Jakarta, Selasa (31/7).
Hadir pada kesempatan itu beberapa anggota DTKJ periode 2005-2007 yang sekaligus menjadi Panitia Rekruitmen seperti Ellen Tangkudung, Darmaningtyas, TR Panjaitan, Ahmad Syafruddin, dan Noor Cholis.
Sebenarnya DTKJ sudah banyak menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada Pemprov DKI. Sayangnya hampir sebagian produk rekomendasi itu tidak direspons pemprov.
"Akibatnya kejadian seperti pemangkasan jalur hijau di sepanjang Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin bisa terjadi," tambah Ahmad Syafruddin.
Karena itu, Tigor mengatakan, ke depan DTKJ harus mampu menguatkan fungsi kelembagaannya sebagai jembatan antara kepentingan stake holder transportasi dan pemerintah provinsi DKI. Penguatan fungsi ini tidak harus dalam bentuk penambahan wewenang DTKJ.
"Namun yang diperlukan yaitu kemampuan melobi pihak pemprov agar rekomendasi DTK dilakukan," ujarnya.
Faktor lain yang membuat DTKJ terlihat 'melempem' yaitu minimnya fungsi keterwakilan dalam anggota DTK sendiri. Seringkali, anggota yang berasal dari konstituen yang satu justru membela kepentingan konstituen lain.
"Misalnya anggota dari unsur lembaga konsumen justru membela kepentingan pengusaha angkutan. Ini repot," kata Darmaningtyas.
Mengenai proses seleksi, Ketua Panitia Seleksi Ellen Tangkudung mengatakan, pihaknya akan mencari 15 anggota baru dari berbagai kalangan. Unsur yang dilibatkan yaitu perguruan tinggi, pakar transportasi, pengusaha angkutan, masyarakat pengguna angkutan, LSM transportasi dan awak angkutan.
"Sementara dua unsur lagi yaitu Dishub dan Kepolisian akan ditentukan instansi mereka," ungkapnya.
Ia menyebutkan, proses pendaftaran dilakukan mulai 6 Agustus 2007 hingga 16 Agustus 2007. Setelah lolos persyaratan administratif, debat publik, psikotes, dan wawancara, anggota DTK yang baru diumumkan pada 2 Oktober 2007 untuk masa bakti dua tahun.
"Anggota DTK yang saat ini menjabat masih bisa ikut serta. Namun yang menjadi panitia seleksi tidak bisa ikut," tegasnya. (Che/Ol-03)
Koran Tempo - Seleksi pendaftaran Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dibuka pada 6-16 Agustus mendatang. Panitia akan memilih 13 anggota Dewan dan menunjuk dua orang dari Dinas Perhubungan dan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
"DTKJ dipilih dari delapan unsur," kata Ketua Panitia Ellen Tankudung. Delapan unsur itu antara lain perguruan tinggi, pakar transportasi, pengusaha angkutan, masyarakat pengguna jasa transportasi, lembaga swadaya masyarakat bidang transportasi, dan satu wakil dari awak angkutan.
Wakil Ketua Panitia Seleksi Azas Tigor Nainggolan berharap anggota DTKJ yang terpilih nanti tidak sekadar menjadi tukang stempel kebijakan transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "DTKJ periode kedua diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah transportasi," ujarnya. [SOFIAN]
MEDIA INDONESIA - 31 Juli 2007
Dewan Transportasi Kota Jakarta 'Mandul'
Penulis: Emir Chairullah
Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dianggap tidak berfungsi optimal dalam mengatasi persoalan transportasi di ibukota.
DTKJ sering hanya menjadi 'cap stempel' kebijakan Gubernur DKI Jakarta.
"Banyak kebijakan pemprov yang sebenarnya tidak sesuai dengan studi yang dilakukan. Tapi DTKJ tidak punya kekuatan untuk melawan itu," kata Wakil Ketua DTKJ Azas Tigor Nainggolan saat memaparkan rencana seleksi calon anggota DTKJ periode 2007-2009 di Jakarta, Selasa (31/7).
Hadir pada kesempatan itu beberapa anggota DTKJ periode 2005-2007 yang sekaligus menjadi Panitia Rekruitmen seperti Ellen Tangkudung, Darmaningtyas, TR Panjaitan, Ahmad Syafruddin, dan Noor Cholis.
