Bogota, Tranformasi Menuju Kota yang Humanis
PENGANTAR REDAKSI
Wartawan Kompas, Agus Hermawan, 6-11 Februari 2003 mengikuti seminar internasional Human Mobility di Bogota, Kolombia. "Pelangi", sebuah lembaga penelitian di bidang pembangunan berkelanjutan di Jakarta yang bekerja sama dengan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, New York) juga mengajaknya mempelajari penerapan sistem bus rapid transit (BRT) TransMilenio di Bogota. Laporannya di halaman ini, 34, dan 35, diharapkan menjadi semacam pelajaran bagi Jakarta yang juga dikabarkan akan menerapkan sistem busway untuk meningkatkan pelayanan angkutan umumnya.
***
ORANG-orang bersepeda di jalur yang nyaman. Sebagian lagi berjoging atau berjalan kaki di Pedestrian, di antara taman-taman yang tertata apik. Sementara di jalanan, mereka yang memilih angkutan bus umum bisa melaju dalam kenyamanan. Jalanan lebar, dengan jembatan penyeberangan yang didesain menarik, meliuk-liuk di tengah keramaian jalanan. Pedestrian, jalur sepeda nyaman dan luas memanjakan warga kota untuk bisa menikmati kotanya.
TAMAN-taman rimbun dan menghijau diperindah dengan sejumlah pasangan memadu kasih atau para pelajar tenggelam dalam bacaannya. Rumah-rumah susun dan apartemen tersebar di sejumlah kawasan yang terhubung dengan jalur transportasi.
Gambaran yang biasa tergambar dalam iklan-iklan perumahan atau kota baru di media massa Indonesia itu seperti terwujud nyata saat memasuki Bogota, sesaat menjejakkan kaki di Bandara El Dorado, Selasa (4/2) lalu.
"Jika kita bicara soal kota, kita harus bicara bagaimana seharusnya kita tinggal dan bermukim," kata Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota (1998-2000) suatu saat. Wali Kota yang tadinya seorang akademisi bidang ekonomi, sejarah, dan administrasi publik itu akan dikenang sebagai wali kota yang berjuang keras menegakkan sebuah kota ideal. Kota yang tadinya brutal dan kacau menjadi cantik dan menyenangkan, memberantas kemiskinan dan korupsi.
"Warga dulu tidak menghargai kotanya dan mereka merasa kotanya akan semakin buruk," kenang Penalosa. Bogota sebelum era Penalosa dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminal tinggi, pengeboman oleh para militer, penculikan, hingga peredaran narkotika.
Namun kini, penduduk Bogota sepertinya menikmati menjadi warga sebuah kota yang memenuhi kebutuhannya. Sistem angkutan umumnya, yang dikenal dengan bus rapid transit (BRT) TransMilenio praktis sudah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan mereka.
Kebanggaan warga dan pemerintah kota terhadap TransMilenio-yang sebenarnya pembangunannya baru tahap pertama-itu mengingatkan orang akan kebanggaan warga Singapura terhadap MRT (mass rapid transit) mereka. "Sistem angkutan massal kami saat ini yang terbaik di Amerika Latin, bahkan mungkin di dunia," begitu biasa para pejabat Bogota membanggakan TransMilenio.
Dengan kepemimpinan yang konsisten dan dihargai rakyatnya, Penalosa "merekonstruksi" kotanya dengan 1.200 taman, menanam 100.000 pohon, merehabilitasi sekolah, dan permukiman-permukiman serta memperbaiki lingkungan. Dia memang benar-benar memfokuskan kebijakannya pada bagaimana mendidik warga kota serta memperluas ruang publik.
"Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Tetapi untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka maupun Pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan," kata Penalosa seperti dikutip sebuah media.
Namun, semua itu tidak diperoleh dengan instan dan gampangan, sebagaimana tiba-tiba saja Taman Monas dipagar atau satu lajur jalan di Jalan Sudirman-Thamrin tiba-tiba saja dicat untuk busway. Katanya, pemerintah kota bersama-sama warganya memerlukan waktu lima belas tahun lebih dengan kebijakan pembangunan kota yang konsisten.
Mereka berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya sangat kacau balau, menjadi sebuah kota yang layak dijadikan model bagi kota-kota lainnya di dunia. Bogota dengan penduduk 6,4 jutaan orang itu berhasil menata dirinya dengan jalur bersepeda terluas di Amerika Latin (sepanjang 270 kilometer, dari 300 kilometer yang direncanakan), Pedestrian, angkutan umum massal dengan BRT TransMilenio serta hari bebas kendaraan (car free day) yang meliputi area luas 35.000 hektar, yang terluas di dunia.
