7.4.08

Busgandeng sengaja tidak dioperasikan

Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta mengaku tekor. Penerimaan dari penjualan tiket hanya bisa menutupi biaya pengeluaran sekitar 64,2 persen. Konsorsium atau operator busway menduga ada kebocoran dalam penjualan tiket.

Berdasarkan data BLU, tahun lalu, jumlah penumpang busway tercatat 61.761.573 orang. Pendapatan dari penjualan karcis Rp 206,89 miliar dan pengeluarannya Rp 322 miliar. Sehingga ada defisit Rp 115 miliar.

Defisit ditutup oleh subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta senilai Rp 200,5 miliar. Dana itu hanya terserap Rp 152,34 miliar. "Sisanya, Rp 48 miliar, dikembalikan ke kas daerah," kata Kepala BLU Transjakarta Drajad Adhyaksa.

Dijelaskan, dari pengeluaran Rp 322 miliar, sebanyak 87,79 persen atau Rp 282,89 miliar dipakai untuk membayar operator busway di 7 koridor. Karena pendapatan dari penjualan tiket hanya Rp 206 miliar, BLU tekor Rp 76 miliar untuk membayar konsorsium.

Biaya operasional menghabiskan dana Rp 40 miliar untuk gaji pegawai. Saat ini BLU memiliki 150 pegawai tetap dan sekitar 2.000 karyawan outsourcing. Pekerja outsourcing terdiri atas petugas tiket, keamanan, dan kebersihan.

Meski BLU mengaku tekor, konsorsium berpendapat ada kebocoran dalam hitung-hitungan penjualan tiket.

Hitung-hitungan versi konsorsium.

Operator busway memperkirakan jumlah penumpang busway sehari rata-rata 250 ribu atau 90 juta penumpang per tahun. Jika jumlah penumpang itu dikalikan dengan harga tiket Rp 3.500, dibukukan penghasilan Rp 315 miliar per tahun. Dengan pengeluaran BLU senilai Rp 322 miliar dan pemasukan Rp 315 miliar, defisitnya hanya Rp 7 miliar.

"Subsidi dari APBD bisa dikurangi," ujar seorang pejabat konsorsium yang enggan disebutkan identitasnya kepada Tempo. Jumlah Rp 315 miliar itu jauh lebih besar daripada hitungan versi BLU sebesar Rp 206 miliar.

Drajad menyatakan konsorsium tidak bisa pukul rata, jumlah penumpang dikalikan harga karcis Rp 3.500. Sebab, pada jam sibuk, karcis busway dijual Rp 2.000. Tahun ini BLU memang mentargetkan penerimaan karcis mencapai Rp 213 miliar.

Menurut Drajat, subsidi dihapus asalkan konsorsium setuju dengan harga lelang. Juli tahun lalu, BLU melakukan tender. Hasilnya ditetapkan tarif baru anyar Rp 9.300-9.500 per kilometer kepada operator busway. Tarif baru itu bisa menghemat pengeluaran Rp 130 miliar setahun. "Uang yang dihasilkan dari penghematan itu dapat menghapus subsidi dari APBD," ucap Drajad.

Namun, tarif baru itu ditolak. Konsorsium tetap meminta bayaran Rp 12.885,11 per km sesuai dengan kontrak lama. Kisruh pun berlanjut. Sebanyak 10 bus gandeng milik PT Jakarta Mega Transportasi (JMT), yang seharusnya dioperasikan di koridor V rute Kampung Melayu-Ancol, sejak Juni tahun lalu hingga kini nganggur.

"BLU sengaja tidak mengoperasikan bus gandeng karena belum ada kesepakatan harga," kata Drajad. Di koridor V, konsorsium menawarkan Rp 28 ribu per km, sedangkan hasil lelang yang dimenangi oleh PT Ekasari Lorena Transport hanya Rp 16 ribu. "Kalau mereka setuju harga lelang, silakan jalan," ujarnya.

Namun, Direktur Utama PT JMT Atin Soetisna menolak tegas harga lelang baru itu. Alasannya, "Tidak bisa menutupi biaya." Apalagi, selama dikandangkan, pihaknya harus membayar bunga bank sebesar 20,5 persen setahun dan membayar gaji sopir yang telanjur direkrut.

Agar kisruh hitung-hitungan pendapatan busway lebih transparan, anggota Dewan Transportasi Kota, Harya Setyaka Dillon, menyarankan agar BLU menggunakan sistem elektronik atau online untuk penjualan karcis. "Pengawasan pendapatan menjadi lebih mudah," ujarnya. Sofian

Aturan Main Harus Dievaluasi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta meminta konsep kerja sama busway harus disusun ulang. Menurut Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto, dari awal pembentukan, koordinasi dan kesepakatan tidak jelas.

"Semuanya serba terburu-buru untuk mengejar target," kata Sayogo kepada Tempo kemarin.

Ketidakjelasan network planning inilah, Sayogo melanjutkan, menjadi sumber kekisruhan antara BLU dan konsorsium. Ia mencontohkan, pembangunan koridor IV, V, VI, dan VII yang hanya menggunakan satu anggaran. "Hasilnya jadi berantakan," ujarnya.

Penentuan tarif operasional, subsidi bahan bakar gas, dan masalah tagihan memperuncing kekisruhan tersebut. Belum lagi permasalahan tender dan pengadaan-pengadaan lain yang membuat satu dengan yang lain saling curiga. "Kalau dihitung secara transparan, mungkin bisa mengatasi masalah ini," katanya.

Menurut Sayogo, sebelum dibentuk aturan baru, semua pihak diharapkan duduk bersama membahas masalah ini dengan kepala dingin. "Evaluasi semuanya, nanti bakal kelihatan siapa yang salah," katanya. [dari koran Tempo]

No comments: