Tanpa adanya upaya yang seksama untuk mengatasi masalah kemacetan ini, dapat dipastikan bahwa akumulasi gelombang keluhan dan penolakan terhadap kebijakan yang sesungguhnya populis dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak, yaitu busway yang kita cintai, justru akan semakin mengental dan dapat mengkristal untuk menenggelamkannya.
Marilah kita sedikit menengok ke belakang dan mencermati kilas balik tentang kisah sukses dari penerapan busway yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu.
Meskipun masih sangat jauh dari sempurna, bahkan dengan segudang kekurangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Koridor I (Blok M – Kota) dapat dikatakan telah meraih sukses dan mampu merebut hati sebagian besar masyarakat DKI, baik yang sebelumnya kontra dan tentu mereka yang pro busway. Rekognisi ini tidak terbatas hanya pada skala lokal DKI saja, melainkan juga skala nasional, dimana kota-kota daerah telah berlomba-lomba untuk mengembangkan busway dengan caranya masing-masing, begitu pula halnya dengan rekognisi international.
Apabila ditelaah lebih lanjut, success story ini bukanlah semata-mata karena peran angkutan massal busway-nya saja, melainkan banyak faktor lain sebagai kebijakan pendukungnya yang secara konsisten turut diimplementasikan sebagai kesatuan paketnya.
Tingkat pelayanan (level of service) bagi masyarakat dalam berlalu lintas menjadi sekurang-kurangnya tetap sama, bahkan menjadi lebih baik dari kondisi sebelum diterapkannya busway pada koridor tersebut.
Apabila Bogota sukses dalam menerapkan "pico y placa"-nya sebagai kesatuan paket yang merupakan complementary measure mereka, maka dengan karakternya sendiri, DKI telah mengadopsi pendekatan yang serupa dalam mempertahankan existing level of service, yaitu melalui upaya perluasan area 3-in-1 (hingga menyentuh Kota dan Blok M), perpanjangan waktu berlakunya 3-in-1 (sore) dan penyiapan manajemen kapasitas pada koridor-koridor alternatif lalu lintas yang terkena dampak dari penerapan busway tersebut.
Sasarannya bukan hanya untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi agar mau beralih ke busway, namun yang cukup vital adalah agar existing level of service tidak menjadi terdegradasi jauh, bahkan justru diharapkan dapat meningkat.
Survey membuktikan bahwa tingkat kemacetan lalu lintas di koridor I ini mengalami kondisi yang lebih baik apabila dibandingkan sebelum diterapkannya busway. "Ini merupakan salah satu elemen yang mengakibatkan absennya diskresi, violasi dan okupasi liar oleh mobil pribadi pada koridor I hingga saat ini".
Dengan kadar yang berbeda, falsafah serupa untuk mempertahankan existing level of service juga diterapkan pada koridor 2 & 3 (kecuali pada segmen tomang yang bersifat sementara), yaitu melalui penerapan konsep "take & give it back" (pelebaran jalan) dan manajemen lalu lintas, sehingga existing level of service diharapkan menjadi tidak terdegradasi jauh.
Upaya tersebut, tampaknya mulai menyurut pada pengembangan koridor-koridor berikutnya. Namun, menurut saya, bukan berarti hal ini telah dilupakan atau diabaikan, melainkan belum memperoleh prioritas sehubungan dengan adanya kendala pendanaan dan sumber daya.
Grand design terhadap Travel Demand Management (TDM) yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan lalu lintas secara signifikan berupa penerapan Area Electronic Road Pricing (ERP) telah menjadi commitment pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk diterapkan di wilayah DKI. Namun demikian, upaya besar ini tentu masih memerlukan waktu yang cukup guna mempersiapkan implementasinya.
Oleh sebab itu, upaya lain yang mengajak peran serta masyarakat untuk bersama-sama meredam tingkat kemacetan pada waktu yang relatif dekat telah saatnya untuk dilakukan, sehingga level of service dapat lebih baik dan apabila mungkin dapat mendekati kondisi sebelum dibangunnya koridor-koridor busway yang baru tersebut.
Wilayah selebihnya sangat jauh berada dibawah standar kota-kota international yang berkisar 15-20%.
Implikasi logisnya bukan hanya kemacetan saja yang diderita oleh penduduk kota, namun aksesibilitas kawasan juga menjadi sangatlah rendah.