Sejak tahun 1995 sampai tahun 2000, pemerintah kota di bawah kepemimpinan Wali Kota Antonus Mockus Sivickas dan dilanjutkan penerusnya Enrique Penalosa, dan kemudian Mockus lagi, mereka benar-benar mengadakan perubahan di bidang tata ruang kota, sosial maupun ekonomi kota.
Mockus seorang akademisi matematik dan filsafat yang sama sekali tidak memiliki pengalaman politik ternyata mengelola kotanya dengan baik. Wali Kota yang dipilih oleh 64 persen dari sekitar 7 juta penduduk Bogota itu benar-benar menjalankan kampanyenya.
Dengan dana hanya 8.000 dollar AS-termurah yang pernah terjadi di Kolombia-ia sangat terkenal dengan kampanye "No P" yang meliputi: no publicity, no politics, no parti atau plata (alias duit). Kalau mikir ke Kota Jakarta memang akan sulit rasanya, mengingat kampanye seorang gubernur saja justru kebalikan dari slogan Mockus.
Pemerintahan Mockus selama dua tahun (1995-1997) memfokuskan pada perencanaan kotanya secara jelas dengan program Formar Ciudad atau "Mendidik Kota" dengan penekanan para kultur warga kota, ruang publik, lingkungan, sosial, produktivitas urban hingga legitimasi institusional.
Mockus mendefinisikan kultur warga kota sebagai "sejumlah kebiasaan, perilaku, dan tindakan serta peraturan perundangan agar warga kota merasa memiliki, harmoni di antara sesama warga, dan menghargai properti dan peninggalan kota". Fokus membentuk kultur baru warga kota semacam itu menjadi tujuan utama pemerintahan Mockus. Dia melakukannya dengan sejumlah program pendidikan bagi warganya.
Tantangan dari warga Bogota bagi Mockus maupun Penalosa bukannya tidak ada. Itu terbukti dengan digantikannya dia oleh Penalosa (1998-2000), sebelum dia kembali memimpin Bogota hingga kini. Bahkan Penalosa, sempat dituding "komunis" oleh sejumlah kalangan usahawan atau orang kaya karena dianggap memaksa warga menggunakan bus dan angkutan umum.
Demikianlah, seperti disampaikan Ricardo Montezuma, Direktur Fundacion Ciudad Humana (Yayasan Kota Humanis, sebuah lembaga nonprofit di Bogota), kebijakan-kebijakan Penalosa maupun Mockus yang dilaksanakan secara konsisten tersebut menyebabkan Bogota berubah secara ruang (tata) kota, sosial, ekonomi maupun politik kota yang tadinya semrawut (chaostic) berubah wajah menjadi sebuah kota yang kini bisa dianggap sebagai kota ideal dari segi ketatakotaan dengan tingkat kriminalitas yang rendah.
Pada akhir kepemimpinan Penalosa misalnya, tingkat kejahatan anjlok hingga 50 persennya dan pembunuhan di kota yang oleh media barat dulu dikenal sangat berbahaya itu pun turun hingga 20 persen.
KEBERHASILAN Bogota seperti saat ini juga terjadi karena beruntung Penalosa yang menggantikan Mockus, jauh dari kebiasaan "ganti pejabat, ganti aturan". Penalosa, yang lagi-lagi bukan seorang politisi, melainkan seorang akademisi yang mendalami ekonomi, sejarah, dan administrasi publik, meneruskan program yang telah digariskan Mockus.
Jika Mockus memfokuskan diri bagaimana mendidik warga kota merasa memiliki kotanya dan bersama-sama mengelola kotanya, maka Penalosa melanjutkannya dengan implementasi dari kebijakan-kebijakan rencana pengembangan Kota Bogota.
Kepopuleran Mockus sebagai wali kota yang dipilih rakyat terlihat, Rabu, saat di Bogota mengadakan hari bebas kendaraan (free car day), di sebuah taman kampus Bogota. Warga kota dan mahasiswa mengelu-elukannya, dengan lambaian tangan sebagaimana seorang pemimpin yang lahir karena mereka pilih.
Mockus, juga bergabung dengan warga biasa, menyapa, dan berlaku sebagaimana warga kota lainnya, termasuk bersepeda, jauh dari kesan dibuat-buat atau protokoler sebagaimana yang sering kita lihat pada kebiasaan pejabat-pejabat di negeri ini di zaman Orde Baru, yang kini diteruskan para pejabat Orde Reformasi .
