24.2.03

Subway ke busway

Senin, 24 Februari 2003

Penataan Angkutan Umum Jakarta
"Subway" ke "Busway-buswayan"

KOMPAS - DESEMBER 2002 lalu, tiba-tiba saja mereka yang biasa melewati jalur Jalan Sudirman-Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, menemui pemandangan baru. Salah satu lajur di jalur cepat jalan protokol itu tiba-tiba saja bermunculan kotak-kotak berukuran sekitar tiga meter persegi, berabur cat warna merah. Ada juga rambu lalu lintas baru dari aluminium berwarna dasar hijau dengan tulisan putih "Jalur Khusus Bus Way", jalur khusus bus.

SAMA sekali tidak ada conditioning sebelumnya apa dan bagaimana busway itu akan dilaksanakan. Apakah sama dengan jalur khusus bus di Jalan Pramuka yang selama ini atau di Jalan Sudirman-Jalan Thamrin beberapa tahun lalu? Ataukah, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan menerapkan sebuah angkutan umum baru?

Wartawan yang mencari tahu ke pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta akhirnya mendapat sedikit informasi pada awal Januari, Jakarta akan menerapkan sistem angkutan umum baru (busway) di jalur Blok M–Kota sepanjang 12,9 kilometer (km). Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pun menyatakan tidak tahu-menahu rencana tersebut. Mereka mengaku tidak pernah diajak bicara oleh Pemprov DKI Jakarta.

Berita pun menjadi simpang siur dan sepotong-sepotong karena para pejabat DKI sama sekali tidak memberi keterangan rinci mengenai rencana tersebut. Bagaimana jenis busnya, pintunya di sebelah kiri atau kanan, halte busnya di tengah jalan atau bagaimana, bagaimana sistem pembayarannya, fasilitasnya, bagaimana nasib para pengusaha bus yang selama ini menjalani rute tersebut, bagaimana load jalan tersebut, apakah kemacetan akan semakin parah atau membaik di jalur busway? Pertanyaan-pertanyaan lain masih cukup banyak dan tidak terjawab.

Katanya, untuk itu telah disiapkan anggaran pada tahun 2002 sebanyak Rp 54 milyar. Dari jumlah itu yang terealisasi Rp 2,4 milyar untuk mengecat marka jalan dan pembuatan rambu busway, yang belakangan dikhawatirkan mubazir. Belakangan, anggaran untuk busway pada tahun anggaran 2003 membengkak hingga Rp 86,25 milyar.

Berdasarkan laporan kegiatan Bus Demonstration Project Busway Blok M-Kota yang dikeluarkan Dinas Perhubungan DKI, sistem itu akan menggunakan bus berpendingin udara dengan desain khusus berkapasitas 85 penumpang, 30 penumpang duduk, dan 55 penumpang berdiri, ber-AC, dan memiliki radio komunikasi dan sound system.

Bus ini hanya akan menaikkan dan menurunkan penumpang di halte-halte khusus yang tingginya sama dengan pintu bus sekitar satu hingga satu setengah meter. Bus berhenti 1,5 menit pada jam sibuk, sedangkan di luar jam sibuk 5 menit. Sebelum masuk bus, penumpang harus membeli karcis seharga Rp 2.500 di halte bus.

Di jalur Sudirman-MH Thamrin permintaan penumpang sangat tinggi mencapai 12.600 penumpang per jam per jurusan. Sedangkan bus bisa mengangkut 3.400 penumpang per jam per jurusan atau per harinya bisa mengangkut 30.600 penumpang per hari.

Nyamannya bus di jalur khusus bus serta kemacetan di lajur lainnya diharapkan bisa memancing pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke bus umum. Para pengguna kendaraan pribadi bisa memarkir kendaraannya di kawasan Blok M atau Kota untuk selanjutnya menggunakan bus khusus di busway menuju kantornya.

Sedangkan, bus-bus kota yang selama ini trayeknya melintasi atau melayani Blok M-Kota akan dialihkan rutenya dan akan menjadi pendukung (feeder bus) dari busway.

Sebuah rencana yang menarik. Namun, jika kita menelisik bagaimana pelaksanaan sistem itu akan direalisasikan ternyata semuanya kabur. Salah satu hal misalnya, bagaimana manajemen bisnis antara busway dengan feeder yang selama ini dilakukan oleh para operator atau pengelola bus swasta, seperti Mayasari Bhakti atau lainnya? Apakah mereka akan disingkirkan atau diikutsertakan dalam sistem baru?

