Transportasi Jakarta menyimpan banyak persoalan. Kemacetan makin menjadi-jadi karena jumlah kendaraan pribadi bertambah tapi pertumbuhannya tak sebanding dengan kemampuan penambahan ruas jalan. Proyek busway, yang ditujukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mengatasi kemacetan, masih mengundang kontroversi.
Untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun enam ruas jalan tol dalam kota. Namun, sejumlah kalangan menilai pembangunan jalan tol dalam kota itu bertentangan dengan kebijakan pemerintah membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Sutanto Soehodho mengatakan bahwa kemacetan itu akan hilang kalau orang pindah ke busway. Agar orang mau pindah ke busway, Sutanto menyarankan supaya sistem tiket, jumlah bus, dan bus pengumpan busway, misalnya, dibenahi.
Sutanto, 45 tahun, mengatakan bahwa busway belum maksimal dalam mengurangi pengguna kendaraan pribadi karena jumlah kendaraannya masih terbatas, mobil pengumpan (feeder) juga belum banyak. Menurut dia, logikanya keberadaan busway, yang mengambil sebagian badan jalan akan menimbulkan kemacetan. "Tapi kemacetan itu akan hilang kalau orang pindah ke busway, kan?" ujar guru besar bidang transportasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini.[selengkapnya di Koran Tempo]
Kepada wartawan Tempo, Ngarto Februana, Erwin Dariyanto, dan fotografer Nickmatulhuda, Selasa lalu, Sutanto mengutarakan pemikirannya tentang moda transportasi yang ideal untuk Kota Jakarta. Wawancara berlangsung di Gedung Serbaguna Dinas Pendapatan Daerah, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, setelah mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia ini memberikan seminar tentang tata ruang wilayah DKI Jakarta. Berikut ini petikannya.
Pemerintah menyetujui rencana pembangunan jalan tol dalam kota. Bukankah ini bertentangan dengan tujuan pengoperasian busway?
Kita harus berangkat dari situasi gambaran bahwa infrastruktur jalan kita itu tumbuh sangat lambat dibanding negara lain. Infrastruktur kita hanya tumbuh 0,01 persen per tahun dan (pertambahan jumlah) kendaraan sudah melampaui 10 persen per tahun. Jadi jelas, solusinya ke depan kita harus membangun angkutan umum lebih banyak lagi. Bahwa kemudian ada pemikiran jalan tol dibangun di dalam kota, itu bagaimana membuat sirkulasi menjadi lebih lancar. Pertama, dia dibangun di atas permukaan tanah atau jalan. Jadi dia me-minimize penggunaan lahan yang ada. Kedua, kalau kita hitung, busway yang disiapkan 15 koridor itu mungkin kapasitas angkutnya kurang dari 20 persen dari keseluruhan perjalanan menggunakan angkutan umum. Artinya, angkutan umum kita sudah sangat padat. Kalau busway pun jadi, terus yang 80 persen sisanya akan diakomodasi oleh angkutan seperti apa?
Maka kami akan membangun MRT (mass rapid transit), monorel, dan sebagainya supaya (pengguna) kendaraan pribadi mau pindah ke angkutan umum. Alasan ketiga, dalam membangun angkutan umum, pemerintah selalu mengalami hambatan biaya, artinya selalu kekurangan dana. Lihat saja, kami membangun MRT saja kekurangan dana, bukan dana dalam negeri; apa iya tidak punya dana?
Apakah pengguna kendaraan pribadi berkurang setelah busway dioperasikan?
Belum optimal. Karena apa? Armadanya masih terbatas, belum ada feeder-nya.
Apa yang harus dilakukan supaya optimal?
Menurut saya, kita stop dulu yang 10 koridor. Bukan stop dalam arti kata berhenti. Kita melakukan pembenahan benar-benar terhadap 10 koridor yang sudah ada. Kita bangun sistem tiketnya, kita bangun feeder service-nya, kita tambah jumlah armadanya, dioperasikan optimal. Kita lihat bagaimana animo masyarakat. Kalau misalnya lebih baik, apa iya masyarakat tidak memilih (busway).
Busway mengurangi kemacetan atau justru menambah kemacetan?
Logikanya begini, tentu saja keberadaan busway yang mengambil sebagian badan jalan yang ada itu akan menimbulkan kemacetan. Tapi kemacetan itu akan hilang kalau orang pindah ke busway, kan?
Mengapa pengguna kendaraan pribadi enggan pindah ke busway? Apakah karena belum tersedianya lahan parkir yang memadai?
Parkir itu tidak diperlukan kalau kita punya feeder service yang bagus. Parkir itu perlu kita adakan di tempat-tempat di pinggiran kota saja. Karena, kalau di dalam kota, akan celaka: orang dari pinggiran kota menuju tengah kota dengan kendaraan pribadinya menuju titik parkir tadi. Tapi, kalau di pinggiran kota, memang dia tidak menggunakan kendaraan pribadi dari awal.