"Keterlibatan warga kota, sebagai sukarelawan mendukung semua program Kota Bogota," kata Mockus. Mungkin karena itulah pembangunan Kota Bogota untuk menjadi sebuah kota yang humanis, bisa berlangsung baik karena warga kota dan pengelola kota sama-sama merasa memiliki kotanya.
Sulit dibantah, Penalosa maupun Mockus memang berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya amburadul, dengan perlalulintasan yang amburadul dan acakadut secara perlahan mulai berubah wajah. Apalagi Bogota yang sepanjang tahun sejuk itu memiliki taman-taman yang luas dan terpelihara baik.
Mereka bertekad menjadikan Bogota sebagai sebuah kota yang humanis. Kota yang benar-benar dibangun untuk dinikmati dan ditinggali warganya dengan nyaman. Mockus berani menata berbagai kawasan kota yang tadinya sumpek dan semrawut dan bisa diterima warganya karena dia memang benar-benar menawarkan sebuah kawasan baru yang bisa dinikmati, tanpa merugikan warga.
Bahkan, rencana awal mau bagaimana kawasan baru itu selanjutnya kelak ditawarkan ke warga. Dan yang terpenting, tidak ada rencana bohongan atau hanya di atas kertas atau dibilang seolah-olah kawasan tertentu akan dibangun untuk kepentingan umum namun dalam kenyataannya untuk kawasan bisnis (!).
Bahkan, dalam rencana induk yang dibuat oleh Penalosa, akses jalan lebih diutamakan untuk pejalan kaki, pemakai sepeda, maupun infrastruktur yang lebih mengutamakan angkutan umum.
Sebaliknya, penggunaan angkutan pribadi lebih dipersulit dengan sejumlah ketentuan. Dengan kebijakan pico y placa (jam sibuk dan pelat nomor) mereka bermaksud mengurangi penggunaan kendaraan pribadi hingga 40 persen pada saat jam sibuk. Mereka juga memberlakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan kebijakan nomor pelat mobil.
Selama dua hari dalam sepekan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Mereka mengaturnya dengan cara kendaraan berpelat nomor berakhiran 1 hingga 4 dilarang untuk digunakan pada hari Senin, 5 hingga 8 pada hari Selasa; 9,0, 1 dan 2 pada hari Rabu; 3,4,5 dan 6 pada hari Kamis, serta 7,8,9 dan 0 pada hari Jumat.
Pelaksanaan car free day-yang juga disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia-dimaksudkan pemerintah kota agar warganya bisa membayangkan bahwa kota tanpa kendaraan pribadi bukanlah hal yang mustahil. Dalam voting yang diselenggarakan pemerintah kota, warga kota menginginkan acara tersebut bisa berlangsung setiap tahun.
Dalam acara serupa pada Rabu, 5 Februari lalu, kesan itu memang sangat terasa. Walaupun kendaraan yang boleh beroperasi hanya kendaraan umum dan jalanan bersih dari mobil-mobil pribadi warga kota sama sekali tidak tampak terpengaruh dan kegiatan keseharian berlangsung seperti biasa.
Apalagi, selain kebiasaan berjalan kaki (hampir 30 persen warga Bogota berjalan kaki untuk melaksanakan aktivitas kesehariannya, termasuk pulang pergi sekolah atau bekerja), kebiasaan menggunakan sepeda juga semakin membaik. Jika pada tahun 1998, pengguna sepeda hanya 1 persen saja dari seluruh pengguna moda angkutan di Bogota, maka pada tahun 2002 meningkat hingga 4 persen.
Membaiknya struktur kota dengan manajemen perlalulintasan yang konsisten yang dijalankan, juga bisa menurunkan angka kejahatan atau kriminalitas, angka kecelakaan di jalan raya dan, tentu saja, polusi udara. Angka kecelakaan di jalanan misalnya, yang pada tahun 1995 tercatat 1.387 kasus, terus menurun hingga 745 kasus (tahun 2001), dan pada tahun 2002 hanya 697 kasus.
Upaya menjadikan kota sebagai milik bersama itu karena pemerintah kota benar-benar menjalankan program untuk memacu masyarakatnya berpartisipasi atau terlibat langsung dalam pengelolaan kotanya. Untuk setiap pelaksanaan sistem bus baru, hari tanpa sepeda mereka membentuk suatu organisasi berbasis masyarakat, seperti Ciclovia Volunteers (untuk para sukarelawan program pemasyarakatan pemakaian sepeda) hingga Misson Bogota. Merekalah yang bergerak dan mendorong masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dan mendukung setiap program pemerintah kota.