Ketidaksiapan Pemprov DKI Jakarta melaksanakan sistem itu semakin terbukti. Bulan Januari telah lewat. Namun di bulan yang dijanjikan sistem busway akan mulai diujicobakan ternyata berlalu begitu saja. Bahkan, belakangan dikabarkan, Pemda DKI menyatakan menunda sistem busway itu pada bulan Oktober 2003. Dan, seperti biasa, hingga kini bagaimana kelanjutan sistem tersebut akan dilaksanakan tidak jelas terdengar.

Manajer Program Transportasi Pelangi Jack Sumabrata mengkhawatirkan, Pemprov DKI Jakarta bukan saja tertutup, namun yang lebih mengkhawatirkan mereka justru tidak memiliki konsep yang matang mengenai busway tersebut. "Kalau sekadar tertutup, sih, mending, karena konsepnya ada. Namun, jika tidak ada konsep, kan, itu sama dengan celaka," kata Jack, yang LSM-nya bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, New York) menggiatkan Indonesia Livable Communities Initiative, yang mendorong penggunaan angkutan untuk mengurangi polusi udara.

Ketidakjelasan konsep itu bukan saja, tercermin dari tidak adanya sosialisasi proyek, namun juga masing-masing instansi seperti memiliki rencana langkah sendiri-sendiri. "Padahal, seharusnya mereka berada dalam satu tujuan yang jelas dan sistematis," kata Jack.

NIAT baik Pemprov DKI Jakarta untuk membenahi angkutan umum itu semoga saja benar adanya. "Kami harus mulai sekarang, kalau tidak kapan lagi. Kondisi lalu lintas Jakarta dan transportasi angkutan umum sudah saatnya dibenahi," kata Kepala Sub-Dinas Teknik Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI U Pristono seperti juga disampaikan KepalaSub-Dinas Pengembangan Sistem Dishub DKI DA Rini.

Kondisi transportasi angkutan umum saatnya dibenahi, semua warga Ibu Kota setuju. Warga Ibu Kota, terutama para pengguna angkutan umum sudah terlalu lama mendambakan sebuah sistem pelayanan angkutan umum yang baik dengan jadwal yang tepat waktu.

Tentu saja, masyarakat semua menyambut setiap niat baik Pemprov DKI Jakarta meningkatkan pelayanan angkutan umum atau membenahi perlalulintasan Ibu Kota yang sudah demikian amburadul. Apalagi sejauh ini, rencana-rencana Pemprov DKI-gubernur berganti gubernur-untuk meningkatkan angkutan umum, membangun subway, mass rapid transit (MRT), hingga triple decker cuma sebatas janji yang tak pernah terwujud. Sejumlah studi atau kajian mengenai itu juga sudah dilaksanakan yang tentu saja mengeluarkan waktu dan uang yang tidak sedikit. "Warga kota mendambakan pelayanan angkutan umum yang baik tidak seperti sekarang, warga pengguna angkutan umum seperti saya, sepertinya diabaikan," kata Tulus Abadi, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Warga tentu berharap jika sistem busway cuma sekadar mengejar proyek, menghabiskan anggaran, para pejabat Pemprov DKI sebaiknya berpikir ulang. Bahkan, mereka mestinya malu karena janji-janji peningkatan angkutan umum tidak pernah terwujud secara tuntas. Saatnya mereka memikirkan sistem perlalulintasan yang terpadu atau terintegrasi yang benar-benar bermaksud memecahkan kesemrawutan lalu lintas dan pelayanan angkutan umum Ibu Kota.

Sebenarnya jika melihat kondisi perlalulintasan, termasuk angkutan umum di DKI Jakarta tidak ada hal baru. Bahkan, data-data yang disampaikan oleh Rini di depan peserta seminar internasional Human Mobility di Bogota, Kolombia awal Februari merupakan data-data lama yang belum diperbarui (update). Kondisi saat ini tentu saja lebih parah. Apalagi belum ada terobosan-terobosan baru, kecuali sejumlah studi dan rencana proyek, untuk memecahkan persoalan transportasi dan angkutan umum di Jakarta.

Jumlah penumpang 10 juta orang per hari, termasuk 25 persen di antaranya penumpang dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 50,7 persen di antaranya menggunakan angkutan umum dan sisanya angkutan pribadi.

