[Kompas] TUJUAN utama desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana kita, khususnya eksekutif–pemerintah daerah–berlomba menyejahterakan warganya sebagai kompensasi dari pajak dan aktivitas ekonomi lainnya yang telah mereka berikan. Gubernur Sutiyoso selaku kepala operasional pemerintahan daerah yang tentunya bekerja sama dengan DPRD mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menetapkan kebijakan yang terbaik bagi masyarakat dan wilayahnya, termasuk kebijakan transportasi kota di DKI.
Contoh kecil dari masalah transportasi di wilayah DKI yang paling mudah ditangkap publik adalah masalah pertumbuhan bus kota yang beroperasi, yang sangat jauh dari kebutuhan penumpang yang diangkut setiap hari. Dari tahun 2001 ke 2002, misalnya, hanya 15 bus! [source]
Dewan Transportasi Kota (DTK) sebagai institusi yang direncanakan lahir untuk ikut berperan dalam pembenahan permasalahan transportasi di kota yang telanjur rumit dan banyak masalah ini adalah wujud pengakuan dan kepedulian pemda terhadap peran serta publik dan keterbatasan kemampuan pemda dalam membenahi sektor transportasi.
Pasal 98 Ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2003 menyebutkan, tugas dewan ini adalah menampung aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan pemda dalam bidang transportasi. Kedua tugas pokok ini akan terwujud apabila DTK menunjukkan "kesungguhan" dalam menjalankan amanah tersebut. Adanya kesungguhan tadi tentunya tidak akan pernah terlepas dari siapa yang duduk sebagai anggota dewan dan apa yang akan dilakukan dewan.
Keanggotaan dewan tidak serta-merta harus seorang yang pintar keintelektualannya di bidang transportasi atau figur yang dikenal publik. Lebih daripada itu, masyarakat butuh sosok yang mau "mengabdikan" keilmuan, moral, dan idealismenya untuk pembenahan transportasi menuju sistem yang dibangun berdasarkan karakter dan kebutuhan nyata publik secara umum.
Sosok itu setidaknya akan mampu menciptakan ruang sosial dan politik yang betul-betul menerjemahkan substansi pembenahan sistem daripada sekadar menjalankan tugas "menampung aspirasi" secara an sich.
PENULIS yang juga salah satu fasilitator pembentukan dewan ini ingat sekali ketika sebagian besar peserta konsultasi publik sepakat bahwa peran dewan tidak hanya pasif menunggu keluhan atau pengaduan dari masyarakat, tetapi juga aktif memberikan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, untuk mendukung peran tersebut, dewan ini memiliki sejumlah komisi yang diharapkan mampu menjawab persoalan transportasi dewasa ini dan yang akan datang.
Komisi-komisi tersebut adalah a) komisi tarif angkutan (yang mampu dibayar masyarakat), b) komisi hukum dan kebijakan, c) komisi kelaikan dan keselamatan fasilitas sarana dan prasarana, d) komisi penelitian dan pengembangan, dan e) komisi pendidikan dan hubungan masyarakat.
Inventarisasi terhadap ruang lingkup dan masalah transportasi yang dipandang "sexy" oleh publik harus ditindaklanjuti dengan kajian dan rekomendasi kepada eksekutif agar menjadi "benih kepercayaan" di mata masyarakat terhadap eksistensi dewan ini. Lingkup masalah itu meliputi praktik uji kir angkutan umum, evaluasi terhadap kebijakan three in one, pembuktian asumsi terhadap jumlah trayek yang melebihi kebutuhan, dan daya kapasitas lingkungan.
Program yang dibangun dan dikembangkan oleh DTK dapat juga bersifat high profile. Tengok saja banyaknya ketentuan yang harus ditindaklanjuti oleh keputusan gubernur untuk mengimplementasikan beberapa ketentuan dalam Perda Nomor 12 Tahun 2003. Hal ini berpotensi menghambat daya penegakan perda itu sendiri karena tidak berjalannya pasal-pasal yang hendak dilaksanakan (harus menunggu keputusan gubernur terlebih dahulu).
Kondisi di atas dapat menjadi "peluang" dan dapat dimanfaatkan oleh DTK untuk "membantu" lahirnya keputusan gubernur yang memiliki substansi hukum yang memenuhi unsur good norm dan partisipatif. Peran ini juga mendorong penegakan perda itu secara penuh. Sebaliknya, eksekutif jangan pernah berpikir bahwa DTK nantinya hanya "diterima" sebatas sebagai pelaku atau pelaksana ketika konsep transportasi sudah ditetapkan atau dimobilisasi untuk mendukungnya.
Semua yang dijalankan dewan terbingkai dalam sebuah visi yang telah disepakati bersama, yaitu untuk menjadikan lembaga yang independen dan tepercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi berkelanjutan dengan mewujudkan peran serta masyarakat.
Tingkat penerimaan masyarakat terhadap dewan ini akan berbalik 180 derajat manakala kehadirannya tidak membawa pengaruh positif terhadap masyarakat. Kemungkinan ini sangat terbuka bila keinginan duduk di DTK hanya untuk mengejar fasilitas.
Di antara harapan dan kekhawatiran tersebut, kehadiran DTK sebaiknya tidak dianggap sebagai satu-satunya "obat" untuk mengobati semua penyakit yang terdapat pada kehidupan transportasi di Ibu Kota ini. Masyarakat dan media serta legislatif juga menjadi aktor utama dalam pembenahan sistem dan kebijakan transportasi. Peran yang dapat dimainkan adalah bagaimana turut mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi kebijakan eksekutif pada bidang transportasi. Tidak ada salahnya juga turut pula mengontrol peran dan kinerja dari DTK.
Ari Mohammad Legal and Policy Analysis Clean Air Project, Swisscontact