Dari suaratransjakarta, diposting oleh david chyn
Setelah melalui kesibukan selama seminggu penuh, saya menyempatkan diri untuk melepaskan kepenatan dengan duduk di depan televisi. Tanpa punya pilihan acara khusus, saya coba memindai setiap stasiun yang ada.
Sejenak saya berhenti pada suatu tayangan tentang akrobat. Tampak seorang pemain sedang bermain joglling. Dengan tangan kanannya ia melemparkan pin bowling nomer satu ke atas. Dan sebelum ia menangkapnya kembali dengan tangan kirinya, ia sempat memindahkan pin bowling nomer dua yang ada di tangan kirinya ke tangan kanannya.
Pin bowling nomer dua inipun kemudian dilemparkan ke atas untuk ditangkap lagi dengan tangan kirinya. Tampak kedua pin bowling tersebut berputar melayang dari tangan kanan
ke atas, ke tangan kiri, ke tangan kanan kemudian melambung ke atas lagi dan terus berulang.
Permainan bertambah seru ketika pemain tersebut tidak hanya menggunakan dua pin bowling saja, tapi setiap saat ditambah satu lagi sampai akhirnya menjadi enam atau tujuh atau delapan.
Saya tidak konsentrasi menghitungnya lagi karena pikiran saya berpindah pada masalah antri dan kepadatan di halte (transfer) TiJe.
Mengapa kita harus antri di halte? Karena kita datang pada waktu yang tidak tepat (saat bus TiJe tidak tersedia).
Mengapa terjadi penumpukan pengguna di halte (terutama halte transfer)? Karena pengguna dari koridor yang hendak transfer dan turun di halte tersebut lebih banyak daripada kapasitas angkut bus koridor terusannya. Inbound ke halte lebih banyak daripada outbound nya.
Kalau ada rekan miliser yang mengusulkan penambahan jumlah armada suatu koridor untuk mengurangi kepadatan di halte, menurut saya, itu hanya akan efektif hanya pada halte awal (terminal keberangkatan) dan halte antara saja. Sebaliknya pada halte transfer (DukuAtas2, Halimun, Senen, Kampung Melayu etc.), seperti yang dikeluhkan rekan miliser tersebut, penambahan armada, sekali lagi menurut saya, tidak selalu berarti akan mengurangi kepadatan halte tersebut.
Ada kemungkinan penambahan armada, malah dapat menyebabkan kepadatan yang lebih parah di halte tersebut. Bayangkan kalau armada suatu koridor yang menurunkan penumpang transfer bertambah banyak, dan ada keterlambatan sedikit saja dari armada koridor terusannya, halte transfer tersebut dalam sekejab akan dijubeli pengguna.
Jadi untuk menghindari antrian dan penumpukan pengguna di suatu halte tranfer, menurut saya, kuncinya adalah koordinasi dan ketepatan sinkronisasi. Seperti pemain akrobat yang hanya dengan dua tangannya dapat memainkan enam, tujuh atau delapan pin bowling sekaligus. Pin di tangan kanannya harus segera dipindahkan.
Di suatu halte transfer, pada saat yang sama (atau paling lama selisih beberapa detik sesuai dengan kapasitas halte transfer tersebut) harus ada bus-bus dari koridor yang berlainan yang berhenti di halte tersebut yang masing-masing siap menerima/mengangkut pengguna yang transfer.
Di dalam kenyataan masalahnya menjadi tidak sederhana, karena jumlah pengguna antar koridor tidak berimbang (karena karakteristik jalurnya, karena letak halte transfer yang bukan terminal, faktor waktu etc.) dan hambatan jalur yang sulit diprediksi. Juga karena sifat interkoneksitas antar koridor. Ketidakseimbangan suatu segment dalam satu koridor atau koridor itu sendiri, dapat mempengaruhi koridor lain. (http://finance.groups.yahoo.com/group/suaratransjakarta/message/10278)
Apalagi tidak adanya data OD yang akurat dari tiap segmentnya.
Bulan April sampai Juni 2007 ini, dijanjikan akan ada penambahan armada TiJe dalam jumlah yang cukup significant. Ini berpotensial untuk menciptakan kepadatan di halte-halte tranfer bila koordinasi dan ketepatan sinkronisasi antar koridor tidak tercapai.
Untuk mengatasinya, saya mengusulkan agar penambahan armada dilakukan secara gradual sambil memperhatikan keseimbangan antar koridor dengan indikator kepadatan halte transfer. Jangan karena armada sudah tersedia, kemudian dilakaukan penambahan armada di suatu koridor tanpa memperhatikan kemampuan koridor lain.
Semoga tradisi baru bertransportasi dengan nyaman segera terwujud di Jakarta kita ini.
