21.7.07

Operasional Busway Panik

Republika - Belum lagi rencana busway koridor VIII, IX, dan X beroperasi Agustus mendatang, operasional tujuh koridor yang berjalan mulai keteteran. Besarnya subsidi untuk operasional bus bebas hambatan ini dituding menjadi penyebabnya. Sehingga pihak Badan Layanan Umum (BLU) TransJakarta di bawah naungan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI terpaksa memangkas jumlah armadanya. Keadaan ini diakui Sekdaprov DKI Jakarta, Ritola Tasmaya, jika manajemen busway sedang mengalami masa sulit.

Buntut kebijakan itu, membuat operator kelabakan karena pemasukan rupiah atas armada yang digunakan menjadi berkurang. Padahal masyarakat baru mulai menikmati lalu lalang busway di tujuh koridor seputar Jakarta. Dampak pengurangan armada itu berimbas pada bertambahnya jadwal waktu kedatangan busway ke tiap halte.

Pemprov DKI mengaku tidak sanggup menanggung beban subsidi. Satu-satunya jalan yang dimungkinkan adalah melalui kenaikan tarif. Kenaikan tarif yang akan terjadi pertama kalinya sejak tahun pertama kali diluncurkan pada 2004 masih tetap berlaku dalam pola rata atau flat fare senilai Rp 3.500. Penerapan tarif secara flat dipilih karena pada umumnya negara berkembang mengadopsi penerapan tarif ini. Di negara yang belum maju masyarakat dalam kelas menengah ke bawah tinggal di pinggir kota bukan di tengah kota. Dengan kebijakan tarif flat masyarakat menengah ke bawah bisa leluasa berkendara ke berbagai penjuru kota dalam jarak jauh dengan biaya terjangkau.

Bagi Ritola Tasmaya, kendati kenaikan tarif tidak terelakkan, pemerintah memutuskan untuk bersikap pro rakyat miskin. "Biar lah pengguna jarak dekat menggunakan kendaraan umum bila tarif baru busway terlalu tinggi," ujarnya, Rabu (19/7). Menciptakan pola berkendara yang berpihak pada rakyat kebanyakan memang bukan perkara mudah. Pola berkendara di Jakarta belum bisa dikatakan berpihak pada rakyat miskin. Untuk masyarakat yang tinggal di pinggir kota setidaknya dibutuhkan minimal dua kali pergantian kendaraan umum sebelum sampai ke tempat tujuan. Hitungan tersebut baru berlaku untuk satu kali perjalanan.

Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta yang juga penggiat LSM Pelangi, Andi Rahman, menyepakati dengan pemilihan tarif flat. "Ada unsur subsidi silang di situ," katanya. Masyarakat yang tinggal di tengah kota dan menggunakan jarak dekat menyubsidi pengguna antarkoridor karena notabene tinggal tidak di tengah kota. Masalahnya berdasar pengamatan Andi, pengguna busway jarak dekat lebih didominasi penumpang angkutan umum model lama yang beralih ke busway karena tidak memiliki pilihan lain.

Kenaikan tarif yang tidak terelakkan itu diharapkannya dibarengi dengan pembangunan berkendara lain yang terjangkau kantong masyarakat. "Ada kekhawatiran memang bahwa kenaikan tarif berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Andi, 60 persen penduduk Jakarta hidup dengan penghasilan di bawah upah minimum provinsi. Artinya, 60 persen dari sekitar 7,5 juta jiwa menyambung nyawa dengan penghasilan di bawah Rp 900 ribu. Dengan mengasumsikan setiap menuju tempat kerja atau tujuan dibutuhkan dua kali pergantian kendaraan umum dengan biaya Rp 2 ribu untuk satu kendaraan, maka bila dihitung setiap bulannya sekitar 44 persen pendapatan mereka dihabiskan hanya untuk ongkos transportasi. Jumlah itu bila dikali dengan pengeluaran ongkos satu tahun, nilainya setara dengan Rp 5 juta.

Semakin minim pendapatan seseorang, bisa dipastikan pengeluaran transportasinya akan makin besar. "Sehingga pemerintah harus memberikan pilihan dan akses yang baik untuk menekan biaya transportasi warganya." Penekanan ongkos transportasi pada sebuah keluarga bisa dialihkan untuk pemberian gizi yang lebih baik bagi anak hingga perbaikan kualitas kesehatan. "Ini efek yang perlu dipikirkan pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan transportasi massal."

Andi menyarankan cara yang tidak mahal untuk mewujudkan transportasi massal yang berpihak pada rakyat. Dia mengatakan pembukaan kebijakan pembangunan jalur pejalan kaki dan sepeda menjadi salah satu solusi. Bagi masyarakat dengan level ekonomi menengah ke bawah sesungguhnya kenyamanan bukan menjadi faktor utama. "Yang paling penting adalah keamanan yang terjangkau dengan bujet terbatas," katanya. Kenaikan tarif busway tentu mengakibatkan sejumlah masyarakat harus menekan kebutuhan tertentu. Caranya bisa tidak naik busway dan menggunakan kendaraan umum biasa.

Melalui perbaikan jalur pejalan kaki, Andi meyakini pengguna busway tidak surut. Karena mereka bisa mengkombinasikannya dengan berjalan kaki yang tidak menghabiskan biaya. Dia menambahkan dimana pun sudah menjadi kultur bahwa masyarakat menginginkan untuk tetap produktif dengan biaya seminim mungkin.

Keberhasilan bus rapid transit di Bogota yang ditiru Indonesia, terletak pada adanya jalur pejalan kaki yang baik. "Dengan jalur pejalan kaki terbangun lebih dari 300 kilometer, pengguna Transmillenio Bogota sanggup mencapai 1,6 juta jiwa per hari," terangnya. Padahal jalur busway di Jakarta jauh lebih panjang dari Bogota. Dengan panjang koridor busway mencapai 97,3 kilometer penumpang per harinya hanya 200 ribu.

Kajian Bank Dunia menyatakan pola transportasi yang optimal di negara berkembang merupakan kombinasi dari berbagai metode. Alasannya pengguna kendaraan umum memiliki pilihan yang berbeda sebagai efek dari perbedaan pendapatan. Kajian itu mengatakan peningkatan kesejahteraan masyarakat pengguna transportasi publik dimungkinkan sementara pemerintah menerima peningkatan pendapatan dari segi transportasi. Caranya adalah dengan menyediakan beragam pilihan berkendara untuk beragam segmen penggunanya. [indira rezkisari]

No comments:

Post a Comment