11.1.04

Busway: Proyek 'Bonek' Sutiyoso

Majalah Tempo Edisi. 45/XXXII/05 - 11 Januari 2004

BAHWA Jakarta memerlukan mass rapid transportation (MRT) untuk mengatasi kemacetannya, semua orang sepaham. Ibu Kota dihuni delapan juta orang, di siang hari ditambah dua juta dengan pekerja yang datang dari provinsi lain. Di Jakarta, tempat 80 persen kegiatan ekonomi berlangsung, berjejal 4,5 juta mobil, lebih dari sejuta di antaranya adalah mobil pribadi, masih di- tambah tiga juta sepeda motor. Sudah begitu, sebagian besar mobil baru yang terjual setiap tahun—jumlahnya 300 sampai 350 ribu—tumplek-blek di Jakarta. Mobil bertambah 6-7 persen setahun, tapi ruas jalan hanya tumbuh 1 persen. Macet pun jadi "makanan" sehari-hari. Akibatnya mahal. Setiap bulan, menurut sebuah penelitian, orang Jakarta kehilangan Rp 45 miliar akibat pemborosan bensin, oli, ban, dan rem. Itu belum terhitung peluang bisnis yang gagal akibat si pembuat kontrak tertahan mandek di jalan. Kalau sudah begitu, siapa bilang Ibu Kota tidak lebih kejam dari ibu tiri.

Maka MRT bukan topik yang perlu didiskusikan lagi. Angkutan massal itu mutlak perlu. Dan mendiskusikan jenis MRT apa yang cocok untuk Jakarta pun sekarang ini sudah tidak terlalu penting lagi. Gubernur Sutiyoso sudah memastikan akan mengoperasikan MRT jenis busway mulai 15 Januari ini—dengan nama keren TransJakarta. Jadi, buat apa lagi berbicara soal susu yang sudah tumpah?

Mungkin tetap perlu. TransJakarta baru akan beroperasi di satu koridor, yaitu Blok M-Kota sepanjang hampir 13 kilometer. Dan Sutiyoso, jika ia sukses di koridor ini dan tetap memimpin Jakarta, akan menambah operasi busway di 13 koridor Jakarta lainnya sampai tahun 2010. Harus diakui, Sutiyoso ini adalah gubernur bonek alias modal nekat seperti yang ia katakan—soal ngotot ini mungkin ia meniru Ali Sadikin. Ia pernah didemo untuk mundur sebagai gubernur, tapi ia memilih bertahan. Ia dikritik habis soal pemagaran lapangan sekitar Monumen Nasional, termasuk gagasannya melepas rusa di sana, toh ia maju terus. Hasilnya, kawasan Monas kini menghijau, rusa pun kabarnya betah, dan masyarakat mendapat taman yang menyegarkan di jantung kota.

Tapi busway adalah pertaruhan yang jauh lebih besar ketimbang sekadar memagari Monas. Proyek yang diadopsi dari Bogota ini menelan Rp 118 miliar sampai tahun 2003. Jika proyek ini berhasil, ia akan dikenang sebagai gubernur pertama yang bisa mengatasi macetnya Jakarta. Ia akan digadang-gadang, mungkin sebagian orang ingin menjadikannya presiden untuk mengatasi "kemacetan" Indonesia. Tapi jika proyek gagal, Jakarta akan tambah sumpek, jalan-jalan akan jadi tempat memboroskan waktu yang akut, dan koyak-moyaknya arsitektur kota di Jalan Sudirman akibat proyek ini tidak akan bisa terobati dengan cepat.

Sayangnya, persiapan proyek besar ini dianggap terburu-buru, kurang matang—setidaknya itu pendapat Kementerian Perhubungan. Karena itu, orang melihat sejumlah alasan untuk meragukan keberhasilan busway. Adakah pengguna mobil pribadi akan rela meninggalkan mobil di rumah dan pindah ke busway? Para pegawai yang bermukim di kawasan selatan Jakarta, sasaran utama proyek busway tahap pertama ini, pasti akan berpikir berulang-ulang untuk meninggalkan mobilnya. Sebab, busway di sini tidak seperti model busway di AS, misalnya: di titik awal jalur busway itu dibangun lapangan parkir superluas untuk tempat meninggalkan mobil selama jam kerja, sementara fasilitas itu tak tersedia di Blok M.

Lagi pula, feeder bus alias bus pengumpan yang akan membawa mereka dari rumah di selatan ke Blok M sebagai titik awal jalur TransJakarta masih bus-bus lama yang kondisinya eplek-eplek alias seadanya. Lalu, siapa sih yang mau repot-repot pindah ke busway, berhenti di terminal yang dituju, naik ke atas tangga, dan berjalan kaki menuju kantor—untuk mereka yang berkantor di Blok M-Sudirman-Kota. Bagaimana kalau orang harus bergerak ke luar jalur busway untuk urusan kantor, sementara mobil ditinggal di rumah? Rasanya insentif untuk pengguna mobil untuk pindah ke busway, kecuali tiketnya yang murah dan janji bebas macet, belum akan menarik semua orang untuk merelakan mobilnya tinggal di rumah.

Untuk rakyat kebanyakan yang tidak mengendarai mobil atau motor, walaupun busway cukup membantu, bukan bebas masalah. Ambil contoh mereka yang selama ini menempuh jalur Ciputat menuju Kota secara langsung. Dengan bus Patas ber-AC, ongkos yang dikeluarkan Rp 3.300. Sedangkan ongkos Patas non-AC hanya Rp 1.400. Sekarang mereka akan diangkut dengan "bus pengumpan" dari Ciputat ke Blok M, kemudian pindah ke TransJakarta Busway untuk mencapai Kota. Ongkos yang harus dibayar Rp 3.800. Tambah ongkos itu buat sebagian rakyat sudah jadi masalah, ditambah lagi harus berpindah bus yang ditumpangi. Pastilah itu membuat orang berhitung benar sebelum naik busway.

Benar. Tapi, jika Sutiyoso tidak pernah mencoba, kemacetan Jakarta juga tetap tak terpecahkan. Kabarnya, menyusul proyek busway ini, ia akan membangun monorel dan juga angkutan sungai di atas Ciliwung. Konon, nantinya ada busway yang membentang dari utara ke selatan, lalu "ditusuk" oleh angkutan monorel yang beroperasi dari timur ke barat, dan ditunjang angkutan sungai. Jadi, kendati entah kapan terwujud, dari sekarang bayangkan eksotisnya bersampan di Ciliwung yang kini nyaris tidak ditengok orang itu.

Jadi, sekarang ini biarlah Sutiyoso mencoba "berselancar" dengan proyek busway-nya. Tak ada pilihan bagi rakyat bermobil selain bersabar—dengan three in one yang berlaku pagi dan sore serta pergiliran kendaraan yang masuk jalur Sudirman. Tapi siapa tahu kegigihan Sutiyoso membawa hasil. Siapa tahu lewat busway ia bisa menggapai cita-cita yang dia inginkan. Tapi ia juga harus tahu, "berselancar" dengan proyek mahal ini taruhannya besar. Bila ia terjatuh kali ini, mungkin ia sulit bangkit kembali.

No comments:

Post a Comment