Ketika dunia di sekitar kita berupaya mengurangi emisis CO2 dan para pakar menganjurkan tambahan moda transportasi yang mendukung upaya itu, sangatlah ironis keputusan Jakarta untuk memilih pembangunan jalan tol bertingkat (untuk kendaraan pribadi) dibanding membenahi busway, kereta api (transportasi massal), jaringan jalur sepeda, pedestrian (non-polluted).
Sudah sangat kasat mata bahwa prioritas transportasi Jakarta ada dalam pembenahan sistem, perencanaan dan operasional busway. Dari masalah manajemen, layanan, sukucadang hingga pembayaran BBG yang ditunda-tunda. Dilain sisi, kerjasama dan koordinasi antar instansi (Pemprov DKI, POLDA, Departemen Perbubungan, Dirjen Pajak) begitu buruk seolah masing-masing memiliki visi sendiri yang berbeda dari tujuan negara. Pengaturan lalulintas, pengintegrasian stasiun kereta api dengan halte busway, hingga salahkaprah dalam mengenakan pajak (quote: Pajak adalah .... digunakan sebesarbesarnya untuk membiayai kebutuhan dan tugas-tugas negara demi kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat....)
Jakarta masih tetap akan menyiksa warganya hingga puluhan tahun ke depan dengan berbagai proyeknya: jalan tol, subway, deep tunnel, monorel.... Agaknya kita butuh orang-orang yang visioner, yang bisa memanfaatkan segala yang dimiliki sebelum memutuskan membuat yang sama sekali baru. Sekurangnya: yang sudah ada bisa dijadikan komponen dari yang baru.
Pakar transportasi asal Nepal dari Institute for Transport Policy Studies Tokyo, Dr. Surya Raj Acharya, di Fukuoka, Jepang, mengatakan "Jakarta sangat terlambat membangun sarana transportasi massal dibanding kota-kota besar lainnya di Asia."
Pada 7-10 Desember 2007 di Fukuoka, Jepang, digelar Asian City Journalist Conference Part II dihadiri 10 jurnalis dari 10 kota di Asia.
"Jalan-jalan di Bogota punya 16 lajur kiri dan kanan. Di Jakarta hanya 6 lajur hingga 9 lajur. Begitu koridor busway dibangun, menimbulkan kemacetan di Jakarta," lanjut Surya Raj Acharya.
Karenanya Pemprov DKI Jakarta harus segera membangun sistem transportasi massal lainnya secara terpadu, yang akan mengatasi kemacetan dan menekan pencemaran udara.
"Kereta api yang melayani kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi sangat mendesak untuk dibangun," ujarnya.
Toshi Noda, Director of the Regional Office for Asia and the Pacific of the UN Human Settlements Programme mengatakan, sudah saatnya pemerintah kota mengubah cara pandang dalam penggunaan transportasi berkelanjutan (sustainable transportation). Antara lain, menggunakan moda transportasi dengan energi lebih efisien, misalnya menggalakkan berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan transportasi publik ramah lingkungan.
Penting untuk menambah pilihan sarana transportasi publik serta fasilitas bersepeda dan pejalan kaki. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan juga mendesak untuk dilakukan. Tatat kota perlu dirancang agar bersahabat dengan lingkungan dan warga kota bisa saling berinteraksi.
Fukuoka merupakan salah satu kota model terbaik di dunia, konsepnya: pedestrian adalah raja di jalanan. Umumnya kota dibangun jauh sebelum mobil diciptakan. Kota yang dikembangkan dengan mengutamakan kendaraan bermotor akan memiliki banyak masalah: polusi, macet, ketergantungan pada bahanbakar fosil, semakin sempitnya ruang gerak dll yang berujung pada biaya ekonomi tinggi, cara hidup yang tidak sehat dan tentunya global warming pula.... (data: Shanghai Daily, Kompas foto: Bogota, David Kromba)
No comments:
Post a Comment