Sebenarnya DTKJ sudah banyak menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada Pemprov DKI. Sayangnya hampir sebagian produk rekomendasi itu tidak direspons pemprov.
"Akibatnya kejadian seperti pemangkasan jalur hijau di sepanjang Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin bisa terjadi," tambah Ahmad Syafruddin.
Karena itu, Tigor mengatakan, ke depan DTKJ harus mampu menguatkan fungsi kelembagaannya sebagai jembatan antara kepentingan stake holder transportasi dan pemerintah provinsi DKI. Penguatan fungsi ini tidak harus dalam bentuk penambahan wewenang DTKJ.
"Namun yang diperlukan yaitu kemampuan melobi pihak pemprov agar rekomendasi DTK dilakukan," ujarnya.
Faktor lain yang membuat DTKJ terlihat 'melempem' yaitu minimnya fungsi keterwakilan dalam anggota DTK sendiri. Seringkali, anggota yang berasal dari konstituen yang satu justru membela kepentingan konstituen lain.
"Misalnya anggota dari unsur lembaga konsumen justru membela kepentingan pengusaha angkutan. Ini repot," kata Darmaningtyas.
Mengenai proses seleksi, Ketua Panitia Seleksi Ellen Tangkudung mengatakan, pihaknya akan mencari 15 anggota baru dari berbagai kalangan. Unsur yang dilibatkan yaitu perguruan tinggi, pakar transportasi, pengusaha angkutan, masyarakat pengguna angkutan, LSM transportasi dan awak angkutan.
"Sementara dua unsur lagi yaitu Dishub dan Kepolisian akan ditentukan instansi mereka," ungkapnya.
Ia menyebutkan, proses pendaftaran dilakukan mulai 6 Agustus 2007 hingga 16 Agustus 2007. Setelah lolos persyaratan administratif, debat publik, psikotes, dan wawancara, anggota DTK yang baru diumumkan pada 2 Oktober 2007 untuk masa bakti dua tahun.
"Anggota DTK yang saat ini menjabat masih bisa ikut serta. Namun yang menjadi panitia seleksi tidak bisa ikut," tegasnya. (Che/Ol-03)
1.8.07
Pembahasan tarif setelah Pilkada
beritajakarta.com - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta akan membahas usulan kenaikan tarif busway yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 8 Agusutus mendatang.
“Kita belum tahu tanggal pastinya pokoknya setelah pencoblosan pilkada karena kita juga masih menunggu hasil kajian yang dilakukan Dewan Transportasi Kota,” kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto, Selasa (31/7).
Pihaknya, kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini, akan mencari cara agar pelayanan busway sesuai standar operasional yang disepakati semula yakni kedatangan bus transjakarta yang satu dengan yang lainnya sekitar lima menit sehingga tidak terjadi penumpukan penumpang.
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna menegaskan, dewan akan membentuk tim gabungan antara Komisi B dan D untuk membahas usulan kenaikan tarif busway itu. “Kita akan berupaya agar kenaikannya tidak memberatkan masyarakat,’ ujarnya.
“Bila tarif itu terpaksa harus dinaikkan kita meminta agar disesuaikan dengan tingkat daya beli masyarakat,” ujar politisi Partai Golkar ini.
Sebelumnya, Ketua DPD Organda DKI Jakarta Herry JC Rotty meminta agar Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta sebagai pengelola busway harus diaudit oleh akuntan publik.
“Ini perlu dilakukan agar besaran subsidi yang mesti diberikan Pemprov DKI kepada Transjakarta sesuai dengan kebutuhan,” ujar Herry.
Sedangkan Gubernur Sutiyoso menilai penambahan subsidi dan kenaikan tarif busway adalah langkah yang paling efektif agar pengoperasian bus transjakarta busway berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Target itu berupa pelayanan yang optimal dan tarif yang terjangkau oleh masyarakat.
“Menurut pandangan saya cara yang paling tepat untuk mengatasi menurunnya mutu pelayanan busway yaitu subsidi ditambah namun tarifnya juga dinaikkan,” jelas Sutiyoso.
Eks Pangdam Jaya itu menegaskan, bila hanya menambah subsidi memang besar anggaran yang mesti dikeluarkan oleh Pemprov DKI melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sedangkan di bidang lain, kata Sutiyoso, juga perlu ada subsidi seperti bidang pendidikan dan kesehatan. “Kita mesti mengeluarkan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat kecil,” katanya.
