20.3.07

Keliru konsep, Jakarta Terus Macet


Ada posting menarik di suaratransjakarta yang ditulis oleh David Chyn. Ini adalah suara salah seorang pengguna mobil yang beralih menggunakan bus TransJakarta :

Tergelitik oleh beberapa posting beberapa hari, saya tergerak untuk posting tulisan yang saya buat bulan lalu. Tulisan ini di ilhami oleh postingnya pak Deddy tentang Refleksi Busway.
Semoga bisa jadi bahan renungan kita semua.
Salam (dc)

Keliru konsep, Jakarta Terus Macet

Judul tulisan di atas (tertulis di dalam website Dewan Transportasi Kota Jakarta, yang tidak pernah diupdate sejak peluncurannya) menyadarkan saya akan situasi jalanan di Jakarta akhir-akhir ini.
Pada awalnya, para penggagas dan para pembuat keputusan dan masyarakat (termasuk saya), sangat optimis akan terselesaikannya sebagian besar keruwetan lalulintas di ibukota kita ini dengan, solusi ’busway’.

Ketika koridor I diluncurkan, saya masih mengendarai mobil sendiri ke tempat kerja. Saya menggunakan TiJe hanya untuk menghindari kemacetan di jalan Sudirman dan Thamrin, menghindari ’3 in 1’, juga kadang untuk menghindari kesulitan parkir di kantor-kantor di sepanjang jalan tersebut. Saat itu saya tidak yakin bahwa sistem ini akan mampu untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi seperti saya. Tidak memadainya bus ’feeder’ memaksa kita tetap menggunakan mobil pribadi untuk mencapai tempat kerja.

Kemudian koridor II dan III diluncurkan. Mulai saat itu saya bertekad mengurangi penggunaan mobil pribadi (Walau ’feeder’ belum dibenahi juga). Saya hanya menggunakan mobil pribadi bila kantor klien saya tidak terjangkau oleh TiJe atau jauh dan sulit mendapatkan taksi. Saat itu saya merasa penggunaan mobil-mobil pribadi agak berkurang. Ini mungkin karena faktor psikologis saya atau faktor ekonomi umum saat itu atau memang karena pendekatan pemilihan koridor yang benar. Koridor II dan koridor III ini banyak melalui area pemukiman yang banyak pengguna mobil pribadi untuk mencapai tempat aktifitasnya (kantor, pertokoan, sekolah/perguruan tinggi etc.). Ketiga jalur ini juga saling terhubung dengan baik.

Akhir Januari lalu, diluncurkan koridor IV sampai koridor VII. Terlepas dari masih kurangnya jumlah armada untuk koridor-koridor tersebut, menurut saya hanya koridor VI (Kuningan/Rasuna Said) yang efektif mengurangi penggunaan mobil pribadi. Disusul dengan koridor IV (Dukuatas-Halimun –Manggarai- Matraman) yang lebih berfungsi sebagai penghubung antar koridor (dan penghubung antar moda).

Pengamatan lain, sebagian (besar?) pengguna koridor-koridor baru ini adalah pengguna angkutan umum reguler yang kemudian berpindah menjadi pengguna TiJe. Jadi pada jalur ini pengurangan kendaraan pribadi tidak terlalu efektif. Sebaliknya yang terjadi adalah kepadatan akibat berkurangnya jalur karena dipakai busway.
Efek lain dari semakin banyaknya koridor yang beroperasi saat ini, adalah kepadatan dan berkurangnya kenyamanan di dalam bus maupun di halte transfer (misalnya: halte Senen).

Bagi mereka yang sebelumnya adalah pengguna angkutan reguler, hal ini mungkin tidak akan terlalu bermasalah, karena tetap lebih nyaman dan lebih murah. Tapi yang cukup menguatirkan adalah kembalinya pengguna yang dahulunya bermobil, yang cenderung untuk memakai kembali mobil-mobil mereka. Bagi mereka, tarif bukan merupakan alasan utama untuk menggunakan TiJe. Mereka lebih mementingkan kenyamanan, kecepatan dan kepraktisan moda angkutan ini. Jadi bisa dibayangkan bila dayatarik tersebut akhirnya memudar; Jakarta akan macet kembali.

Saya teringat akan moto Transjakarta ’Tradisi baru bertransportasi’.
Tradisi baru bukan karena busnya baru. Tradisi baru karena kita (masyarakat dan pengelola) belajar budaya baru, cara bertransportasi. Jangan sampai gerakan ini kehilangan momentumnya.

Salam. (022707 dc)

No comments:

Post a Comment