25.4.05

Perempuan jadi sopir

Kompas - SEORANG ibu rumah tangga jadi sopir bus transjakarta? Pernyataan itu terasa aneh karena pekerjaan sopir bus-apalagi di Jakarta-biasanya dikesankan sebagai pekerjaan yang keras. Dari mulut sopir mudah keluar kata-kata kasar bila ia melihat kernet kurang gesit mengambil penumpang. Bahkan, sopir kerap kebut-kebutan untuk mengejar setoran. Namun, bagi Mulyati Sujono (38) hal itu bukan masalah.

KETIKA Badan Pengelola (BP) Transjakarta membuka lowongan bagi pramudi (istilah yang digunakan pengelola bus transjakarta untuk menyebut sopir), Mulyati yang saat itu berstatus ibu rumah tangga langsung tertarik.

Dengan berbekal pengalaman pernah menjadi sopir perempuan bus pariwisata Jawa-Bali dan dump truck, ia mencoba melamar sebagai sopir transjakarta. Setelah mengikuti berbagai seleksi, akhirnya ia dinyatakan lolos bersama 11 pramudi perempuan lainnya.

"Selama dua tahun saya menjadi pengemudi bus pariwisata Jawa-Bali, kemudian berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga," kata Mulyati, yang mengaku melamar pekerjaan "mulia" itu karena tergiur dengan tawaran gaji yang dinilainya tinggi, yakni Rp 2 juta per bulan.

Alasan serupa diucapkan pramudi perempuan lainnya, Endah Sulistio (37). Mantan pemain figuran pada sebuah sinetron dan sopir dump truck itu tertarik menjadi pramudi bus transjakarta karena tawaran gaji tersebut.

Direktur Umum dan Keuangan Operator PT Jakarta Ekspress Trans Ibnu Susanto mengatakan, para pramudi mendapatkan gaji dan kesejahteraan yang layak. Yang pasti, dengan penghargaan yang layak ini, para pramudi dapat menjalankan tugas pelayanan dengan sempurna.

Saat ini BP Transjakarta mempekerjakan 140 pengemudi pria untuk mengoperasikan 60 bus di koridor Blok M-Kota. "Setiap pengemudi rata-rata diberi gaji Rp 2 juta per bulan," kata Susanto.

PERTARUNGAN partisipasi perempuan dalam pembangunan tampaknya akan semakin seru di Jakarta.

Perempuan tidak lagi sekadar menjadi ibu rumah tangga, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dan buruh kasar, tetapi juga banyak yang menjadi tukang parkir dan kondektur bus.

Gebrakan baru muncul, perempuan menjadi sopir bus. Itulah yang terjadi pada Mulyati, Endah, dan pramudi perempuan bus transjakarta lainnya.

Tenaga perempuan diberdayakan oleh BP Transjakarta, pengelola jalur khusus bus atau busway. "Kalau dulu pengemudi bus transjakarta hanya berjenis kelamin laki-laki, tetapi terhitung Kamis, 21 April 2005, ini pramudi perempuan juga akan mengisi perjalanan masyarakat pengguna bus transjakarta," kata Kepala BP Transjakarta Irzal Z Djamal.

Memberdayakan perempuan-perempuan pengemudi itu sudah menjadi rencana lama BP Transjakarta yang telah berusia lebih dari satu tahun.

Peluncuran 12 pramudi perempuan bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Akan tetapi, program itu sebagai salah satu bagian dari upaya peningkatan pelayanan kepada publik, sekaligus ingin menegaskan bahwa profesi pengemudi bus transjakarta itu mulia.

Dengan adanya pramudi perempuan, diharapkan kenyamanan dan kehalusan mengemudi lebih maksimal.

Para pramudi perempuan sebelumnya tersaring dari 23 pendaftar. Saat melamar, para calon pramudi perempuan itu cukup menunjukkan surat izin mengemudi (SIM) A.

Mereka selanjutnya akan diberikan SIM B1 untuk mengemudikan bus. Dua orang dari para pelamar itu berpendidikan sarjana, tujuh orang berpendidikan diploma, dan sisanya berijazah SMA.

Setelah mengikuti seleksi, hanya 12 pengemudi perempuan yang diterima.

COBALAH naik bus transjakarta yang dikemudikan perempuan, terasa ada perbedaan. Selain cara membawa kendaraannya terkesan halus, ia pun juga sangat berhati-hati, termasuk saat menghindari gelombang aspal dan jalan berlubang, terutama di seputaran pemberhentian bus (halte).