Lebih efektif mana busway atau MRT seperti di Singapura?
Semuanya sangat ditentukan oleh struktur kota, sistem pemerintahannya, dan juga bagaimana pemerintah menentukan solusi pemikiran jangka panjang. Kalau mau dibilang Singapura sukses dengan MRT-nya, Bogota juga sukses dengan busway-nya. Ini menunjukkan apa pun modanya, kalau dilakukan dengan baik dan benar, ternyata berhasil. Cuma, di luar itu, menurut saya, sangat penting peran serta masyarakat, sikap mental, dan juga perilaku masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan seperti ini. Kalau belum apa-apa masyarakat sudah mencela, menyalahkan, itu kan sikap mental. Belum juga menikmati hasilnya, tapi sudah mencela.
Termasuk perilaku pengguna jalan yang suka serobot sana serobot sini?
Jangan lupa bahwa kemacetan itu tidak hanya disebabkan oleh busway. Kalau kita mau jujur, sudah tertibkah orang yang menggunakan jalur yang bukan busway. Bus berhenti di sembarang tempat, orang menyeberang di sembarang tempat, parkir di badan jalan. Bahkan kita pengendara roda empat berperilaku yang sama, motong jalan di sembarang tempat, tidak sabar, semua menimbulkan berbagai macam dilema, yang ujung-ujungnya kinerja jalan yang ada, yang sudah sangat terbatas, makin rendah karena perilaku kita sendiri.
Adakah cara yang tepat untuk mengubah perilaku masyarakat ini?
Penegakan aturan yang ketat dan pendidikan. Cuma itu. Pendidikan transportasi yang baik sebenarnya bisa dikenalkan sejak di level paling rendah. Anak-anak di taman kanak-kanak, SD, mereka diajak menyeberang di tempatnya, dan melakukan hal-hal yang positif di jalan.
Denda dalam jumlah besar bagi pelanggar, seperti di Singapura, bisakah diterapkan di sini?
Mengapa tidak? Kita jangan hanya mengatakan Singapura bisa lebih baik, tapi berani tidak jiwa kita berperilaku seperti masyarakat Singapura: menyeberang pada tempatnya, tidak membuang sampah sembarangan.
Tentang kebijakan transportasi di Jakarta, apa sudah terintegrasi, termasuk mengikutsertakan semua unsur?
Saya melihat masih ada koordinasi yang kurang di antara instansi pemerintah, bukan hanya di tataran implementasi, di tataran planning pun begitu. Artinya, ke depan kita harus melakukan koordinasi, persamaan persepsi di dalam planning, implementasi, dan juga dalam hal penegakan aturan sesuai dengan apa yang sudah dirancang. Jadi ini tuntunan kegiatan yang harus ada konsistensinya. Jangan sampai kita buat peta yang baik-baik, tapi diimplementasikan dengan cara yang salah.
Berarti selama ini tidak konsisten dalam implementasinya?
Sejujurnya, ada beberapa hal yang implementasinya kurang mengikuti prosedur yang baik. Misalnya, kita bisa melakukan sosialisasi, studi dampak lingkungan, dan kita menunjukkan ini, lo, yang kita dapat, sehingga pengorbanan masyarakat yang sebulan-dua bulan bermacet-macet itu ada kepastian, ke depan kita melihat transportasi yang lebih baik. Kan itu tidak pernah disosialisasi. Masyarakat perlu tahu ujung perjalanan ini mau ke mana.
Selama ini sosialisasinya kurang?
Harus saya katakan, iya. Mohon maaf kalau ini dirasakan kurang oleh pemerintah daerah.
Itu yang menyebabkan terjadi penolakan di Pondok Indah?
Salah satunya, iya. Walaupun tidak ada jaminan penyertaan mereka dalam perencanaan bisa membuat pembangunan koridor busway di Pondok Indah menjadi lebih baik, kan ada tata cara yang harus dilakukan dengan baik.
Saya ingin menyimpulkan bahwa membangun (transportasi) Jakarta ini tidak dengan angkutan umum. Itu salah besar. Kita banyak mengalami hambatan. BBM (bahan bakar minyak) yang semakin langka, pasti akan semakin mahal, infrastruktur yang sangat terbatas, emisi yang begitu besar. Jadi ini semua memaksa kita mencari solusi--dengan keterbatasan tadi--dengan angkutan kolektif, bersama, massal. Apakah itu bentuknya busway, MRT, silakan.
Sistem transportasi apa yang paling ideal untuk Jakarta?
Yang ideal adalah berpikir kita memindahkan manusia dalam jumlah besar dalam satuan waktu yang lebih kecil. Itu sebabnya, ada yang namanya MRT, karena tujuannya kita memindahkan orang yang banyak tadi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, itu yang baik. Meski demikian, bukan berarti MRT tidak ada minusnya. Minusnya, investasinya mahal dan berdampak pada tarif yang lebih mahal--kalau itu bisa gratis, akan menjadi unggulan yang luar biasa.