Sutiyoso menuturkan, pihaknya telah mengusulkan beberapa alternatif kepada dewan. “Saat ini tergantung mereka, mana yang akan dipilih yakni apakah tarifnya tetap Rp3.500 tapi subsidinya ditambah atau subsidinya tetap sedangkan tarifnya dinaikkan,” ujarnya. “Kenaikan tarif itu tidak bisa dihindari. Dan kalau hanya menolak tanpa memberikan solusi itu bagaimana,” kata Sutiyoso.
Kajian objektif pelayanan busway dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta, DTK, dan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) selama dua minggu sejak 16 Juli 2007. “Kajian ini akan dijadikan dasar kenaikan tarif,” jelasnya.
Secara teknis Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurachman mengatakan, hingga saat ini memang terjadi ketimpangan antara besar tarif dan subsidi yang diberikan pemerintah.
Pasalnya, subsidi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta hanya sebesar Rp 203 miliar, sedangkan tarif yang berlaku hanya Rp 3.500. Sehingga kekurangan operasional mencapai sebesar Rp 55 miliar.
“Kita belum tahu tanggal pastinya pokoknya setelah pencoblosan pilkada karena kita juga masih menunggu hasil kajian yang dilakukan Dewan Transportasi Kota,” kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto, Selasa (31/7).
Pihaknya, kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini, akan mencari cara agar pelayanan busway sesuai standar operasional yang disepakati semula yakni kedatangan bus transjakarta yang satu dengan yang lainnya sekitar lima menit sehingga tidak terjadi penumpukan penumpang.
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna menegaskan, dewan akan membentuk tim gabungan antara Komisi B dan D untuk membahas usulan kenaikan tarif busway itu. “Kita akan berupaya agar kenaikannya tidak memberatkan masyarakat,’ ujarnya.
“Bila tarif itu terpaksa harus dinaikkan kita meminta agar disesuaikan dengan tingkat daya beli masyarakat,” ujar politisi Partai Golkar ini.
Sebelumnya, Ketua DPD Organda DKI Jakarta Herry JC Rotty meminta agar Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta sebagai pengelola busway harus diaudit oleh akuntan publik.
“Ini perlu dilakukan agar besaran subsidi yang mesti diberikan Pemprov DKI kepada Transjakarta sesuai dengan kebutuhan,” ujar Herry.
Sedangkan Gubernur Sutiyoso menilai penambahan subsidi dan kenaikan tarif busway adalah langkah yang paling efektif agar pengoperasian bus transjakarta busway berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Target itu berupa pelayanan yang optimal dan tarif yang terjangkau oleh masyarakat.
“Menurut pandangan saya cara yang paling tepat untuk mengatasi menurunnya mutu pelayanan busway yaitu subsidi ditambah namun tarifnya juga dinaikkan,” jelas Sutiyoso.
Eks Pangdam Jaya itu menegaskan, bila hanya menambah subsidi memang besar anggaran yang mesti dikeluarkan oleh Pemprov DKI melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sedangkan di bidang lain, kata Sutiyoso, juga perlu ada subsidi seperti bidang pendidikan dan kesehatan. “Kita mesti mengeluarkan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat kecil,” katanya.
Sutiyoso menuturkan, pihaknya telah mengusulkan beberapa alternatif kepada dewan. “Saat ini tergantung mereka, mana yang akan dipilih yakni apakah tarifnya tetap Rp3.500 tapi subsidinya ditambah atau subsidinya tetap sedangkan tarifnya dinaikkan,” ujarnya. “Kenaikan tarif itu tidak bisa dihindari. Dan kalau hanya menolak tanpa memberikan solusi itu bagaimana,” kata Sutiyoso.
Kajian objektif pelayanan busway dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta, DTK, dan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) selama dua minggu sejak 16 Juli 2007. “Kajian ini akan dijadikan dasar kenaikan tarif,” jelasnya.
Secara teknis Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurachman mengatakan, hingga saat ini memang terjadi ketimpangan antara besar tarif dan subsidi yang diberikan pemerintah.
Pasalnya, subsidi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta hanya sebesar Rp 203 miliar, sedangkan tarif yang berlaku hanya Rp 3.500. Sehingga kekurangan operasional mencapai sebesar Rp 55 miliar.