Tidak ada lagi penumpang yang saling bertabrakan antara satu dan lainnya ketika bus akan bersandar di halte.

Soal jalan-jalan dengan dikemudikan pramudi perempuan itu juga dirasakan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan rombongan yang ikut dalam bus transjakarta rute Blok M-Kota, Kamis siang, dalam rangka pengenalan pramudi perempuan bus transjakarta.

Sayangnya, untuk mendapat pengemudi perempuan harus sabar menunggu karena jumlahnya masih sangat terbatas.

"Pada hari pertama tiga pramudi perempuan langsung diterjunkan ke lapangan, sementara sembilan lainnya masih harus memperoleh tambahan pelatihan khusus mengemudi bus transjakarta," kata Susanto.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya soal jenis kelamin perempuan atau laki-laki yang menjadi sopir tidaklah menjadi masalah asalkan ada jaminan keamanan dan kenyamanan. Naik bus transjakarta tidaklah seperti naik metromini, kopaja, bus reguler, atau patas AC.

Kalaupun akhirnya perempuan bisa menjadi sopir di bus transjakarta, apakah menjadi jaminan akan memberikan pelayanan yang baik dan rasa aman dan nyaman bagi penumpangnya?

Apalagi mengingat sudah lebih dari satu tahun bus transjakarta beroperasi, tetapi masih banyak kekurangan.

Sebut saja, sering terjadi penumpukan penumpang karena interval waktu tiga menit antara satu bus dan bus lainnya masih juga belum terpenuhi. Penumpang akhirnya berdesak-desakan memenuhi bus tersebut sehingga secara kasatmata bus transjakarta diminati warga. (Pingkan Elita Dundu)

5.4.05

Tarif belum akan naik

TEMPO Interaktif, Jakarta: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, menilai kenaikan tarif angkutan umum sebagai akibat dari naiknya harga bahan bakar minyak adalah hal yang wajar. Tarif taksi misalnya, naik mencapai 40 persen.

Namun Sutiyoso mengaku belum membahas kemungkinan naiknya tarif trans Jakarta. "Belum kami bicarakan," ungkap Sutiyoso, Selasa (5/4). [Rengga ]

1.4.05

Tak Rekomendasi Monorel dan Subway

TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota dewan transportasi kota (DTK) Andi Rahmah menilai, pembangunan subway dan monorel di Jakarta tidak akan seefektif busway. Karena, biaya investasi dan operasional keduanya memakan dana yang sangat besar. "Biaya investasi monorel mencapai US$ 650 juta. Padahal, panjangnya hanya sekitar 27,8 kilometer, "kata Rahmah usai bertemu gubernur DKI Jakarta di Balaikota Jakarta, Jum\'at (1/4).

Sedangkan proyek koridor I busway Blok M-Kota sepanjang 12,9 kilometer hanya menyerap biaya sekitar Rp 240 miliar atau tidak lebih dari US$ 20 juta. Andi juga mempertanyakan alasan monorel yang bisa mengurangi kemacetan. Menurutnya, orang yang berkendaraan pribadi belum tentu mau naik monorel jika jarak yang mereka tempuh sangat pendek, dan itu tidak akan mengurangi kemacetan.

Tarif yang mahal mengakibatkan masyarakat ekonomi lemah enggan berpindah dari angkutan umum. "Ketika jumlah penumpang tidak terpenuhi, maka ditutup dengan subsidi,"katanya. Seharusnya, subsidi diberikan untuk masyarakat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. "Masa uang itu dikasih ke pengusaha. tidak fair kan,"katanya.

Subway juga dinilai memerlukan biaya yang sangat besar. Contoh, di Bogota, Colombia, pembangunan satu kilometer subway menelan biaya yang setara dengan 35 kilometer busway. "Di Indonesia lebih panjang lagi," kata Rahmah.

Untuk menyelesaikan problematika pola transportasi makro di Jakarta, Andi Rahmah mengusulkan agar dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) membuat peraturan daerah (perda) tentang pola transportasi makro. Tujuannya, agar pergantian gubernur tidak mempengaruhi kebijakan transportasi yang ada. Jika gubernur ganti, "Kebijakan yang sudah ada tidak diteruskan. Itu bahaya, "katanya.

Bentuk Perda ini, mirip dengan Perda tentang rencana tata ruang wilayah. Alasannya, pada perda tentang transportasi yang telah ada saat ini, pengaturan tentang pola transportasi makro sangat kecil. "Itu hanya satu baris. Enggak jelas,"kata Rahmah.

Ewo Raswa