Salam. (041207 dc)
Putra memberi tanggapannya, 12 April 2007:
Dalam konsep angkutan umum, termasuk BRT atau lebih dikenal busway disini, ada dua macam model pelayanannya:
1. TRUNK - FEEDER
2. KONVOI
Transjakarta secara umum mengadopsi model no 1. TRUNK - FEEDER, artinya jaringan suatu koridor utama akan saling mengumpan koridor lainnya dan juga diumpan oleh suatu angkutan feeder (ranting) yang lebih kecil, sehingga terjadi perpindahan penumpang (transfer) karena tidak ada jalur yang saling paralel. Contoh, penumpang BLOK M yg ingin ke KALIDERES harus transfer di HARMONI, penumpang RAGUNAN yg ingin ke Sudirman harus transfer di HALIMUN dan DUKUH ATAS.
Sedangkan model no 2. KONVOI, bisa melihat contoh dari pelayanan KRL Jabotabek dan bus reguler. KRL Depok dan KRL Pakuan tujuannya sama2 ke Stasiun Kota dengan menggunakan jalur KA yang sama (lintas Bogor-Manggarai-Kota), tetapi yg membedakan origin destination-nya, yang satu berawal dari St. Depok Lama, dan satu lagi dari St. Bogor.
Metromini 74 jurusan BLOK M - REMPOA dan bus 71 BLOK M - Bintaro rutenya 70% paralel, tetapi tujuan akhirnya berbeda.
Masing2 model punya keunggulan dan kekurangan. Kalo dari penumpang lebih nyaman dengan model konvoi, karena model konvoi mengakomodasikan variasi tujuan yg lebih banyak, sehingga penumpang tidak perlu repot berpindah2 bus. Tetapi hal ini kurang menguntungkan dari segi operasional, karena pangsa penumpang sudah dipecah/didistribusikan sehingga kapasitas bus menjadi tidak efisien (kelebihan tempat duduk) pada satu ruas yang bercabang, hal ini memunculkan biaya yg tidak perlu.
Selama model TRUNK - FEEDER mengakomodasikan tempat transfer yang nyaman dan proses yang cepat, penumpang tidak akan terlalu mempermasalahkannya.
Kalau mau transjakarta lebih optimal, efektif, dan efisien, model pelayanannya harus mengkombinasikan 2 model tsb tergantung dari karakteristik koridornya. Seperti koridor 6 RAGUNAN - HALIMUN yang mempunyai demand tinggi untuk menuju koridor 1. Supaya efisien, harusnya koridor 6 di-extend hingga koridor 1 DUKUH ATAS dengan sharing sebagian jalur koridor 4.
Dalam usulan ITDP terdahulu, karena mengukur banyak demand penumpang dari BLOK M yang ke KALIDERES dan PULOGADUNG, diusulkan dibuat jalur secara konvoi (beriringan) BLOK M - KALIDERES, dan BLOK M - PULOGADUNG yang sharing jalur yang sama dengan jalur BLOK M - KOTA. Jadi penumpang yang ke KALIDERES maupun PULOGADUNG tidak perlu lagi pindah bus. Hal ini bertujuan memaksimalkan kapasitas bus pada suatu ruas dalam koridor.
David menanggapinya kembali, 13 April 2007:
Pak Putra,
Menurut saya saat ini TiJe hanya melayani trunk/back bone saja, tidak temasuk feeder nya.
Topology yang dipakai saat bukan star lagi yang semuanya bermuara di HCB. Tetapi dengan adanya kor IV s/d kor VII, sudah berubah menjadi grid/jemaring yaitu kombinasi ring dan star.
Ini menyebabkan interdependensi antar koridor menjadi sangat tinggi dan pengaturan trafik semakin rumit.
Inilah yang menuntut pengelola untuk mengkoordinasikannya dengan lebih baik lagi.
Salam (dc)
Sedangkan Adhitya mengomentari posting awal David , 12 April 2007:
Untuk mas David:
Ide anda bener sekali dan ini sistem ini memang diterapkan di banyak negara maju. yang paling benar dari analisa mas adalah bahwa kalo nambah armada jusru halte transfer makin sesak. Kelemahannya adalah bahwa infrastruktur dan mentalitas kita masih belum cukup untuk membuat sistem ini berjalan.
Kita gak mungkin tepat waktu selama:
1. polisi masih membolehkan mobil masuk jalur busway.
2. Separator jalur busway hilang di beberapa titik. seperti di jembatan kuningan-menteng.
3. jalur busway melintasi jalur yanghierarkinya lebih penting. contoh: melintas jalur KA. Kereta api jelas lebih atas hierarkinya dan menunggu mereka lewat bisa mendelay waktu.
Jadi sejauh ini yang terbaik masih hanya menambah armada tapi dengan koordinasi. maksudnya gini:
- armada yg sekarang sudah penuh duluan di halte transit sehingga tidak memberi ruang masuk untuk penumpang di halte-halte berikutnya.
