TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota dewan transportasi kota (DTK) Andi Rahmah menilai, pembangunan subway dan monorel di Jakarta tidak akan seefektif busway. Karena, biaya investasi dan operasional keduanya memakan dana yang sangat besar. "Biaya investasi monorel mencapai US$ 650 juta. Padahal, panjangnya hanya sekitar 27,8 kilometer, "kata Rahmah usai bertemu gubernur DKI Jakarta di Balaikota Jakarta, Jum\'at (1/4).
Sedangkan proyek koridor I busway Blok M-Kota sepanjang 12,9 kilometer hanya menyerap biaya sekitar Rp 240 miliar atau tidak lebih dari US$ 20 juta. Andi juga mempertanyakan alasan monorel yang bisa mengurangi kemacetan. Menurutnya, orang yang berkendaraan pribadi belum tentu mau naik monorel jika jarak yang mereka tempuh sangat pendek, dan itu tidak akan mengurangi kemacetan.
Tarif yang mahal mengakibatkan masyarakat ekonomi lemah enggan berpindah dari angkutan umum. "Ketika jumlah penumpang tidak terpenuhi, maka ditutup dengan subsidi,"katanya. Seharusnya, subsidi diberikan untuk masyarakat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. "Masa uang itu dikasih ke pengusaha. tidak fair kan,"katanya.
Subway juga dinilai memerlukan biaya yang sangat besar. Contoh, di Bogota, Colombia, pembangunan satu kilometer subway menelan biaya yang setara dengan 35 kilometer busway. "Di Indonesia lebih panjang lagi," kata Rahmah.
Untuk menyelesaikan problematika pola transportasi makro di Jakarta, Andi Rahmah mengusulkan agar dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) membuat peraturan daerah (perda) tentang pola transportasi makro. Tujuannya, agar pergantian gubernur tidak mempengaruhi kebijakan transportasi yang ada. Jika gubernur ganti, "Kebijakan yang sudah ada tidak diteruskan. Itu bahaya, "katanya.
Bentuk Perda ini, mirip dengan Perda tentang rencana tata ruang wilayah. Alasannya, pada perda tentang transportasi yang telah ada saat ini, pengaturan tentang pola transportasi makro sangat kecil. "Itu hanya satu baris. Enggak jelas,"kata Rahmah.
Ewo Raswa
No comments:
Post a Comment