Para sukarelawan berseragam oranye-mirip dengan kader GDN (gerakan disiplin nasional) yang dulu juga marak di Jakarta dan kini enggak jelas nasibnya-memberikan panduan kepada warga kota lainnya bagaimana menggunakan TransMilenio, menggunakan Pedestrian, dan mengarahkan para pengguna sepeda agar menggunakan jalurnya. Setidaknya oleh pemerintah kota mereka dibekali dengan prinsip-prinsip bagaimana menciptakan keamanan dan harmoni kotanya, pengelolaan wilayah, ruang publik hingga memberikan berbagai informasi mengenai kotanya kepada warga lain.
WARGA kota ikut mengelola kota. Setidaknya hal tersebut menjadi pelajaran bagi pengelola kota lain, terutama Jakarta, yang sering meninggalkan warganya sehingga mereka menjadi terasing di kotanya sendiri. Pelibatan warga untuk berpartisipasi aktif memiliki dan mengelola kotanya memang dilakukan secara serius oleh Pemerintah Kota Bogota.
Secara telaten terintegrasi dengan sistem yang baik, mereka benar-benar melibatkan dan mendidik warganya secara serius untuk menjadikan kotanya lebih baik. Jauh sebelum mereka mengenalkan sistem BRT TransMilenio misalnya, upaya mendidik dan mengajak aktif partisipasi warga dilakukan dengan berbagai upaya.
"Kami sengaja mendatangkan 21 unit jenis bus yang dipergunakan di berbagai negara, dari Hungaria hingga Brasil. Semua itu untuk mendidik warga bahwa rencana menciptakan angkutan massal itu bukan hanya impian tetapi nyata," kata Dario Hidalgo, seorang manajer TransMilenio.
Bahkan, jauh sebelum sistem bus tersebut benar-benar dilaksanakan, mereka mengajak warganya untuk melek bagaimana mulai mengubah "kultur" naik bus secara modern, mulai dari bagaimana antre hingga membeli tiket yang benar.
Sejumlah sukarelawan diterjunkan hingga ke sekolah-sekolah taman kanak-kanak. Dengan alat peraga sederhana, mereka mengajarkan cara-cara baru kepada anak-anak tersebut bagaimana mulai menjalani hidup baru sebagai bagian dari warga kota modern.
Upaya mereka mengajar kepada anak-anak balita itu bukannya tanpa maksud. "Sepulang sekolah anak-anak itu akan bercerita kepada orangtuanya apa yang kami ajarkan kepada mereka. Mereka juga menjadi penyambung apa yang kami ajarkan kepadanya. Bukankah itu juga secara otomatis mendidik orangtuanya juga," kata Hidalgo.
Terbukti ketika TransMilenio digelindingkan, sistem BRT bisa berjalan dengan baik. Upaya pemerintah menyiapkan infrastruktur dibarengi dengan kesiapan warga kotanya menjalani "kehidupan baru" mewujudkan kultur baru pula bagi kehidupan warga Kota Bogota.
Setidaknya, sebagai warga Jakarta yang demikian amburadul ini, kita cuma berharap semoga para pengelola Jakarta bisa belajar dari Bogota. Mungkin, salah satu pelajaran terbaik yang bisa dipetik dari pengalaman Bogota adalah bagaimana pemerintah mengajak warga kotanya untuk mengubah kotanya.
Soal ruang publik misalnya, Wali Kota Penalosa pernah menyatakan, "Ruang publik sangat perlu untuk hidup, melakukan bisnis, memadu kasih, dan bermain. Semua itu tidak bisa hanya dihitung secara ekonomis maupun matematik tetapi harus dengan perasaan dan nurani".
Infrastruktur kota yang baik sekalipun tidak akan cukup menjadikan sebuah kota menjadi nyaman, tanpa warga kotanya merasa terlibat dan menikmati semua itu....(Agus Hermawan)
saya suka dengan kata2 anda
ReplyDelete"Infrastruktur kota yang baik sekalipun tidak akan cukup menjadikan sebuah kota menjadi nyaman, tanpa warga kotanya merasa terlibat dan menikmati semua itu..."
tepat, kita juga harus turut merasakan dan juga menjaga agar bisa terasa sebagus apa infrastruktur kita :)