Apakah pilihan pemerintah DKI menggunakan busway sudah tepat?
Menurut saya, Jakarta memilih busway karena dilihat dari berbagai sisi: investasinya tidak mahal, kapasitasnya lumayan tinggi, bisa dibangun dengan cepat, harganya terjangkau.
Jadi, untuk saat ini, yang ideal bisa dibangun di Jakarta adalah busway?
Menurut saya, iya. Dilihat dari berbagai aspek, kalau kita ngomong kapasitas, memang masih kurang.
Bagaimana dengan pembatasan kendaraan ke dalam kota?
Pembatasan bisa dilakukan manakala sudah ada alternatif lain, ada busway, MRT, dan sebagainya.
Dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia, Tokyo misalnya, transportasi Jakarta bagaimana?
Tokyo membangun kota sangat hati-hati, mulai tata kota sampai land use-nya, tata ruang, dan angkutan umum. Saya kira Jepang mulai membangun subway sejak 50-an tahun yang lalu. Jadi sejak saat itu mereka sudah menyiapkan ke depan Tokyo membutuhkan mass rapid transportation dan itu dibangun di bawah tanah. Hasilnya, saya tidak bisa membayangkan Tokyo tanpa subway, karena yang saya lihat, dengan MRT dan subway yang ada pun Tokyo masih macet. Tapi kemacetan tadi masih bisa diterima, karena saya yakin komposisinya lebih besar orang yang menggunakan subway. Kalau saya melihat perbandingan orang menggunakan kendaraan umum dengan kendaraan pribadi lebih dari 50 : 50 persen, malah mungkin mencapai 70 persen banding 30 persen. Itu pun masih macet pada saat-saat tertentu.
Apa peran Dewan Transportasi Kota dalam menata transportasi di Jakarta?
Kami memberikan banyak masukan. Posisi kami adalah konseling. Kami bisa memberi advice, baik diminta maupun tidak. Tapi, dalam pelaksanaannya, advice kami digunakan atau tidak, bukan urusan kami lagi.
Banyak masukan Dewan yang kemudian dipakai oleh pemerintah daerah?
Sebagian digunakan, sebagian tidak.
Misalnya?
Kami banyak dimintai masukan mengenai kenaikan tarif. Untuk proyek busway, kami banyak diminta melakukan monitoring evaluation, kinerja. Busway itu kan harus dievaluasi dengan baik secara independen. Menurut saya, sampai sekarang tidak ada evaluasi busway. Kalau ada, saya bisa melihat jumlah armada busway sesuai tidak dengan rencana. Tapi, kalau dievaluasi dengan baik, memang harus diakui banyak sekali hambatannya. Misalnya, dalam pengadaan armada, tapi impornya tertahan. Kenapa? Itu urusan Departemen Keuangan. Jadi ada sinergi yang kita butuhkan dari semua pihak untuk melancarkan semuanya tadi.
Anda aktif di berbagai organisasi transportasi di luar negeri. Bagaimana mereka melihat transportasi di Jakarta?
Saya punya beberapa teman dari Inggris, Amerika, begitu melihat sepeda motor, mereka berpandangan lain terhadap kita. Karena sudah frustrasi dengan sepeda motor, kita ingin motor itu dihapus. Tapi mereka berpandangan, "Kenapa harus dihapus? Ini solusi bagi orang yang punya mobilitas tinggi." Ada lagi, soal kereta. Naik kereta Jabotabek, kita tahu, dong, isinya kereta Jabotabek: ada tukang sayur, tidak ada pintunya, malam tidak ada lampunya. Saya bilang ini pelayanan yang jelek. Dia menganggap ini pelayanan yang feasible. Kenapa? Karena, hanya dengan membayar Rp 1.500. "Ini pelayanan luar biasa; kok, bisa hidup," dia bilang.
Anda juga menanamkan kesadaran transportasi kepada anak-anak Anda?
O, iya. Kebetulan anak saya lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Tapi itu saya batasi, ingat BBM, ingat juga banyak masyarakat lain yang tidak menggunakan kendaraan pribadi. Kalau bisa berangkat bersama teman-teman naik angkot, kenapa tidak. Tidak jarang anak saya naik ojek. Paling tidak, saya mengatakan agar mereka naik angkutan umum.
BIODATA
Nama: Sutanto Soehodho
Lahir: Jakarta, 6 Mei 1962
Pendidikan:
1986: Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia (S-1)
1989: Universitas Tokyo, Jepang (S-2)
1992: Universitas Tokyo, Jepang (S-3)
Karier:
Dosen Fakultas Teknik UI
2003: Guru besar bidang transportasi Fakultas Teknik UI
2002-2007: Wakil Rektor Bidang Akademik UI
Sejak 2004: Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta
Sejak 2007: Ketua Pusat Kajian Transportasi Fakultas Teknik UI
No comments:
Post a Comment