Saat ini jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan mencapai 4,5 juta unit dengan jumlah angkutan umum hanya 1,3 persennya saja. Selebihnya, kendaraan pribadi 1,6 juta unit (35,3 persen) dan sepeda motor 2,4 juta unit (54,1 persen) dan sisanya kendaraan barang (9,2 persen). Pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 6 persen (1997-2001) atau hampir enam kali lipat dibandingkan pertumbuhan jalan yang kurang dari 1 persen, yang saat ini panjangnya mencapai 6,630 km. Bahkan menurut Rini, pertumbuhan angkutan pribadi mencapai 10 persen per tahun, jauh lebih besar dibandingkan angkutan umum yang merayap 2 persen saja.

"Pemprov DKI Jakarta tidak bisa memecahkan persoalan lalu lintas sendirian. Dia harus melibatkan daerah-daerah di sekitarnya. Tidak bisa sepotong-sepotong, harus terintegrasi, " kata Bambang Susantono, Sekretaris Jenderal SUSTRAN (Sustainable Transport Action Network for Asia and the Pasific). Dia menyatakan pesimismenya, Pemprov DKI Jakarta bisa menyelesaikan persoalan transportasi maupun pelayanan angkutan umum jika mereka hanya memikirkan penyelesaian sepotong-sepotong.

Bahkan, Bambang dan Jack menilai moda angkutan umum di Jakarta-termasuk jaringan KRL/KRD Jabotabek-sebenarnya cukup memadai dan tinggal dioptimalkan. Masalahnya setiap instansi, berjalan sendiri-sendiri tidak dalam sistem angkutan umum yang terintegrasi dan menyeluruh. Akibatnya, potensi kereta api, bus kota, mikrolet seperti terpecah-pecah mengatasi persoalan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya. Sinisme yang kemudian muncul adalah, kesemrawutan yang saat ini terjadi memang sengaja dibiarkan karena memang menguntungan bagi sejumlah oknum tertentu.

Salah satu pemecahan yang bisa ditempuh adalah kemungkinan pemerintah atau Pemprov DKI memiliki suatu badan otoritas yang menangani masalah transportasi. Badan itu terdiri dari semua unsur masyarakat, termasuk pengusaha bus atau investor dan sebagainya. Mereka itulah yang secara utuh mengendalikan, merancang proyek penyelesaian transportasi, termasuk busway sehingga tidak simpang siur. "Selama ini masyarakat tidak pernah dilibatkan untuk berpartisipasi dalam setiap bidang pengelolaan kota. Kalaupun ada yang dibilang sosialisasi program yang ada cuma top down, di mana orang pemda menyampaikan bahwa mereka akan melaksanakan ini-itu tanpa meminta masukan dari warga," kata Azas Tigor Nainggolan, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta).

Dua orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Julianson PN Purba (Sekretaris Komisi D) dan Herdin Darlys Silalahi yang hadir dalam seminar Human Mobility di Bogota, juga mengharapkan, Pemprov DKI Jakarta benar-benar menjalankan semua prosedur bagaimana seharusnya sebuah sistem busway dilaksanakan. Semuanya harus kita pertanggungjawabkan kepada rakyat, " kata Julianson.

Repotnya, Pemprov DKI dengan pendekatan proyek, tampaknya belum memiliki tim yang kuat, solid dan kapabel bisa melaksanakan sistem BRT. Pelaksanaan busway di DKI Jakarta itu hanya ditangani oleh para pejabat Dinas Perhubungan DKI. Padahal, pelaksanaan sistem itu seharusnya melibatkan banyak pihak, dinas pertamanan, dinas humas, hukum dan seterusnya. Dinas-dinas lain semestinya juga dilibatkan dan sama-sama bertanggung jawab menangani persoalan perlalulintasan DKI Jakarta. "Keberhasilan pelaksanaan pelaksanaan sistem BRT, 99 persen tergantung tim yang mendukungnya. Sedangkan 1 persen baru yang lain-lainnya, termasuk teknik," kata Edgar Enrique Sandoval, seorang manajer TransMilenio, Bogota.

MENCERMATI apa yang seharusnya dilakukan jika sistem BRT atau busway dilaksanakan dan mencoba mengamati apa yang akan dilaksanakan Pemprov DKI saat ini memang masih jauh panggang dari api. Setidaknya ada berapa tahap untuk menjalankan sistem bus rapid transit (BRT) itu. Empat aspek yang seharusnya dilalui oleh Pemprov

No comments:

Post a Comment