Gugatan pailit oleh mantan karyawan terhadap PT Dirgantara Indonesia (DI) dikabulkan Pengadilan Niaga. Apa artinya? Dalam pengertian hukum maka perusahaan pembuat pesawat dan kompenan pesawat itu harus dibubarkan, seluruh asetnya dijual, dan hasil penjualan itu digunakan untuk membayar utang, termasuk terhadap mantan karyawannya.
Barangkali mantan karyawan yang menggugat itu puas dengan hasil keputusan itu, setelah bertahun-tahun nasibnya terkatung-katung. Tapi kepuasan secuil itu harus dibayar mahal. Ribuan pengangur tercipta karena karyawan di-PHK, aset intelektual terbengkelai, dan yang jelas salah satu masa depan bangsa telah dibunuh pelan-pelan.
Kasus yang nyaris serupa adalah impor bus dari Korea untuk busway. Kenapa untuk pembuatan bus tidak diberikan ke karoseri dalam negeri tetapi malah mendatangkan dari negeri lain.
Menjadi lebih sayang lagi, karena dalam dua-tiga tahun terakhir ini perusahaan tersebut sudah menunjukkan perbaikan kinerja yang berarti. Pesanan pesawat mengalir, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka mengakui, pesawat bikinan PT DI sudah memenuhi kualifikasi. Belum lagi pesanan komponen pesawat dari Boeing dan sebagainya.
Setiap bangsa memiliki hak dan memiliki potensi untuk menjadi besar. Apalagi bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan, meski kita terdiri atas ratusan suku, ribuan bahasa lokal, dan sebaran geografis yang begitu terpencar, tetapi tetap bisa dipersatukan menjadi Indonesia. Landasan untuk menjadi bangsa besar sudah terposisikan dengan bagus. Tinggal bagaimana melangkah ke depan agar bisa benar-benar menjadi bangsa yang besar.
Sayangnya, kita teramat sibuk dengan egoisme sektoral. Terkadang egoisme kesukuan, terkadang egoisme kepartaian, egoisme kelompok, bahkan juga egoisme pribadi. Semua ingin menjadi nomor satu, semua ingin menguasai, semua ingin dimakan sendiri. Sedih jika melihat orang lain senang, sebaliknya senang jika melihat orang lain sedih.
Lantas apa hubungannya dengan kasus dipailitkannya PT DI oleh pengadilan? Disitulah letaknya. Bagaimanapun, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, PT DI adalah lambang pencapaian tertinggi dari teknologi di Indonesia. Tidak banyak bangsa di dunia ini yang bisa memproduksi pesawat terbang, dan kita bisa.
Tapi kembali ke tadi, ada yang tidak senang melihat keberhasilan kita sendiri. Terbukti ketika banyak orang bertepuk tangan karena uji terbang N-250 sukses, sekelompok lain justru geram. Lawan-lawan ideologi dan politik Habibie (sebagai penggagas pembuatan pesawat) itu justru berharap pesawat jatuh, dan mereka akan bersorak. Mereka tidak rela putra-putri bangsa ini membuat pesawat terbang. Mereka mematikan potensi bangsa.
Kini dengan dipailitkannya PT DI, lengkap sudah pembunuhan potensi bangsa. Entah bagaimana nanti hasil kasasi, yang jelas keputusan tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak peduli dengan teknologi. Kita hanya akan menjadi bangsa pemakai, bukan bangsa produsen, bukan bangsa yang inovatif.
Itu juga bisa dibuktikan dari berbagai kasus yang acap kali terjadi. Dalam hal pemenuhan kebutuhan gerbong kereta misalnya, kita merasa lebih bangga jika memakai gerbong buatan Jepang, sekalipun gerbong bekas berusia belasan tahun itu memang sudah dibuang di Jepang. Bukannya membesarkan PT Inka, tapi justru menerima sampah dari asing.
Begitu juga dengan pembangunan monorel di Jakarta. Sempat ribut-ribut mengenai pemakaian teknologi dari Korea atau Jerman, padahal teknologi monorel tidaklah rumit, kita pun bisa membuatnya. Ketika kita bisa membuat dan bisa menjual dengan harga yang minimal sama, sudah semestinya dipakai, kecuali, ingin mematikan potensi.
Kasus yang nyaris serupa adalah impor bus dari Korea untuk busway. Kenapa untuk pembuatan bus tidak diberikan ke karoseri dalam negeri tetapi malah mendatangkan dari negeri lain. Tidak sulit karoseri itu membuat bus. Lagi pula bagaimana kita bisa belajar jika tidak dimulai dari diri sendiri.
Sebetulnya waktu Suharto masih berkuasa pernah juga membuat kebijakan bagus bagi pengembangan otomotif nasional lewat mobil Timor. Sayang yang diberikan hak adalah anaknya sendiri, Tommy Suharto. Seandanya dulu diberikan secara fair, 10 tahun kemudian, atau tahun-tahun ini, mungkin Indonesia sudah memproduksi mobil sendiri. Tapi belum tentu juga, karena saat itu pemegang lisensi merek mobil asing juga bergerak dan bergerilya untuk menggagalkan mobil nasional tersebut.
Ketika terjadi diskusi yang sehat tentang perlu tidaknya teknologi nuklir untuk pembangkit listrik, tiba-tiba muncul fatwa haram dari NU Jateng. Indonesia sudah mampu mengembangkan energi listrik dengan nuklir dalam skala kecil, dan tinggal mengembangkan untuk skala komersial.
Posisi teknologi
Tolak ukur kemajuan sebuah bangsa salah satunya ditentukan oleh kemajuan dan penguasaan teknologi. Kebangkitan kembali Eropa pada masa Revolusi Industri karena mereka menguasai teknologi untuk mengembangkan industri mereka. Jepang, lewat Restorasi Meiji, mereka menggeluti teknologi sehingga mampu menguasai sebagian dunia. Amerika, yang kini menjadi superpower, bisa menguasai dunia karena teknologi yang mereka kuasai. Kemudian Cina yang diperkirakan pada tiga atau empat dekade ke depan akan menggantikan posisi Amerika sebagai pusat kekuasaan, tak lepas dari penguasaan teknologi.
Sekali lagi, sayang, ketika negara lain berlomba-lomba dalam pengembangan dan aplikasi teknologi, kita justru mematikan potensi. Dari sisi sumber daya manusia, kita memiliki manusia-manusia yang unggul, tetapi tidak dimanfaatkan optimal. Kita ingat, betapa banyak ‘alumnus’ PT DI yang sekarang bekerja di industri penerbangan di Eropa. Mereka adalah orang-orang yang mumpuni yang tersingkir di negeri sendiri.
Memang terkadang ada kepentingan asing yang bermain dalam pematian ini. Ketika dulu PT DI (waktu masih bernama IPTN) berkembang, banyak pihak asing mencela dan meremehkan, dengan harapan industri itu gagal. Selain khawatir bersaing, mereka juga tidak rela sebuah negara berkembang naik kelas ke industri hi-tech. Asing itu kemudian bekerja sama dengan komprador lokal yang secara politik dan ideologis berseberangan.
No comments:
Post a Comment