Gambar berikut memperlihatkan adanya puncak-puncak kemacetan tersebut.
Diperlukan upaya yang bersifat mendesak untuk menurunkan beban puncak tersebut sekitar 16,5% di pagi hari dan 9,6% di sore hari, agar tingkat pelayanan lalu lintas berada pada kondisi dimana kapasitas jaringan jalan masih mampu menampungnya.
Perlu dicatat, bahwa kondisi yang telah diturunkan inipun masih akan relatif macet, namun dengan tingkat kemacetan yang masih dapat ditolerir oleh pengendara kendaraan pribadi sehingga mereka tidak tergiur untuk melakukan violasi masuk ke jalur busway yang menurut pandangan mereka tampak kosong.
Hal ini telah mengakibatkan beban puncak yang sangat tinggi sekali (5,1 juta perjalanan) dan mengakibatkan terlampauinya daya dukung prasarana sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Magnitude ini merupakan beban nyata yang dialami oleh jalan-jalan utama di wilayah DKI Jakarta.
Teoritically, upaya menggeser waktu masuk sekolah agar menjauh dari waktu puncak (peak) akan berpotensi untuk menurunkan beban puncak lalu lintas maksimal sekitar 14%.
Proporsi terbesar, secara berturut-turut ada di wilayah Jakarta Selatan (51%), Jakarta Pusat (30%), Jakarta Barat (9%), sedangkan selebihnya tersebar di Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Artinya bahwa kontributor lalu lintas dan kemacetan yang terbesar adalah perkantoran yang berada di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
Dengan demikian, apabila kita mampu memisahkan jam masuk kerja kerja dengan time lag yang cukup memadai antara wilayah Jakarta Selatan dengan Jakarta Pusat, maka reduksi beban lalu lintas di jalan raya akan sangat signifikan, dimana rentang antara 30%-51% dari perjalanan bekerja akan tereduksi pada jalan-jalan raya yang tersebar di wilayah DKI, khususnya di sekitar kawasan pusat kota. Ini akan menghasilkan reduksi nyata pada volume lalu lintas di jalan-jalan raya pada rentang 14,4% - 24,5%.
Rigorous analysis lanjutan, termasuk pemanfaatan transport modeling menyimpulkan bahwa staggered activity hours yang sebaiknya dilakukan tidak terbatas hanya pada jenis aktivitas yang berbeda saja, melainkan juga untuk konteks geografis yang berbeda. Detailnya adalah seperti berikut:
- Jam masuk sekolah pagi Pk. 06.30 – Pk. 13.00
- Jam kerja kantor pemerintah Pk. 07.00 – Pk. 15.00
- Jam kerja kantor swasta (non-bank):
o Jakarta Utara dan Jakarta Pusat Pk. 07.00 – Pk. 15.00 (Pk.
16.00)
o Jakarta Barat dan Jakarta Timur Pk. 08.00 – Pk. 16.00 (Pk.
17.00)
o Jakarta Selatan Pk. 09.00 – Pk. 17.00 (Pk. 18.00)
- Mal, grosir, hypermart Pk. 10.30 – Pk. 22.30
Angka di dalam kurung berlaku bagi kantor-kantor yang menerapkan konsep Compressed Work Week, yaitu hari sabtu libur. Please also note, bahwa konsep penyebaran diatas tampaknya masih berupa "draft" yang akan disesuaikan dengan hasil jajak pendapat kepada masyarakat terkait.
Kembali ke aspek kewenangan dalam pengaturannya, Pemprov DKI hanya dapat mengatur jam sekolah dan jam kerja pemerintah (inipun masih terdapat kewenangan pemerintah pusat di dalamnya), sedang kegiatan sisanya, terutama kantor swasta yang merupakan penyumbang kemacetan terbesar adalah "beyond their reach".
Oleh karenanya, yang mungkin dilakukan hanyalah berupa "Himbauan". Sosialisasi yang masif dan professional agar mereka dapat terketuk untuk mengikuti himbauan tersebut merupakan aspek yang sangat vital.
Rekan-rekan pengguna Transjakarta mungkin dapat turut berperan serta dan berpartisipasi secara aktif untuk men-sosialisasikannya, apabila keputusan akhir nantinya telah diambil.
Insya Allah bermanfaat - DA
[deddy arief di suaratransjakarta]
No comments:
Post a Comment