Menuntut Proyek Berlarut-larut
Timbulkan Imbas Negatif, Masyarakat Menerima Saja
Fly over dan under pass dapat menjadi salah satu solusi mengurangi kemacetan. Sayang pembangunan kedua proyek itu terasa berlarut-larut dan bahkan tak sedikit yang mangkrak. Jika awalnya diharapkan dapat mengatasi justru kian membuat macet. Ironisnya, masyarakat yang menjadi "korban" molornya proyek itu tidak pernah menanyakan ke pemerintah kapan pengerjaannya selesai. Partisipasi mereka dalam pembangunan masih sangat rendah.
Fly over Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya. Saat ini, proyek tersebut sudah setengah jalan. Upaya betonisasi ruas jalan sudah dilakukan. Lengkap dengan saluran airnya sepanjang sekitar 500 m. Sedangkan, betonisasi tembok pembatas belum dikerjakan petugas. Besi beton di kiri kanan ruas jalan masih terlihat. Pemasangan lampu dan pembersihan tembok bagian dalam juga terlihat belum sempurna.
Tanah menggunung yang diberi pembatas seng untuk memisahkan garapan proyek dengan jalan umum membuat tidak enak dipandang. Dan, yang pasti, kemacetan di daerah itu kian parah. Kendaraan yang melintas dari arah utara dan selatan hanya bisa menggunakan satu jalur.
Fly over yang sempat menimbulkan pro kontra dengan pembangunan busway tersebut kondisinya tidak seratus persen tertutup. Siapa pun yang melintas bisa menerobos masuk areal proyek. Baik dari arah utara maupun selatan. Kondisi proyek juga terkesan berantakan. Ini bisa menimbulkan sarang nyamuk. Apalagi, di kawasan Jakarta lagi mewabah demam berdarah dengue (DBD).
Sementara itu, berlarut-larutnya pembangunan fly over Tomang, Jakarta Barat, juga menimbulkan imbas negatif terhadap lingkungan sekitar. Khususnya pengguna jalan dan pemandangan kota. Sebab, tiang pancang rencana pembangunan fly over yang terhenti tersebut berdiri tegak tidak jauh dari ruas jalan. Sehingga, saat terjadi kemacetan, secara otomatis, tiang pancang tersebut mengganggu para pengendara.
Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo Yusuf, pengerjaan fly over Kebayoran Lama tidak terhenti dan terus dikebut. "Kami targetkan 2007 selesai," ujar Wisnu. Menurutnya, fly over itu sendiri sudah mulai dikerjakan sejak 2005. Saat ini, dalam masa penyelesaian.
Selain fly over Kebayoran Lama, Dinas Pekerjaan Umum pun sedang menggeber pembangunan fly over Angkasa dan fly over Roxy. "Ketiga fly over itu saya harapkan rampung September 2007," ujar Wisnu. Menurutnya, fly over itu dibiayai secara multiyears. Artinya, dana mengucur hingga proyek tersebut selesai. Selama ini, beberapa proyek Pemprov DKI Jakarta sering terhenti pengerjaannya karena dananya dianggarkan per tahun dan bukan per proyek.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Achmad Husin A menyatakan, memang sudah seharusnya proyek-proyek di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dibiayai secara multiyears agar tidak terhambat pengerjaannya dan menyusahkan banyak orang. Banyak proyek tertunda pembangunannya karena tidak menggunakan dana multiyears.
Seperti diketahui, kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian besar. Dari hasil riset, mengakibatkan kerugian ekonomi Rp 2,97 triliun. Itu pun hanya untuk biaya operasional kendaraannya. Sedangkan kerugian untuk waktu perjalanan yang terhambat akibat macet mencapai Rp 2,47 triliun per tahun. Fly over pertama yang dibangun di Jakarta berada di Pasar Pagi. Jalan layang ini dibangun pada 1990. Fly over Pasar Pagi dibangun sepanjang 1 km dan menghabiskan biaya Rp 27 miliar. Dananya dari bantuan Bank Dunia.
Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian pemerintah memberanikan diri membangun fly over dengan menggunakan dana APBD dan bantuan Bank Dunia. Kemudian pada 1992- 1997, Pemprov DKI Jakarta membangun empat fly over, yaitu di Senen, Pramuka, Kampung Melayu, dan Sudirman. Setelah proyek itu selesai, menyusul pembangunan di KS Tubun, Manggarai dan Cideng.
Selanjutnya dibangun underpass Tanah Abang, Cideng, Kuningan, dan Dukuh Atas. Pada 1997, semua pembangunan infrastruktur jalan dihentikan karena krisis moneter. Lima tahun kemudian bergairah lagi. Pada 2002 mulailah dibangun infrastruktur jalan dimulai dengan proyek fly over Kalibata, Penggilingan, dan Galur. Setelah selesai, menyusul lima proyek besar yang dibangun secara bersamaan, yaitu fly over Pancoran dan Kuningan (masing-masing menghabiskan dana Rp 36 miliar), Daan Mogot (Rp 36 miliar). Juga dibangun underpass Pasar Jumat, dan Pramuka (Rp 28 miliar).
Empat proyek lainnya, under pass Senen menghabiskan dana Rp 80 miliar, underpass Tomang (Rp 50 miliar), Cawang (Rp 50 miliar), dan fly over Daan Mogot (Rp 36 miliar). Underpass dan fly over terpaksa dibangun karena pertumbuhan kendaraan setiap tahunnya mencapai 15 persen. Sementara pertumbuhan jalan hanya 5 persen.
Maharani Siti Shopia, peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), menilai, terbengkalainya proyek karena pemerintah tidak memiliki perhitungan yang jelas dan spesifik. Yakni dalam hal melakukan perencanaan setiap proyek. Sudah banyak sarana yang rusak dan tidak ada kejelasan secara pasti kapan perbaikannya. Padahal ini sangat urgen. "Ini sangat meresahkan masyarakat dan menandakan betapa buruknya aspek perencanaan pemerintah kita dalam mengerjakan proyek-proyek ini," kata gadis manis ini.
Seharusnya, proyek ini melibatkan partisipasi publik dan masyarakat harus berpartisipasi aktif. Di antaranya adalah dalam analisis dan dampak lingkungan (Amdal), khususnya pembuatan rencana kajian lingkungan (RKL) atau rencana pengawasan lingkungan (RPL)-nya. Dengan begitu, penanganan ketika terjadi suatu masalah bisa menjadi lebih baik. (aak/eko/bam) indopos
No comments:
Post a Comment