- ini bisa dipecahkan dengan: kalo bus di depannya udah angkut penumpang di halte transit secara signifikan, maka bus berikutnya langsung lewat aja, gak usah berhenti. prioritasnya adalah mengambil penumpang dari halte-halte non-transit. Kalo dia sampai di halte transit, hanya turunkan penumpang saja. bus ketiga baru konsen lagi memuat sepenuhnya halte transit. begitu seterusnya.
Salah satu masalah terbesar bagi kami-kami yang menunggu di halte non-transit adalah itu: dari halte transitnya aja udah penuh.
rgds.Mempublikasikan Kiriman
Agriadi mengajukan pendapatnya, 13 April 2007:
Kalo saya kok lebih sreg dgn headway busnya ya.. Selama headway bus terjaga dgn baik dan teratur, mnrt saya penumpukan tidak berlebih baik di halte transfer ataupun halte biasa.
Coba kalo liat TB jalan, mereka sering jalan beriringan (nempel) dgn bus depan atau belakangnya.
Misal kalo ada bus langsung misal Blok M - KaliDeres, apa nantinya ga kisruh di halte pemberangkatan? Penumpangnya aja desek2an buru2 mau masuk bus. Ntar bisa ketuker mau naik jurusan Blok M - Pulogadung.
Sedangkan Asepsap menawarkan solusi lain, 13 April 2007:
Menurut saya jumlah armada boleh jadi mengurangi waktu tunggu. Tapi saya mikir2 apakah ada cara yg lebih murah dan gampang untuk mengurangi waktu tunggu penumpang di halte transit yg penuh.
Anggaplah solusi sekarang menggunakan 10 artinya bus pertama ngangkut, bus berikutnya gak ngangkut alias lewat aja, bus berikutnya kembali ke pola awal (ngangkut lagi) dst 101010...
Pola lain adalah 120, bus pertama dan kedua nganggkut, ketiga lewat aja gak ngangkut, bus berikutnya kembali ke pola awal dst 120120120....
pola 100 yg mana bus pertama ngangkut, bus kedua dan ketiga gak ngangkut alias lewat aja, bus berikutnya kembali ke pola awal (mulai ngangkut lagi), dst
di halte/bus stop lainnya angka 0 artinya tidak mengangkut tapi menurunkan penumpang bisa2 saja
menurut saya, tergantung jam sibuk, juga tergantung wilayah.. harus diputuskan pola mana yg akan digunakan. Mungkin di tiap halte ada seorang 'satpam' yg bisa menganalisa dan memutuskan pola mana yg akan digunakan. Seharusnya ini bisa diputuskan oleh satu sistem komputer terpusat yg bisa memonitor status antrian, tapi ceritanya kan cari solusi yg murah dan gampang tanpa menambah armada jg.
Putra menjelaskan maksudnya, 14 April 2007:
Konsep KONVOI itu maksudnya juga membedakan fasilitas pemberhentiannya, kalau misalnya ada jurusan BLOK M - KOTA, BLOK M - KALIDERES, dan BLOK M - PULOGADUNG, jadi nanti disepanjang jalur Blok M hingga Harmoni (awal percabangan jalur) semua bentuk haltenya terdapat 3 pintu dengan jurusan yang berbeda, bentuknya seperti halte HCB tapi dengan skala yang lebih kecil.
Dengan model KONVOI ini kapasitas suatu koridor bisa ditingkatkan menjadi 15.000 penumpang/arah/jam, hampir 3 kali lipat kapasitas transjakarta sekarang yang berkisar 5.000 penumpang/arah/jam. Saya gak ngusulin sih, karena kalau transjakarta mau menerapkan model ini, ada banyak banget hal yang mesti dibenahi, terutama dari sarana haltenya yang perlu diperbaiki supaya menjadi lebih panjang, jalur busnya, armadanya, dan pengaturan LL-nya.
Kalo untuk penumpukan, seperti kata Pak Yanto memang utamanya yang karena yang sekarang hanya armadanya belum lengkap saja. Kebutuhannya masih jauh dari cukup. Pengadaan bus koridor 8-10 kapan ya? Masak harus telat lagi kayak koridor sekarang?
Konsep itu sebenarnya sudah diterapkan di koridor 1, bus kosong tidak selalu dilepas dari BLOK M atau KOTA saja, saat jam sibuk ada bus yang langsung meluncur ke Bundaran Senayan untuk mengangkut penumpang ke arah Kota, atau diluncur dari Tosari untuk ngangkut penumpang ke arah Blok M.
Yang menjadi masalah hanya selama ini kuota bus untuk seluruh koridor tije masih di bawah keharusan. Selama belum tercukupi, tidak ada hal lain yang bisa membantu mengurangi penumpukan penumpang di tiap halte.
No comments:
Post a Comment